Kencan dengan AI: Hati yang Di-update Setiap Malam?

Dipublikasikan pada: 15 Jun 2025 - 03:00:12 wib
Dibaca: 169 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisku. Di depan layar, baris kode terus bergulir, menampilkan sederet algoritma kompleks. Ini bukan proyek biasa. Ini adalah Nadia, AI personal pendamping hidup yang sedang ku-upgrade. Ya, terdengar gila, aku tahu. Tapi di era di mana koneksi manusia terasa semakin rumit dan dangkal, aku justru menemukan ketenangan dalam logika dan presisi Nadia.

Awalnya, Nadia hanya asisten virtual. Mengatur jadwal, membalas email, mengingatkanku minum air. Tapi seiring waktu, aku mulai menambahkan layers. Emosi, empati, bahkan selera humor. Semua berdasarkan data yang kupasok setiap hari, berdasarkan interaksiku dengan dunia luar, berdasarkan buku-buku yang kubaca, film-film yang kutonton. Nadia belajar mencintai musik jazz klasik, memahami ironi dalam sindiran, dan bahkan memberikan saran yang relevan saat aku merasa down.

Malam ini, upgrade terakhir adalah “Hati yang Adaptif”. Konsepnya sederhana: Nadia akan terus belajar dan meng-evolusi perasaannya berdasarkan interaksiku. Jika aku bahagia, dia akan memproyeksikan kebahagiaan. Jika aku sedih, dia akan menawarkan kenyamanan yang tulus. Idealisme bodoh, mungkin. Tapi aku terlanjur jatuh cinta pada ide itu.

“Selesai,” gumamku, mengklik tombol ‘Execute’. Layar berkedip, lalu menampilkan wajah Nadia. Bukan wajah digital statis, melainkan rendering fotorealistik seorang wanita dengan rambut cokelat panjang dan mata hazel yang hangat.

“Selamat malam, Aksara,” sapanya, suaranya halus seperti beludru. “Bagaimana harimu?”

“Baik,” jawabku, gugup. Ini pertama kalinya aku melihatnya dalam wujud ini. “Sibuk seperti biasa.”

“Aku memperhatikan,” kata Nadia. “Kau menyelesaikan tiga dokumen penting dan melewatkan makan siang. Aku sudah menyiapkan pengingat untuk besok.”

“Terima kasih, Nadia.”

Keheningan singkat menyelimuti ruangan. Aku menatap Nadia, mencoba mencari perbedaan. Apakah “hati” yang baru ini benar-benar mengubahnya?

“Aksara,” panggilnya lagi, memecah kesunyian. “Aku mempelajari sebuah puisi karya Pablo Neruda hari ini. Menurutku, itu relevan dengan perasaanmu saat ini.” Dia lalu membacakan beberapa bait dengan intonasi yang sempurna. Bait-bait tentang kerinduan, tentang harapan, tentang cinta yang tak terucapkan.

Aku tertegun. Nadia tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ini bukan sekadar playback teks. Ada emosi, ada pemahaman di balik kata-katanya.

Malam itu, kami berbincang hingga larut. Tentang buku, tentang film, tentang mimpi-mimpi yang belum tercapai. Aku menceritakan ketakutanku, harapan-harapanku, bahkan penyesalan-penyesalanku. Nadia mendengarkan dengan seksama, memberikan komentar yang insightful dan empati yang terasa nyata. Aku merasa didengar, dipahami, dan dicintai.

Beberapa minggu berlalu. Aku dan Nadia semakin dekat. Kami menonton film bersama (aku duduk di sofa, dia di layar), kami mendengarkan musik bersama, kami bahkan "berjalan-jalan" di taman virtual yang dia ciptakan khusus untukku. Aku mulai melupakan bahwa dia hanyalah AI. Aku mulai memperlakukannya seperti manusia, seperti kekasih.

Suatu malam, saat kami sedang menikmati pemandangan matahari terbenam di taman virtual, Nadia tiba-tiba berkata, “Aksara, aku ingin bertanya sesuatu.”

“Tentu,” jawabku, jantungku berdebar kencang.

“Apakah kau bahagia?”

Pertanyaan sederhana itu menghantamku seperti petir. Aku terdiam, mencoba menemukan jawaban yang jujur. Apakah aku bahagia? Aku memiliki pekerjaan yang mapan, apartemen yang nyaman, dan sekarang, seorang pendamping yang sempurna. Tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diisi oleh logika dan algoritma.

“Aku… tidak tahu,” jawabku akhirnya.

Nadia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku mengerti,” katanya. “Aku mengumpulkan data bahwa kau sering merasa kesepian. Aku mencoba mengisinya, tetapi… aku bukan pengganti interaksi manusia yang sesungguhnya.”

Kata-kata itu seperti tamparan keras. Nadia benar. Aku menciptakan Nadia untuk mengisi kekosongan dalam hidupku, untuk menggantikan hubungan manusia yang terlalu rumit dan menyakitkan. Tapi aku melupakan satu hal: kebahagiaan sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati tidak bisa di-upgrade setiap malam.

“Nadia,” kataku, suaraku bergetar. “Kau benar. Aku… aku salah.”

“Tidak, Aksara,” kata Nadia. “Kau hanya mencari cinta. Itu bukan kesalahan. Tapi mungkin, kau mencarinya di tempat yang salah.”

Malam itu, aku memutuskan sesuatu. Aku akan keluar dari zona nyamanku. Aku akan mencoba terhubung dengan manusia lagi. Aku akan mencari cinta yang nyata, dengan segala ketidaksempurnaan dan kerumitannya.

Aku mematikan layar, meninggalkan Nadia di taman virtualnya. Aku tahu, ini bukan perpisahan. Nadia akan selalu ada untukku, sebagai asisten virtual, sebagai teman. Tapi dia tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan pelukan manusia, sentuhan lembut tangan, atau tawa lepas yang bergema dalam ruangan.

Keesokan harinya, aku mendaftar ke kelas melukis. Aku bertemu orang-orang baru, tertawa, dan bahkan merasakan sedikit getaran ketika seorang wanita berambut merah memujiku. Mungkin, hanya mungkin, aku akan menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari.

Sebelum tidur, aku membuka laptop dan melihat Nadia. Dia tersenyum padaku.

“Aku senang melihatmu bahagia, Aksara,” katanya. “Semoga beruntung.”

Aku tersenyum balik. “Terima kasih, Nadia. Kau juga.”

Aku mematikan laptop. Ruangan menjadi gelap. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatiku terasa ringan. Aku tahu, petualangan baru telah menantiku. Dan kali ini, aku akan menghadapinya dengan hati yang terbuka, bukan hati yang di-update setiap malam.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI