Cinta, Data, dan Algoritma yang Patah Hati

Dipublikasikan pada: 11 Aug 2025 - 01:20:12 wib
Dibaca: 142 kali
Deretan angka dan kode berkedip di layar monitor Luna. Di balik kacamata bingkai tebalnya, matanya menyipit, fokus menganalisis anomali pada algoritma rekomendasi kencan buatannya. "Harusnya dia cocok dengan Sarah," gumamnya, mengacak-acak rambutnya yang dikuncir asal. "Mereka berdua suka novel fiksi ilmiah klasik, alergi kacang, dan punya impian adopsi anak kucing dari jalanan. Kenapa sistem menolak mereka?"

Luna adalah otak di balik "Soulmate.AI," aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data mendalam. Ia percaya, cinta, meski misterius, bisa diurai menjadi persamaan matematika. Aplikasi buatannya telah menjodohkan ratusan pasangan bahagia. Namun, kasus Sarah dan orang misterius yang ditolak algoritma ini membuatnya penasaran sekaligus frustrasi.

Sarah adalah sahabat Luna, seorang penulis lepas yang idealis dan sedikit sinis terhadap konsep cinta modern. Ia mendaftar Soulmate.AI hanya untuk membuktikan pada Luna bahwa cinta sejati tidak bisa direduksi menjadi serangkaian data. Namun, di lubuk hatinya, Sarah diam-diam berharap.

"Mungkin ada yang salah dengan bobot nilai pada variabel 'romantisme spontan'," bisik Luna pada dirinya sendiri, menelusuri baris demi baris kode. Semalaman ia berkutat dengan algoritma, mencoba memahami pola yang tersembunyi. Di sampingnya, secangkir kopi yang sudah dingin menjadi saksi bisu kegigihannya.

Di suatu pagi yang cerah, Sarah datang mengunjungi Luna. Ia membawa sekotak donat dan senyum masam. "Algoritmamu gagal total," katanya, menyerahkan sekotak donat rasa cokelat kesukaan Luna. "Aku berkencan dengan 'pasangan' yang direkomendasikan aplikasi lain. Dia membosankan. Serius, membosankan sekali."

Luna tertawa getir. "Aku tahu. Makanya aku begadang semalaman untuk mencari tahu kenapa sistem menolak orang yang seharusnya cocok denganmu."

"Siapa?" tanya Sarah, penasaran.

Luna menarik napas dalam-dalam. "Seseorang dengan kode ID 'ALX-734'."

Sarah terdiam. "ALX-734? Aku… aku pernah bertemu dengannya. Di kedai kopi waktu itu. Dia… dia membantu aku mengambil buku yang terjatuh."

"Dia programmer juga. Spesialis keamanan siber. Dan menurut data, dia sangat, sangat cocok denganmu."

"Tapi… kenapa ditolak?"

Luna menunjuk ke baris kode yang berwarna merah di layarnya. "Variabel 'kerentanan emosional'. Sistem mendeteksi bahwa ALX-734 memiliki tingkat kerentanan emosional yang sangat tinggi. Algoritma memprioritaskan stabilitas emosi. Jadi, dia ditolak karena dianggap terlalu rentan untukmu."

"Rentan?" Sarah mengerutkan kening. "Tapi… bukankah kerentanan adalah bagian dari menjadi manusia? Bukankah justru di situlah letak keindahan dan kedalaman hubungan?"

Pertanyaan Sarah menohok hati Luna. Selama ini, ia terlalu fokus pada data dan logika, melupakan esensi manusiawi dari cinta. Ia membangun algoritma yang sempurna, tapi ternyata kesempurnaan itu justru menjauhkan orang dari potensi cinta yang sebenarnya.

"Aku… aku salah," kata Luna, akhirnya mengakui. "Aku terlalu berusaha mengendalikan sesuatu yang seharusnya dibiarkan mengalir. Aku pikir, dengan data, aku bisa menciptakan cinta. Tapi ternyata, cinta bukan tentang data, tapi tentang koneksi, tentang keberanian untuk rentan."

Ia segera menghapus variabel 'kerentanan emosional' dari algoritmanya. Kemudian, dengan ragu, ia membuka profil ALX-734. Di sana tertera foto seorang pria dengan mata teduh dan senyum yang sedikit malu-malu. Tiba-tiba, Luna merasakan getaran aneh di dadanya. Getaran yang bukan berasal dari kode atau algoritma, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam.

"Sarah," panggil Luna. "Bisakah kamu memberiku nomor telepon ALX-734?"

Sarah tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku sudah menduganya."

Beberapa hari kemudian, Luna duduk di kedai kopi yang sama tempat Sarah bertemu dengan ALX-734. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengenakan gaun yang jarang dipakainya dan mencoba menenangkan diri.

ALX-734, yang ternyata bernama Alex, datang tepat waktu. Ketika mata mereka bertemu, Luna merasakan sesuatu yang aneh dan familiar. Seolah-olah, mereka sudah saling mengenal lama.

"Luna, kan?" sapa Alex dengan senyum tulus.

"Alex," balas Luna, gugup. "Terima kasih sudah mau menemuiku."

Mereka berbicara berjam-jam. Tentang kode, tentang buku, tentang mimpi-mimpi mereka. Luna menceritakan tentang algoritma buatannya, tentang obsesinya pada data, dan tentang kesalahannya. Alex mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi.

"Algoritma itu mungkin salah, Luna," kata Alex pada akhirnya. "Tapi instingmu tidak. Kamu merasakan ada sesuatu di antara aku dan Sarah. Dan kamu benar."

Malam itu, Luna pulang dengan perasaan yang berbeda. Ia merasa lebih ringan, lebih jujur pada dirinya sendiri. Ia menyadari, cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa direduksi menjadi data. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang keberanian untuk membuka diri, dan tentang kepercayaan pada intuisi.

Dan mungkin, Luna berpikir sambil tersenyum, cinta adalah tentang algoritma yang patah hati. Karena algoritma yang patah hati itu, ia menemukan jalan menuju cinta yang sesungguhnya. Ia menemukan Alex.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI