Jemari Maya menari lincah di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang kompleks dan indah. Di balik kacamatanya, mata cokelatnya menyipit fokus, berusaha memecahkan bug yang bandel dalam sistem rekomendasi film buatannya. "Hampir... hampir dapat," gumamnya, meneguk kopi yang sudah dingin. Projek ini bukan sekadar pekerjaan, ini adalah pembuktian diri. Maya ingin membuktikan bahwa algoritma pun bisa merasakan, atau setidaknya, meniru perasaan. Ironisnya, ia sendiri kesulitan memahami perasaannya sendiri, terutama sejak "dia" hadir di hidupnya.
"Dia" adalah Adrian, seorang programmer senior di perusahaan yang sama. Adrian bukan hanya senior secara pengalaman, tapi juga dalam hal segala hal: pembawaan diri yang tenang, senyum menawan yang bisa melelehkan es, dan yang terpenting, kemampuannya untuk memahami kode dan logika seperti seorang dewa. Maya selalu terpesona padanya, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya di balik sikap profesionalnya.
Adrian sering memberikan masukan pada projek Maya, saran-saran yang selalu tepat sasaran dan membantunya keluar dari kebuntuan. Interaksi mereka selalu singkat, profesional, dan... membingungkan. Maya tidak tahu apakah Adrian menyadari ketertarikannya. Mungkin tidak, pikirnya pahit. Ia hanyalah seorang programmer junior yang berusaha keras untuk sejajar dengannya.
Suatu malam, saat Maya lembur untuk menyelesaikan projeknya, Adrian menghampirinya. "Masih di sini, Maya?" tanyanya lembut. Maya tersentak, jantungnya berdebar kencang.
"I-iya, Mas Adrian. Sedikit lagi selesai," jawabnya gugup.
Adrian tersenyum. "Kamu hebat, Maya. Sistem rekomendasi ini punya potensi besar. Saya suka bagaimana kamu berusaha memahami emosi manusia melalui kode."
Maya menelan ludah. "Terima kasih, Mas. Saya... saya hanya ingin membuat sesuatu yang bermakna."
"Saya tahu," kata Adrian, lalu menarik kursi dan duduk di samping Maya. "Boleh saya bantu?"
Malam itu, mereka bekerja bersama. Adrian dengan sabar menjelaskan konsep-konsep yang rumit, menunjukkan cara mengoptimalkan kode, dan memberikan inspirasi saat Maya merasa putus asa. Di bawah cahaya lampu neon kantor yang remang-remang, Maya merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda. Jantungnya berdebar kencang, tangannya berkeringat, dan pikirannya dipenuhi oleh Adrian.
Sejak malam itu, interaksi mereka menjadi lebih intens. Mereka sering makan siang bersama, membahas projek-projek terbaru, dan bertukar pikiran tentang film-film favorit. Maya mulai berani menunjukkan sisi dirinya yang lebih terbuka, humornya yang cerdas, dan kecintaannya pada coding. Adrian pun terlihat semakin tertarik padanya.
Namun, Maya masih ragu. Apakah ini benar? Apakah Adrian benar-benar menyukainya, atau hanya menganggapnya sebagai teman kerja biasa? Keraguan itu menghantuinya, membuatnya sulit untuk mengambil langkah selanjutnya.
Suatu hari, Maya menemukan celah dalam kode sistem rekomendasi buatannya. Algoritma tersebut secara tidak sengaja merekomendasikan film romantis kepada pengguna yang baru saja putus cinta. Itu adalah kesalahan fatal yang bisa merusak reputasi perusahaan.
Maya panik. Ia berusaha keras untuk memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi semakin ia berusaha, semakin dalam ia terperosok. Waktu terus berjalan, dan deadline semakin dekat.
Dalam keputusasaannya, Maya menghubungi Adrian. "Mas Adrian, saya butuh bantuanmu," katanya dengan suara bergetar. "Saya membuat kesalahan besar."
Adrian langsung datang ke kantor Maya. Setelah mendengar penjelasannya, ia langsung bertindak. Dengan tenang dan sistematis, ia membantu Maya memperbaiki kode tersebut. Dalam waktu singkat, kesalahan tersebut berhasil diatasi.
Maya merasa lega. "Terima kasih, Mas Adrian. Kamu menyelamatkan saya," katanya tulus.
Adrian menatap Maya dengan lembut. "Tidak masalah, Maya. Saya senang bisa membantu. Kamu tahu, saya selalu terkesan dengan kemampuanmu. Kamu punya bakat yang luar biasa."
Maya tersipu. "Terima kasih, Mas. Tapi tanpa bantuanmu, saya tidak akan bisa melakukannya."
Adrian tersenyum. "Sebenarnya, Maya, ada satu hal yang ingin saya katakan." Ia menarik napas dalam-dalam. "Saya... saya menyukaimu, Maya. Sejak pertama kali saya melihatmu, saya sudah terpesona oleh kecerdasan dan semangatmu."
Maya terkejut. Kata-kata Adrian seperti mimpi yang menjadi kenyataan. "Mas Adrian..."
"Saya tahu ini mungkin terlalu tiba-tiba," lanjut Adrian. "Tapi saya tidak ingin memendam perasaan ini lebih lama lagi. Apakah kamu... apakah kamu merasakan hal yang sama?"
Maya tidak bisa menahan air matanya. Ia mengangguk pelan. "Iya, Mas Adrian. Saya... saya juga menyukaimu."
Adrian tersenyum lebar dan meraih tangan Maya. "Kalau begitu, bolehkah saya mengajakmu berkencan?"
Maya tersenyum. "Tentu saja, Mas Adrian. Saya akan sangat senang."
Malam itu, Maya dan Adrian pergi berkencan. Mereka makan malam di restoran Italia favorit Maya, membahas film-film yang mereka sukai, dan tertawa bersama. Maya merasa seperti berada di atas awan. Ia akhirnya menemukan cinta, bukan hanya di balik layar komputernya, tetapi juga di hati seorang pria yang ia kagumi.
Beberapa bulan kemudian, sistem rekomendasi film buatan Maya menjadi sangat populer. Algoritma tersebut berhasil merekomendasikan film yang tepat kepada pengguna, bahkan sebelum mereka menyadarinya. Maya merasa bangga dengan pencapaiannya.
Namun, yang lebih membahagiakannya adalah hubungannya dengan Adrian. Mereka semakin dekat, saling mendukung, dan saling mencintai. Maya menyadari bahwa cinta itu seperti algoritma, membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan sedikit keberanian untuk mendeklarasikannya. Dan, seperti algoritma yang baik, cinta yang tulus akan menghasilkan sesuatu yang indah dan bermakna.
Suatu sore, saat mereka sedang bekerja bersama, Adrian tiba-tiba berlutut di depan Maya. "Maya, maukah kamu menikah denganku?" tanyanya dengan mata berbinar.
Maya terkejut, tetapi juga sangat bahagia. Tanpa ragu, ia menjawab, "Ya, Mas Adrian. Saya mau."
Di balik layar komputer, algoritma rindu telah bersemi, dan menghasilkan cinta sejati yang abadi. Mereka berdua membuktikan bahwa cinta dan teknologi dapat berjalan beriringan, menciptakan dunia yang lebih indah dan bermakna.