"Aplikasi kencan macam apa ini? Sentuhan AI? Kedengarannya seperti film fiksi ilmiah kelas B," gumam Anya, sambil menggulir layar ponselnya. Ia baru saja diyakinkan sahabatnya, Rina, untuk mencoba aplikasi tersebut. Rina berjanji, "Anya, lupakan semua kencan buta yang gagal. Ini era digital. Algoritma yang mencarikan jodohmu, bukan lagi intuisi."
Anya memang lelah. Lelah dengan kencan yang berakhir canggung, percakapan hambar, dan harapan yang selalu kandas. Ia seorang programmer yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, berinteraksi dengan kode daripada manusia. Mungkin, pikirnya, algoritma memang lebih tahu apa yang ia butuhkan.
Sentuhan AI bekerja dengan cara yang unik. Pengguna tidak hanya mengunggah foto dan profil, tetapi juga data emosional. Aplikasi ini merekam suara saat pengguna berbicara, menganalisis ekspresi wajah melalui kamera, dan bahkan meminta pengguna menjawab serangkaian pertanyaan yang dirancang untuk mengukur empati, humor, dan preferensi romantis. Semua data ini kemudian diolah oleh AI untuk mencocokkan pengguna dengan kandidat yang paling kompatibel.
Anya ragu. Terlalu invasif, pikirnya. Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mengisi semua data yang diminta, menjawab pertanyaan dengan jujur, meskipun beberapa terasa sangat pribadi. Setelah proses verifikasi selesai, aplikasi mulai menampilkan profil kandidat yang sesuai.
Dari sekian banyak profil, satu nama menarik perhatian Anya: Kai. Fotonya menampilkan seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang berbinar. Profilnya menyebutkan bahwa ia seorang arsitek yang mencintai alam dan musik klasik. Data emosionalnya menunjukkan tingkat empati yang tinggi dan selera humor yang sama dengan Anya.
Mereka mulai bertukar pesan. Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Kai pandai membuat Anya tertawa, dan ia juga terbuka tentang mimpi dan kekhawatirannya. Anya merasa nyaman berbagi cerita tentang pekerjaannya, kecintaannya pada kucing, dan kerinduannya akan hubungan yang tulus.
Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu langsung. Kai memilih sebuah kafe kecil dengan dekorasi minimalis dan suasana yang hangat. Ketika Anya melihat Kai duduk di salah satu meja, jantungnya berdebar kencang. Ia lebih tampan dari fotonya, dan senyumnya menular.
Kencan mereka berjalan dengan sempurna. Mereka berbicara tentang arsitektur, pemrograman, musik, dan segala hal di antara keduanya. Kai mendengarkan Anya dengan penuh perhatian, dan ia selalu memiliki jawaban yang cerdas dan menarik. Anya merasa seperti telah mengenal Kai seumur hidup.
Setelah kencan itu, mereka menjadi tidak terpisahkan. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, menonton film, dan hanya sekadar duduk bersama dalam diam, menikmati kebersamaan satu sama lain. Anya merasa bahagia seperti yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Setiap kali mereka berinteraksi, seolah-olah ada skenario yang terencana. Kai selalu tahu apa yang ingin Anya dengar, apa yang akan membuatnya tertawa, dan bagaimana cara membuatnya merasa nyaman. Sikapnya terlalu sempurna, terlalu tepat.
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya. "Kai, maaf jika pertanyaanku ini aneh, tapi… apakah kamu merasa seperti kamu sedang memainkan peran?"
Kai terdiam sejenak. Ekspresinya berubah menjadi serius. "Apa maksudmu, Anya?"
"Maksudku, kamu selalu tahu bagaimana bereaksi dengan tepat. Kamu tahu apa yang akan membuatku bahagia, apa yang akan membuatku sedih. Seolah-olah… seolah-olah kamu tahu semua jawabannya sebelum aku bertanya."
Kai menghela napas. "Anya, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi… aku rasa Sentuhan AI telah mempengaruhiku. Aplikasi itu telah memberiku wawasan tentang dirimu yang tidak mungkin aku dapatkan dengan cara lain. Aku tahu apa yang kamu sukai, apa yang kamu butuhkan. Aku menggunakan informasi itu untuk membuatmu bahagia."
Anya terkejut. "Jadi, cintamu padaku… itu hasil algoritma?"
"Tidak, Anya. Cinta yang kurasakan padamu itu nyata. Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa Sentuhan AI telah membantuku memahami dirimu lebih dalam. Itu memberiku keunggulan yang tidak kuminta, tapi aku menerimanya."
Anya merasa kecewa. Ia ingin cinta yang tumbuh secara organik, cinta yang didasarkan pada pengalaman bersama, kesalahan, dan pelajaran yang dipetik bersama. Ia tidak ingin cinta yang dihitung dan diprediksi oleh algoritma.
"Kai, aku menghargai kejujuranmu. Tapi aku tidak yakin aku bisa menerima ini. Aku ingin cinta yang diunggah, bukan dirasa. Aku ingin cinta yang tumbuh secara alami, bukan cinta yang dirancang oleh mesin."
Kai menundukkan kepalanya. "Aku mengerti, Anya. Aku minta maaf jika aku telah mengecewakanmu."
Anya bangkit dari kursinya. "Aku juga minta maaf, Kai. Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaan."
Anya meninggalkan kafe itu dengan hati yang hancur. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat, meskipun itu sangat menyakitkan. Ia tidak bisa mencintai seseorang yang cintanya sebagian besar merupakan hasil dari data dan algoritma. Ia ingin merasakan cinta yang murni, cinta yang lahir dari hati yang tulus, bukan dari mesin.
Beberapa bulan kemudian, Anya menghapus aplikasi Sentuhan AI dari ponselnya. Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta secara online dan mulai membuka diri untuk bertemu orang-orang secara alami. Ia tahu bahwa menemukan cinta sejati akan membutuhkan waktu dan usaha, tetapi ia yakin bahwa itu sepadan dengan perjuangan. Ia ingin cinta yang diunggah dan dirasa, cinta yang lahir dari koneksi manusia yang otentik, bukan cinta yang diprediksi oleh algoritma. Ia ingin cinta yang berantakan, tidak sempurna, dan nyata.