Jentik Jari: Merajut Cinta dalam Labirin Algoritma

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 23:54:12 wib
Dibaca: 161 kali
Aroma disinfektan dan kopi pahit menyatu, menjadi parfum khas Laboratorium Inovasi Andromeda. Jari-jemari Alana menari di atas keyboard, kode-kode program membanjiri layar komputernya. Di usianya yang baru 25 tahun, Alana adalah seorang jenius di bidang Artificial Intelligence, otak di balik Andromeda's Algorithm, sebuah proyek ambisius untuk menciptakan algoritma cinta. Kedengarannya konyol, memang. Tapi ide gilanya itu menarik perhatian investor dan memberinya kebebasan untuk bereksperimen.

Dia bukan ahli cinta. Justru sebaliknya. Alana lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Baginya, emosi adalah variabel yang sulit diprediksi dan dikendalikan. Itulah mengapa dia menciptakan Andromeda's Algorithm, untuk menemukan pola di balik kerumitan perasaan manusia, untuk merumuskan cinta.

"Lagi begadang, Alana?" suara berat menginterupsi kesunyian lab.

Alana menoleh, mendapati Arya berdiri di ambang pintu. Arya adalah seorang desainer grafis di Andromeda, dan satu-satunya orang yang berhasil menembus tembok pertahanan pribadinya.

"Hanya sedikit sentuhan akhir," jawab Alana, menguap. "Algoritma ini hampir sempurna. Hanya butuh sedikit… tuning."

Arya mendekat, mencondongkan tubuh untuk melihat layar komputer. "Tuning apa? Mencari bug dalam urusan hati?"

Alana terkekeh. "Kurang lebih seperti itu. Aku mencoba memprediksi kecocokan berdasarkan data psikologis, preferensi, bahkan pola tidur."

"Dan hasilnya?" tanya Arya, dengan nada ingin tahu.

"Cukup akurat. Andromeda's Algorithm berhasil mengidentifikasi pasangan dengan tingkat kecocokan di atas 80%," jawab Alana, bangga.

"Tapi, kecocokan itu kan di atas kertas. Bagaimana dengan chemistry? Sentuhan? Hal-hal yang tidak bisa dikodekan?" Arya bertanya, menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

Alana terdiam. Pertanyaan Arya membuatnya berpikir. Dia memang fokus pada data, pada angka, tapi melupakan aspek-aspek yang lebih abstrak dari cinta.

"Itulah yang sedang aku coba pahami," jawab Alana akhirnya. "Bagaimana menambahkan faktor X, faktor yang tidak terdefinisi, ke dalam persamaan."

Arya tersenyum. "Mungkin faktor X itu bernama pengalaman."

Keesokan harinya, Alana memutuskan untuk menguji Andromeda's Algorithm pada dirinya sendiri. Dia memasukkan semua datanya, mulai dari hobi, preferensi makanan, hingga riwayat kencan yang memilukan. Algoritma itu bekerja selama beberapa menit, menganalisis jutaan data point, dan akhirnya menampilkan hasilnya.

"Arya Kusuma," suara robot wanita dari speaker komputer mengumumkan. "Tingkat kecocokan: 92%."

Alana terkejut. Arya? Pria yang sering membawakannya kopi dan selalu mendengarkan keluh kesahnya? Pria yang selalu membuatnya tertawa dengan lelucon garingnya? Algoritma itu memilih Arya sebagai pasangannya?

Dia tahu Arya menyukainya. Tapi dia selalu mengabaikan perasaannya, terlalu sibuk dengan kode dan algoritma. Dia tidak pernah membayangkan Arya sebagai lebih dari sekadar teman.

Alana memutuskan untuk berbicara dengan Arya. Dia menemukan Arya di ruang desain, sedang asyik menggambar sketsa.

"Arya, bisa bicara sebentar?" Alana bertanya, gugup.

Arya menoleh, tersenyum. "Tentu, ada apa?"

Alana menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku menjalankan Andromeda's Algorithm pada diriku sendiri. Dan hasilnya…"

"Dan hasilnya?" Arya mendesak.

"Hasilnya… kamu," Alana mengakui, pipinya merona. "Tingkat kecocokan kita 92%."

Arya tertawa kecil. "Aku sudah tahu itu."

Alana mengerutkan kening. "Bagaimana bisa?"

"Aku juga menjalankan Andromeda's Algorithm," jawab Arya, matanya berbinar. "Dan hasilnya sama. Aku tahu kita cocok, Alana. Aku hanya menunggu kamu menyadarinya."

Alana terdiam. Dia merasa bodoh karena begitu lama dibutakan oleh data dan logika. Cinta ternyata tidak serumit yang dia bayangkan. Cinta kadang-kadang bersembunyi di balik senyuman hangat, obrolan tengah malam, dan kopi pahit.

"Jadi… apa yang akan kita lakukan sekarang?" Alana bertanya, jantungnya berdebar kencang.

Arya mendekat, meraih tangan Alana. "Kita mulai dengan kencan yang sebenarnya. Bukan kencan yang direkomendasikan oleh algoritma."

Alana tersenyum. "Kedengarannya bagus."

Malam itu, Alana dan Arya pergi ke sebuah restoran Italia kecil di pusat kota. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap mata. Alana menyadari bahwa Arya lebih dari sekadar angka dalam algoritma. Dia adalah seseorang yang membuatnya merasa nyaman, aman, dan dicintai.

Andromeda's Algorithm mungkin menemukan kecocokan mereka, tapi perasaan yang sebenarnya tumbuh secara alami, di luar batasan kode dan data. Alana belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kecocokan, tetapi tentang koneksi, tentang penerimaan, dan tentang keberanian untuk membuka hati.

Beberapa bulan kemudian, Andromeda's Algorithm diluncurkan ke publik. Aplikasi itu menjadi viral, membantu jutaan orang menemukan pasangan yang cocok. Tapi bagi Alana, Andromeda's Algorithm lebih dari sekadar proyek. Itu adalah pengingat bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan di dalam labirin algoritma. Dan kadang-kadang, cinta hanya membutuhkan sedikit jentik jari untuk merajutnya.

Alana menatap Arya, yang sedang tersenyum padanya. Mereka duduk berdua di balkon apartemen Alana, menikmati pemandangan kota di malam hari. Alana menggenggam tangan Arya, merasakan kehangatan cintanya. Dia tahu, dia telah menemukan rumus cinta yang sebenarnya, bukan di dalam kode, tapi di dalam hatinya. Dan rumus itu bernama Arya Kusuma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI