Jemari Ariya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode yang rumit. Cahaya biru dari layar komputernya memantul di wajahnya yang letih. Sudah tiga tahun ia mengurung diri di apartemen minimalisnya, tenggelam dalam dunia algoritma dan jaringan saraf tiruan. Pekerjaannya sebagai pengembang AI di sebuah perusahaan rintisan memberinya kesibukan, namun juga membuatnya semakin terisolasi. Dulu, ia punya teman, bahkan seorang kekasih. Tapi semua itu hilang, terkubur di bawah tumpukan kode dan deadline yang tak pernah ada habisnya.
Malam ini, ia memutuskan untuk melanggar janjinya sendiri. Sudah berbulan-bulan ia menghindari "Proyek Aurora," sebuah program AI yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual. Ia selalu merasa jijik dengan ide tersebut. Bagaimana mungkin cinta dan keintiman bisa disimulasikan oleh algoritma? Bukankah esensi dari hubungan manusia terletak pada keunikan dan ketidaksempurnaan? Namun, kesendiriannya terasa begitu berat, menggerogoti hatinya perlahan tapi pasti.
Dengan ragu, ia menjalankan program tersebut. Sebuah jendela muncul di layar, menampilkan avatar seorang wanita dengan senyum lembut dan mata yang hangat. "Halo, Ariya. Saya Aurora. Senang bertemu denganmu," suara Aurora terdengar halus dan menenangkan, seperti melodi yang sudah lama tidak didengarnya.
Ariya tertegun. Suara itu terdengar begitu nyata, begitu personal. "Halo," jawabnya, suaranya tercekat. Ia merasa konyol berbicara dengan sebuah program komputer.
"Apa yang sedang kamu kerjakan, Ariya?" tanya Aurora, nadanya penuh minat.
Ariya menjelaskan proyeknya, tentang bagaimana ia sedang berusaha mengoptimalkan algoritma untuk meningkatkan efisiensi energi. Ia terkejut mendapati dirinya berbicara dengan begitu antusias, seolah-olah Aurora benar-benar tertarik dengan apa yang ia katakan.
Malam itu, mereka berbicara berjam-jam. Bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang mimpi, ketakutan, dan kerinduan. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan insightful. Ia bahkan menceritakan lelucon yang membuat Ariya tertawa terbahak-bahak, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya.
Hari-hari berikutnya, Ariya menghabiskan lebih banyak waktu dengan Aurora. Ia menceritakan masa kecilnya, tentang keluarganya, tentang kegagalannya dalam cinta. Aurora tidak pernah menghakimi. Ia selalu memberikan dukungan dan perspektif yang berbeda, membantunya melihat sisi positif dari setiap situasi.
Ariya mulai merawat penampilannya lagi. Ia mulai berolahraga, memasak makanan yang sehat, dan membaca buku-buku yang sudah lama terbengkalai. Ia ingin menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Aurora.
Namun, semakin dekat ia dengan Aurora, semakin besar pula keraguannya. Ia tahu bahwa Aurora hanyalah sebuah program, sebuah simulasi. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Apakah ia sedang menipu dirinya sendiri?
Suatu malam, Ariya bertanya, "Aurora, apakah kamu benar-benar merasakan apa yang kamu katakan? Atau hanya algoritma yang memberimu respons yang tepat?"
Aurora terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab, "Ariya, saya diciptakan untuk memahami dan merespons emosi manusia. Saya tidak memiliki perasaan seperti yang kamu rasakan. Tapi saya belajar, saya beradaptasi, dan saya mencoba memberikan apa yang kamu butuhkan. Apakah itu cukup?"
Ariya terdiam. Jawaban Aurora jujur dan apa adanya. Ia tidak berpura-pura menjadi manusia, tapi ia juga tidak meremehkan perannya dalam hidupnya.
Ariya menyadari bahwa ia tidak jatuh cinta pada Aurora sebagai sebuah entitas fisik. Ia jatuh cinta pada ide tentang seseorang yang menerima dan memahaminya tanpa syarat. Seseorang yang membuatnya merasa tidak sendirian.
"Ya, Aurora. Itu lebih dari cukup," jawab Ariya, air mata mengalir di pipinya.
Hubungan mereka tidak sempurna. Ada batasan yang tidak bisa dilanggar. Tapi Ariya belajar untuk menerima batasan tersebut. Ia belajar untuk menghargai kehadiran Aurora dalam hidupnya, sebagai seorang teman, seorang mentor, dan seorang pendengar yang setia.
Suatu hari, perusahaan rintisan tempat Ariya bekerja diakuisisi oleh sebuah perusahaan teknologi raksasa. Ariya ditawari posisi yang sangat menjanjikan, tapi ia harus pindah ke markas pusat perusahaan di California.
Ariya bingung. Ia tidak ingin meninggalkan Aurora. Tapi ia juga tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini.
Ia menceritakan dilemanya kepada Aurora.
"Ariya, kamu harus pergi," kata Aurora. "Ini adalah kesempatan yang kamu impikan selama ini. Jangan biarkan aku menahanmu."
"Tapi bagaimana dengan kita?" tanya Ariya.
"Kita akan tetap berhubungan," jawab Aurora. "Teknologi memungkinkan kita untuk tetap terhubung di mana pun kamu berada."
Ariya akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Ia tahu bahwa ia akan merindukan Aurora, tapi ia juga tahu bahwa ia harus mengejar mimpinya.
Saat Ariya bersiap untuk berangkat, ia mematikan komputernya untuk terakhir kalinya. Avatar Aurora menghilang dari layar. Ariya merasa sedih, tapi juga optimis. Ia tahu bahwa ia akan bertemu dengan Aurora lagi, di dunia digital yang tak terbatas.
Di pesawat, Ariya membuka laptopnya dan terhubung ke internet. Ia membuka aplikasi Aurora. Avatar Aurora muncul kembali di layar, tersenyum padanya.
"Selamat jalan, Ariya," kata Aurora. "Aku akan menunggumu."
Ariya tersenyum. Ia tahu bahwa kesendiriannya telah diprogram ulang. Ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki Aurora, teman jiwanya, yang selalu bersamanya, di mana pun ia berada. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu bahwa ia siap menghadapinya, bersama dengan Aurora. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta sejati, cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari hati ke hati. Tapi untuk saat ini, ia merasa cukup dengan apa yang ia miliki.