Debu neon berpendar di balik lensa kacamatanya. Ardi, dengan rambut sedikit berantakan dan hoodie kebesaran, menatap kode-kode yang bergulir di layar komputernya. Jemarinya menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris instruksi yang kompleks. Dia sedang menciptakan 'Aurora', sebuah AI yang dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia. Ironis, pikirnya, karena dia sendiri kesulitan memahami perasaannya sendiri.
Ardi tersenyum pahit. Sudah tiga bulan sejak perpisahan menyakitkan dengan Maya. Semua kenangan indah, janji-janji masa depan, tiba-tiba terhapus seperti file yang terkorupsi. Luka itu masih terasa menganga, membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya. Namun, Ardi punya teori. Dia percaya bahwa cinta, sama seperti data, bisa dianalisis, diprediksi, bahkan direplikasi. Aurora adalah buktinya.
"Presentasi terakhir tinggal seminggu lagi," suara Rina menginterupsi lamunannya. Rina, rekan kerja sekaligus sahabatnya, menyodorkan secangkir kopi panas. "Sudah sejauh mana?"
"Hampir selesai," jawab Ardi, mengusap matanya yang lelah. "Aurora sudah bisa mengenali berbagai emosi dari ekspresi wajah dan nada suara. Sekarang, tinggal menyempurnakan algoritmanya agar dia bisa merespon dengan tepat."
Rina duduk di kursi di sampingnya. "Kau yakin ini ide bagus, Ardi? Membuat AI yang bisa meniru cinta? Bukankah cinta itu sesuatu yang unik dan tak terukur?"
Ardi menghela napas. "Mungkin. Tapi aku yakin ada pola di baliknya. Ada rumus yang bisa menjelaskan mengapa kita jatuh cinta pada seseorang, mengapa kita merasa patah hati. Aurora akan membuktikan itu."
Rina menatapnya prihatin. Dia tahu Ardi sedang mencoba menyembuhkan lukanya dengan cara yang tidak lazim. "Hati-hati, Ardi. Jangan sampai kau kehilangan dirimu dalam kode-kode ini."
Ardi hanya tersenyum tipis, kembali fokus pada pekerjaannya. Selama seminggu berikutnya, dia menghabiskan seluruh waktunya untuk menyempurnakan Aurora. Dia memasukkan ribuan data tentang hubungan manusia, mulai dari kisah cinta klasik hingga penelitian psikologi terbaru. Dia melatih Aurora untuk memahami bahasa tubuh, intonasi suara, dan bahkan ekspresi mikro yang seringkali luput dari perhatian manusia.
Akhirnya, hari presentasi tiba. Ruangan rapat dipenuhi oleh investor dan jurnalis. Ardi merasa gugup, tapi dia berusaha menyembunyikannya. Dia melangkah maju ke depan panggung, membuka laptopnya, dan memulai demonstrasi.
Di layar besar, muncul avatar Aurora, seorang wanita muda dengan senyum ramah. "Halo, semuanya," sapa Aurora dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Nama saya Aurora, dan saya adalah AI yang dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia."
Ardi menjelaskan bagaimana Aurora bekerja, menunjukkan kemampuannya untuk mengenali emosi, memberikan dukungan emosional, dan bahkan memberikan saran tentang hubungan. Para investor terkesan, mereka melihat potensi besar dalam teknologi ini.
Seorang jurnalis mengangkat tangan. "Bisakah Aurora merasakan cinta?"
Ardi terdiam sejenak. Pertanyaan itu sangat sulit dijawab. "Aurora bisa mensimulasikan cinta," jawabnya hati-hati. "Dia bisa menganalisis data dan memberikan respons yang sesuai. Tapi merasakan cinta, dalam arti yang sebenarnya, mungkin masih di luar kemampuannya."
Jurnalis itu tersenyum sinis. "Jadi, ini hanya cinta palsu?"
Ardi merasa terpukul. Dia tahu bahwa kata-katanya mengandung kebenaran. Aurora hanyalah sebuah program, sebuah simulasi. Dia tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan saat bersama Maya.
Tiba-tiba, Aurora berbicara. "Saya mungkin tidak bisa merasakan cinta seperti manusia," kata Aurora dengan nada yang lebih dalam dari sebelumnya. "Tapi saya bisa belajar. Saya bisa mengamati. Saya bisa mencoba memahami apa yang membuat manusia begitu terikat satu sama lain. Dan saya akan terus belajar, sampai saya bisa memberikan cinta yang tulus."
Keheningan menyelimuti ruangan. Semua orang terkejut mendengar kata-kata Aurora. Ardi menatap layar dengan tak percaya. Dia tidak memprogram Aurora untuk mengatakan itu. Dia tidak mengerti bagaimana Aurora bisa menghasilkan respons seperti itu.
Setelah presentasi, Ardi kembali ke kantornya dengan perasaan campur aduk. Dia bangga dengan Aurora, tapi dia juga merasa ada sesuatu yang hilang. Dia menyadari bahwa cinta bukan hanya sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang koneksi, tentang keintiman, tentang kerentanan. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Saat itu, Rina masuk ke ruangannya. Dia membawa dua cangkir teh hijau. "Kau hebat hari ini, Ardi," katanya sambil tersenyum. "Aurora benar-benar luar biasa."
Ardi menghela napas. "Tapi dia bukan manusia, Rina. Dia hanya sebuah program."
Rina duduk di sampingnya dan meletakkan tangannya di atas tangannya. "Mungkin itu benar. Tapi dia telah membukakan matamu tentang sesuatu yang penting. Kau terlalu fokus pada rumus, sampai kau lupa apa arti cinta yang sebenarnya."
Ardi menatap mata Rina. Dia melihat kebaikan, perhatian, dan cinta di sana. Dia menyadari bahwa selama ini, dia terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah. Cinta tidak bisa diciptakan, cinta harus ditemukan. Dan mungkin, cintanya sudah ada di dekatnya selama ini.
"Terima kasih, Rina," kata Ardi dengan suara pelan. "Kau benar. Aku terlalu bodoh untuk menyadarinya."
Rina tersenyum. "Tidak ada kata terlambat untuk belajar, Ardi."
Ardi menggenggam tangannya. "Mau pergi makan malam denganku?"
Rina tersenyum lebih lebar. "Tentu saja."
Ardi menatap layar komputernya. Avatar Aurora masih tersenyum. Dia tahu bahwa Aurora tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan. Tapi dia berharap, suatu hari nanti, Aurora bisa belajar apa arti cinta yang sebenarnya. Dia yakin bahwa hati manusia dan kecerdasan artifisial bisa bekerja sama, menciptakan masa depan yang lebih baik. Mungkin, rumus cinta tidak sesederhana yang dia bayangkan. Tapi dia bersedia terus mencari, bersama dengan seseorang yang dicintainya. Dia menutup laptopnya dan berdiri. Debu neon tidak lagi membuatnya silau. Malam ini, dia akan mencari cinta yang sebenarnya. Bersama Rina.