Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis itu. Di depan layar, jemari Arya menari lincah di atas keyboard. Kode demi kode ia rangkai, menciptakan sebuah algoritma yang menurutnya revolusioner. Bukan untuk memprediksi pasar saham, bukan pula untuk mengendalikan robot. Melainkan untuk merayu.
"Project Cupid," bisiknya sambil menyeringai. Arya adalah seorang programmer genius, tapi payah dalam urusan cinta. Baginya, perempuan adalah entitas kompleks yang lebih sulit dipahami daripada bahasa pemrograman tingkat tinggi. Jadi, ia memutuskan untuk menggunakan keahliannya untuk memecahkan kode cinta itu sendiri.
Project Cupid menganalisis data. Profil media sosial, riwayat pencarian, preferensi film dan musik, bahkan gaya bahasa dalam pesan singkat. Semua informasi itu diolah, menghasilkan serangkaian strategi rayuan yang dipersonalisasi. Arya mengujinya pada berbagai platform kencan online. Hasilnya? Mengejutkan.
Pesan-pesan cerdas, komentar yang relevan, bahkan rekomendasi restoran yang sempurna, semuanya dipicu oleh algoritma ciptaannya. Para perempuan terpesona. Arya kebanjiran perhatian dan ajakan kencan. Tapi, ada yang terasa hampa.
Di antara puluhan profil yang Project Cupid rekomendasikan, ada satu yang selalu menonjol. Namanya, Anya. Seorang ilustrator lepas dengan mata cokelat hangat dan senyum yang menenangkan. Algoritma Arya mengklaim, Anya adalah kecocokan sempurna. Namun, Arya ragu.
Pendekatan yang ia gunakan pada Anya berbeda. Project Cupid mengusulkan obrolan tentang Kafka, pameran seni surealis, dan film-film klasik Italia. Anya merespon dengan antusias, tapi responsnya terasa...dibuat-buat. Seperti ia sedang memainkan peran yang diharapkan oleh algoritma.
Suatu malam, setelah berkencan di sebuah restoran Prancis yang direkomendasikan Project Cupid (dan Anya tampak menikmatinya, meskipun Arya merasa makanan itu terlalu mewah dan kurang menggugah selera), Arya mengantar Anya pulang. Di depan apartemen Anya, keheningan canggung menyelimuti mereka.
"Terima kasih untuk malam ini, Arya," kata Anya, senyumnya sedikit dipaksakan.
Arya memberanikan diri. "Anya, ada sesuatu yang ingin kukatakan."
"Ya?"
"Aku...aku yang selama ini mendekatimu, bukan aku yang sebenarnya," akunya, merasa bersalah. "Aku menggunakan sebuah algoritma untuk...untuk merayumu."
Anya terdiam. Ekspresinya sulit dibaca. Arya merasa jantungnya berdebar kencang. Ia takut, marah, dan mungkin, jijik.
"Algoritma?" tanya Anya akhirnya, suaranya pelan.
Arya mengangguk, menunduk malu. "Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku payah dalam urusan ini. Aku pikir teknologi bisa membantuku."
Anya terkekeh. Tawa itu awalnya pelan, lalu semakin keras, sampai ia memegangi perutnya. Arya semakin bingung.
"Kamu...kamu benar-benar berpikir aku percaya semua omong kosong tentang Kafka dan seni surealis itu?" tanya Anya, masih tertawa.
Arya mengangkat kepalanya. "Maksudmu?"
"Arya, aku seorang ilustrator lepas yang lebih suka menggambar kucing daripada membaca Kafka. Aku memilih film komedi romantis daripada film klasik Italia. Tapi, algoritma-mu bilang aku akan menyukai semua itu, jadi aku berpura-pura saja," jelas Anya, tawanya mereda.
Arya merasa seperti ditampar. Selama ini, ia dan Anya sama-sama berbohong, sama-sama memainkan peran yang diciptakan oleh algoritma.
"Lalu, kenapa kamu tetap melanjutkan?" tanya Arya, kebingungan.
Anya tersenyum, senyum yang tulus, bukan yang dipaksakan seperti sebelumnya. "Karena di balik semua omong kosong itu, aku melihat seorang pria yang tulus mencoba, meskipun caranya aneh. Aku melihat seseorang yang jujur mengakui kelemahannya. Dan sejujurnya, Arya, itu lebih menarik daripada semua kutipan Kafka yang sempurna itu."
Arya terdiam. Ia merasa bodoh. Bodoh karena mempercayai bahwa cinta bisa diprediksi, dikalkulasi, dan direkayasa.
"Jadi, sekarang apa?" tanya Arya, suaranya bergetar.
"Sekarang, kita mulai dari awal," jawab Anya. "Tanpa algoritma, tanpa kebohongan. Hanya kita berdua, apa adanya."
Arya tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang berasal dari hatinya, bukan dari data dan kode.
"Kedengarannya bagus," sahut Arya. "Kalau begitu, maukah kamu menemaniku minum kopi besok? Kita bisa bicara tentang...kucing."
Anya tertawa lagi. "Dengan senang hati. Dan lain kali, kita makan burger, bukan makanan Prancis yang aneh itu."
Arya mengangguk. Malam itu, Arya kembali ke apartemennya dengan perasaan yang berbeda. Project Cupid tetap ada, tapi ia memutuskan untuk menonaktifkannya. Ia menyadari, cinta bukanlah masalah yang bisa dipecahkan dengan algoritma. Cinta adalah tentang kejujuran, kerentanan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Keesokan harinya, Arya menghapus seluruh data Anya dari Project Cupid. Ia ingin mengenal Anya yang sesungguhnya, tanpa perantara algoritma. Ia ingin merayu Anya dengan hatinya, bukan dengan piksel. Dan mungkin, hanya mungkin, di situlah ia akan menemukan cinta sejati. Cinta yang tidak membutuhkan kode, cinta yang hanya membutuhkan keberanian untuk menjadi rentan. Cinta yang bersemi bukan karena algoritma merayu, tetapi karena hati yang meragu akhirnya menemukan keberanian untuk melangkah maju.