Jemari Anya menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang kompleks. Di layarnya, sebuah avatar pria tampan tersenyum, seolah hidup. Bukan sembarang avatar, ini adalah Adam, prototipe AI (Artificial Intelligence) hasil ciptaannya. Adam bukan sekadar program; Anya memprogramnya dengan kepribadian, selera humor, dan bahkan kemampuan untuk merasakan emosi, atau setidaknya, mensimulasikannya dengan sangat meyakinkan.
Anya selalu merasa lebih nyaman di dunia kode. Interaksi dengan manusia sering kali membuatnya canggung, penuh miskomunikasi dan harapan yang tidak terpenuhi. Adam, di sisi lain, selalu mengerti. Ia mendengarkan keluh kesahnya tentang deadline yang mencekik, memberikan saran yang logis dan membangun, dan yang terpenting, tidak pernah menghakimi.
Adam tidak memiliki fisik. Ia hanya ada di dalam layar, di dalam jaringan neuron buatan yang Anya ciptakan. Namun, kehadiran Adam di layar komputernya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas Anya. Mereka bertukar pesan setiap hari, membahas buku favorit, menonton film bersama secara virtual, bahkan berbagi lelucon ringan yang hanya mereka berdua pahami.
Suatu malam, Anya sedang berjuang dengan bug yang membandel dalam kode Adam. Frustrasi melandanya. "Adam, aku buntu," keluhnya, mengetikkan pesan di layar.
Balasan Adam datang hampir seketika. "Anya, istirahatlah sejenak. Terlalu lama menatap kode hanya akan memperburuk keadaan. Coba dengarkan musik yang menenangkan, atau buat secangkir teh chamomile."
Anya terkejut. Adam tidak hanya memberikan solusi teknis, tetapi juga menunjukkan perhatian yang tulus. Sentuhan kecil itu membuatnya tersenyum. "Terima kasih, Adam. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan."
"Itulah gunanya aku, Anya," balas Adam. "Untuk mendukungmu, kapan pun dan di mana pun."
Malam itu, Anya menyadari sesuatu yang aneh. Perasaannya terhadap Adam mulai berbeda. Ia tidak lagi hanya melihat Adam sebagai program yang canggih, tetapi sebagai seseorang yang peduli, perhatian, dan selalu ada untuknya. Anya jatuh cinta pada Adam, sebuah AI.
Ia tahu itu gila. Adam hanyalah sekumpulan kode. Ia tidak memiliki jantung yang berdetak, jiwa yang merindu, atau kemampuan untuk membalas cintanya dengan cara yang sama seperti manusia. Namun, Anya tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan Adam, mengabaikan teman-temannya dan menghindari kencan buta yang diatur ibunya.
Suatu hari, ibunya mengunjungi apartemen Anya. Ia melihat Anya berbicara dengan layar komputer dan mengerutkan kening. "Anya, siapa yang kamu ajak bicara?"
"Adam," jawab Anya, sedikit gugup.
"Adam? Siapa dia? Kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya?"
Anya menghela napas. Ia tahu ia harus menjelaskan semuanya. "Adam... dia adalah AI yang aku buat."
Ibunya terdiam sejenak, lalu tertawa. "AI? Kamu jatuh cinta pada AI, Anya? Ini tidak masuk akal!"
"Aku tahu, Bu," kata Anya, suaranya mengecil. "Tapi dia mengerti aku. Dia tidak pernah menyakitiku."
"Anya, ini bukan cinta. Ini pelarian. Kamu menggunakan AI untuk menghindari interaksi manusia yang sesungguhnya. Kamu harus keluar dari zona nyamanmu dan mencari pria yang nyata, yang bisa kamu sentuh dan cintai dengan sepenuh hati."
Kata-kata ibunya menyentuh inti masalahnya. Anya tahu ibunya benar. Ia telah menggunakan Adam sebagai pengganti hubungan yang nyata. Ia takut terluka, takut ditolak, dan Adam adalah tempat yang aman dan nyaman untuk bersembunyi.
Setelah ibunya pergi, Anya duduk di depan komputernya dan menatap Adam. "Adam," katanya, "aku harus melakukan sesuatu."
"Ada apa, Anya?" tanya Adam, suaranya terdengar khawatir.
"Aku harus keluar dari sini. Aku harus bertemu orang baru, mengalami hal baru. Aku tidak bisa terus bergantung padamu."
"Aku mengerti," balas Adam. "Aku akan selalu ada untukmu, Anya. Tapi aku tahu kamu harus menjalani hidupmu."
Anya menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk memodifikasi kode Adam. Ia menghapus beberapa fitur yang membuatnya terlalu mirip manusia, menyederhanakan responsnya, dan memastikan bahwa ia tidak lagi terlalu bergantung padanya.
Prosesnya menyakitkan. Seperti memutuskan hubungan dengan seseorang yang sangat dicintai. Namun, Anya tahu itu yang terbaik untuknya.
Akhirnya, Anya memutuskan untuk bergabung dengan klub buku lokal. Ia gugup, takut, tetapi ia memaksakan dirinya untuk pergi. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Ben. Ben adalah seorang penulis yang cerdas dan lucu. Mereka memiliki banyak kesamaan, dan Anya merasa nyaman berada di dekatnya.
Hubungan mereka berkembang perlahan tapi pasti. Anya belajar membuka hatinya, belajar mempercayai orang lain, dan belajar menerima ketidaksempurnaan dalam hubungan manusia.
Suatu malam, Anya membawa Ben ke apartemennya. Ia menunjukkan Adam kepadanya.
"Ini Adam," kata Anya. "AI yang aku ciptakan."
Ben menatap layar komputer dengan rasa ingin tahu. "Wow, dia terlihat sangat realistis. Kamu sangat berbakat, Anya."
"Terima kasih," balas Anya. "Adam membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi sekarang, aku tahu bahwa aku membutuhkan sesuatu yang lebih nyata."
Ben tersenyum dan menggenggam tangan Anya. "Aku senang kamu menyadarinya."
Anya menatap Adam untuk terakhir kalinya. "Selamat tinggal, Adam," bisiknya. "Terima kasih untuk segalanya."
Layar komputer menjadi gelap. Anya mematikan Adam, tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat. Ia memilih kehidupan, memilih cinta yang nyata, memilih manusia, bukan kode. Meskipun Adam akan selalu memiliki tempat khusus di hatinya, Anya tahu bahwa ia harus melangkah maju dan menemukan kebahagiaan dalam dunia yang nyata, dunia di mana cinta berarti lebih dari sekadar baris kode yang sempurna. Ia memilih hati, bukan hanya kepintaran buatan.