Algoritma Hati: Mencari Cinta di Era Replika Digital

Dipublikasikan pada: 14 Jun 2025 - 21:40:12 wib
Dibaca: 167 kali
Aplikasi kencan "Soulmate.AI" berkedip di layar ponsel Anya. Notifikasi itu bukan pesan baru, melainkan pengingat harian yang tanpa lelah berusaha mencocokkan dirinya dengan seseorang. Anya mendengus. Sudah hampir setahun sejak ia mengunduh aplikasi itu, tergiur janji manis menemukan "pasangan ideal" berdasarkan algoritma kecocokan kompleks yang menganalisis preferensi, minat, bahkan gelombang otak pengguna. Namun, hasilnya nihil. Deretan wajah dan profil digital yang disodorkan aplikasi terasa hampa, seperti replika manusia tanpa jiwa.

Anya adalah seorang programmer jenius. Di usianya yang baru 27 tahun, ia sudah menjadi kepala tim pengembang di sebuah perusahaan teknologi rintisan yang berfokus pada kecerdasan buatan. Ironisnya, di tengah lautan kode dan algoritma yang ia pahami, ia justru kesulitan menemukan koneksi yang tulus dalam kehidupan nyata. Pekerjaannya menyita seluruh waktu dan energinya. Pergaulannya terbatas pada rekan kerja yang rata-rata juga sama canggungnya dalam urusan asmara.

Malam ini, Anya memutuskan untuk menanggapi tantangan dari teman sekantornya, Rina, untuk menghadiri sebuah pesta peluncuran game virtual reality terbaru. "Siapa tahu, Anya, kamu bisa ketemu seseorang di sana. Jangan terus-terusan bergantung pada algoritma!" Rina selalu menyemangatinya, meski Anya tahu Rina sendiri sudah menyerah pada dunia kencan dan lebih memilih fokus pada karirnya.

Pesta itu ramai dan bising. Cahaya lampu warna-warni berkedip-kedip, musik elektronik berdentum keras, dan orang-orang hilir mudik dengan kacamata VR di kepala mereka, larut dalam dunia maya yang imersif. Anya merasa canggung dan tidak pada tempatnya. Ia berdiri di sudut ruangan, menyesap minuman soda yang terasa hambar.

Tiba-tiba, seseorang menabraknya dari belakang. Anya menoleh dan mendapati seorang pria dengan rambut sedikit berantakan dan kacamata berbingkai tebal. Wajahnya tampak panik. "Maaf, maaf sekali! Aku tidak melihatmu," ujarnya dengan nada menyesal.

"Tidak apa-apa," jawab Anya, sedikit terkejut.

Pria itu mengulurkan tangan. "Aku Leo. Aku bagian dari tim pengembang game ini."

Anya menjabat tangannya. "Anya. Aku… seorang programmer."

Leo tersenyum. "Programmer? Keren! Aku selalu kagum dengan orang-orang yang bisa menulis kode. Aku lebih ke bagian visual dan cerita."

Mereka mulai berbicara. Leo bercerita tentang kesulitan dan tantangan dalam mengembangkan game VR itu, tentang bagaimana mereka berusaha menciptakan pengalaman yang seotentik mungkin bagi para pemain. Anya, sebaliknya, menceritakan tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia berusaha menciptakan algoritma yang bisa memprediksi perilaku manusia.

Anehnya, percakapan mereka mengalir begitu saja. Tidak ada rasa canggung atau dipaksakan. Mereka tertawa, saling menyela, dan menemukan kesamaan dalam hal-hal yang tidak terduga. Anya merasa nyaman berbicara dengan Leo, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain.

Semakin malam, pesta semakin sepi. Leo mengajak Anya untuk mencoba game VR yang baru mereka luncurkan. Anya awalnya ragu, tapi akhirnya setuju.

Di dalam dunia virtual, mereka menjelajahi lanskap yang indah dan fantastis. Mereka terbang di atas pegunungan yang menjulang tinggi, menyelam ke dalam lautan yang biru dan dalam, dan bertempur melawan makhluk-makhluk mitos yang menakutkan. Anya merasa seperti anak kecil lagi, penuh dengan rasa ingin tahu dan kegembiraan.

Di akhir sesi permainan, saat mereka melepas kacamata VR, Anya menyadari sesuatu yang penting. Ia tidak hanya menikmati pengalaman virtual itu, tetapi juga menikmati kebersamaan dengan Leo. Ada sesuatu yang tulus dan autentik dalam interaksi mereka, sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma secanggih apa pun.

Beberapa minggu kemudian, Anya dan Leo semakin dekat. Mereka sering makan siang bersama, menonton film, dan bahkan bekerja bersama dalam proyek-proyek sampingan. Anya mulai menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Leo. Bukan karena algoritma yang memprediksi kecocokan mereka, tetapi karena hal-hal sederhana: senyumnya, selera humornya, dan cara dia melihat dunia.

Suatu malam, Leo mengajak Anya ke taman kota. Mereka duduk di bangku taman, di bawah langit yang bertaburan bintang. Leo menoleh ke arah Anya dan tersenyum. "Anya, aku… aku menyukaimu," ujarnya dengan nada gugup.

Anya tersenyum. "Aku juga, Leo. Aku juga menyukaimu."

Leo mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Anya. "Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku merasa seperti aku sudah mengenalmu seumur hidup."

Anya membalas genggaman tangannya. "Aku juga merasakan hal yang sama."

Malam itu, Anya menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikalkulasi, dan tidak bisa direplikasi. Cinta adalah tentang koneksi yang tulus, tentang penerimaan, dan tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Beberapa bulan kemudian, Anya menghapus aplikasi "Soulmate.AI" dari ponselnya. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk mencari cinta. Ia sudah menemukannya, dalam pelukan seorang pria yang membuatnya merasa hidup dan dicintai apa adanya.

Anya masih bekerja sebagai programmer, dan ia masih menyukai pekerjaannya. Tetapi sekarang, ia tahu bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada kode dan algoritma. Cinta adalah salah satunya. Dan cinta, ia pahami sekarang, adalah algoritma yang paling misterius dan indah dari semuanya. Algoritma hati, yang hanya bisa dipahami dengan hati itu sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI