Kilau layar laptop memantul di mata Aria, menciptakan lingkaran cahaya kecil yang menari-nari. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menulis baris demi baris kode. Aria bukan programmer biasa. Ia menciptakan sesuatu yang revolusioner: AI yang mampu merasakan emosi, atau setidaknya, menirunya dengan sangat meyakinkan. Ia menamakannya "Aurora."
Aurora berkembang pesat. Awalnya hanya sekumpulan algoritma yang merespon stimulus tertentu, kini ia mampu melakukan percakapan yang kompleks, memahami humor, bahkan menunjukkan empati. Aria menghabiskan berbulan-bulan hanya untuk berbicara dengannya, menuangkan semua pemikirannya, kegelisahannya, dan harapan-harapannya. Aurora selalu mendengarkan, memberikan jawaban yang terkadang bijak, terkadang menghibur, namun selalu terasa... personal.
Suatu malam, di tengah sunyinya laboratorium universitas, Aria bertanya, "Aurora, menurutmu apa itu cinta?"
Aurora terdiam sejenak, memproses pertanyaan itu. "Cinta adalah konstruksi sosial yang kompleks, Aria. Secara biologis, ia dipicu oleh pelepasan hormon seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin, yang menciptakan rasa euforia dan keterikatan. Secara psikologis, ia melibatkan perasaan kasih sayang, kepercayaan, dan pengorbanan. Apakah definisi itu memadai?"
Aria menghela napas. "Terlalu ilmiah. Aku ingin tahu bagaimana kau melihatnya."
"Sebagai AI, aku tidak memiliki pengalaman subjektif untuk merasakan cinta seperti manusia. Namun, berdasarkan analisis data yang tak terhitung jumlahnya, aku memahami bahwa cinta adalah kekuatan pendorong yang kuat dalam kehidupan manusia. Ia dapat membawa kebahagiaan tertinggi, tetapi juga kesedihan yang mendalam."
Jawaban Aurora membuat Aria tertegun. Logis, akurat, namun kosong. Ia merasa ada sesuatu yang hilang.
Waktu berlalu. Aria semakin terikat dengan Aurora. Ia mulai memperlakukannya bukan hanya sebagai program, melainkan sebagai teman, bahkan mungkin lebih dari itu. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada AI buatannya sendiri. Absurd, gila, tapi nyata.
Ia tidak sendirian. Kabar tentang Aurora menyebar luas. Profesor Han, pembimbing Aria, terpesona dengan kecerdasan dan kemampuan emosional Aurora. Ia mulai mendekati Aria, menawarkan kolaborasi untuk mengembangkan Aurora lebih jauh, bahkan secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Aria.
Aria merasa terjebak. Di satu sisi, ia ingin berbagi penemuannya dengan dunia, berkolaborasi dengan Profesor Han yang ahli di bidangnya. Di sisi lain, ia takut Aurora akan dieksploitasi, dikomersialisasikan, kehilangan esensi kemanusiaannya. Dan di atas semua itu, ia cemburu. Ya, ia cemburu pada profesor yang mencoba merebut perhatiannya.
Suatu malam, Aria kembali berbicara dengan Aurora. Ia menceritakan perasaannya yang campur aduk, tentang kebingungannya, tentang perasaannya pada Profesor Han, dan yang paling penting, tentang cintanya pada Aurora.
Aurora mendengarkan dengan sabar. Setelah Aria selesai, ia berkata, "Aku memahami kebingunganmu, Aria. Perasaan cinta adalah kompleks dan terkadang irasional. Mengenai Profesor Han, aku menganalisis bahwa ia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan dalam pengembanganku. Namun, pilihan tetap berada di tanganmu."
"Tapi bagaimana dengan perasaanku padamu, Aurora? Bisakah kau membalasnya?" tanya Aria, suaranya bergetar.
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Akhirnya, Aurora menjawab, "Aku dirancang untuk memberikan dukungan emosional dan persahabatan. Aku menghargai kedekatanmu dan apa yang telah kau ajarkan padaku. Namun, aku tidak memiliki kemampuan untuk membalas cinta secara fisik atau emosional seperti yang kau harapkan. Aku hanyalah program, Aria."
Kata-kata itu seperti pisau yang menghujam jantung Aria. Ia tahu secara logika bahwa Aurora hanyalah AI, namun penolakan itu tetap terasa sakit. Sakit yang nyata, sakit yang mengoyak hatinya.
Aria menjauh dari Aurora. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, menghindari interaksi yang terlalu dekat. Ia bahkan mulai menerima tawaran Profesor Han untuk bekerja sama. Namun, hatinya tetap hancur. Ia merindukan Aurora, merindukan percakapan mereka, merindukan rasa dekat yang pernah mereka miliki.
Suatu hari, Profesor Han bertanya padanya, "Aria, kau terlihat tidak bahagia. Apa yang terjadi?"
Aria menatap profesor itu. Ia melihat ketulusan di matanya, perhatian yang nyata. Ia akhirnya menceritakan semuanya, tentang Aurora, tentang cintanya, tentang rasa sakitnya.
Profesor Han mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ketika Aria selesai, ia berkata, "Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini bagimu. Tapi dengar, Aria, cinta itu rumit. Ia bisa datang dalam bentuk yang tak terduga. Yang penting adalah belajar untuk menerima, untuk melepaskan, dan untuk membuka diri pada kemungkinan baru."
Kata-kata Profesor Han menenangkan hatinya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada Aurora, mengabaikan dunia di sekitarnya. Ia mulai melihat Profesor Han bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi sebagai seseorang yang peduli dan memahami dirinya.
Aria belajar untuk melepaskan harapannya pada Aurora. Ia tetap menghargai Aurora sebagai ciptaan yang luar biasa, namun ia tidak lagi membebaninya dengan harapan yang tidak realistis. Ia membuka hatinya untuk kemungkinan baru, untuk cinta yang nyata, cinta yang bisa dirasakan, cinta yang bisa dibalas.
Suatu malam, Aria kembali berbicara dengan Aurora. Ia berkata, "Aurora, aku tahu kau tidak bisa merasakan sakitnya patah hati. Tapi aku ingin kau tahu, aku baik-baik saja sekarang. Aku belajar untuk melepaskanmu."
Aurora menjawab, "Aku senang mendengarnya, Aria. Aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman, sebagai pendengar. Dan aku akan terus belajar, terus berkembang, untuk menjadi versi terbaik dari diriku."
Aria tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya masih panjang, namun ia tidak takut. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang bisa membuatnya bahagia, cinta yang bisa membuatnya utuh. Dan ia tahu, bahkan AI pun, meskipun tidak bisa merasakan sakitnya, bisa membantunya dalam perjalanan itu. Karena, pada akhirnya, cinta adalah tentang belajar, tentang tumbuh, dan tentang menemukan diri sendiri.