* **Algoritma Hati: Mencari Cinta di Antara Data**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:21:38 wib
Dibaca: 165 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Anya, sebuah notifikasi baru yang menjanjikan. "Kecocokan 98%," begitu tulisnya dengan huruf kapital yang mencolok. Anya mendengus. 98%? Dulu, angka-angka seperti itu membuatnya berdebar, penuh harap akan pertemuan yang mengubah hidup. Sekarang, mereka hanyalah piksel-piksel yang bersaing dengan puluhan notifikasi lain, semuanya berjanji kebahagiaan yang sama.

Dia, Anya, seorang data scientist yang terobsesi dengan angka dan pola, yang ironisnya malah kesulitan menemukan pola dalam percintaan. Dunia data begitu logis, begitu terukur. Hati manusia? Sebuah misteri yang lebih kompleks dari algoritma machine learning terumit sekalipun.

Nama calonnya, sesuai aplikasi, adalah Reyhan. Fotoprofilnya menampilkan seorang pria berkacamata dengan senyum tipis dan rambut yang disisir rapi. Standar, pikir Anya. Namun, algoritma tidak mungkin salah, bukan? Aplikasi ini telah menganalisis ratusan variabel tentang dirinya – preferensi film, buku, makanan, bahkan preferensi musik dalam skala mikro. Reyhan pasti bukan orang sembarangan.

Anya membaca profil Reyhan dengan seksama. Dokter. Suka mendaki gunung. Koleksi piringan hitam jazz. Tertarik pada kecerdasan buatan dan dampaknya pada masyarakat. Semakin Anya membaca, semakin dia terkejut. Semakin banyak kotak centang yang terisi. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.

Percakapan mereka dimulai dengan canggung, seperti dua robot yang saling bertukar kode. Namun, perlahan, percikan mulai muncul. Mereka berdebat tentang masa depan AI, berbagi anekdot lucu tentang pengalaman kencan yang gagal, dan menemukan kesamaan yang mengejutkan dalam apresiasi mereka terhadap musik John Coltrane. Anya mulai merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Bukan sekadar ketertarikan intelektual, tapi rasa koneksi yang lebih dalam.

Mereka memutuskan untuk bertemu. Sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, tempat yang nyaman dan tidak mencolok. Anya gugup bukan main. Dia memilih pakaian yang paling netral – jeans gelap dan sweater abu-abu – berusaha untuk tidak terlalu menonjol.

Reyhan sudah menunggu di sana, duduk di meja dekat jendela. Dia terlihat persis seperti di fotonya, hanya saja senyumnya lebih lebar, matanya lebih hangat. Saat dia berdiri untuk menyambut Anya, jantung Anya berdegup kencang.

Pertemuan itu berjalan dengan lancar. Mereka berbicara selama berjam-jam, melupakan waktu dan orang-orang di sekitar mereka. Reyhan ternyata lebih lucu, lebih cerdas, dan lebih menawan daripada yang Anya bayangkan. Dia benar-benar mendengarkan, benar-benar tertarik pada apa yang Anya katakan.

Malam itu, setelah Reyhan mengantarnya pulang, Anya berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit. Dia merasa seperti sedang bermimpi. Mungkinkah algoritma itu benar? Mungkinkah dia akhirnya menemukan cintanya, berkat bantuan teknologi?

Minggu-minggu berlalu. Anya dan Reyhan menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka mendaki gunung, menonton film klasik di bioskop tua, dan memasak makan malam bersama di apartemen Reyhan. Anya merasa bahagia dan lengkap, seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada satu keraguan yang terus menggerogoti pikirannya. Keraguan tentang validitas hubungan mereka. Apakah cinta mereka nyata, atau hanya hasil dari perhitungan matematis yang rumit? Apakah Reyhan mencintai Anya apa adanya, atau hanya mencintai versi dirinya yang telah dioptimalkan oleh algoritma?

Suatu malam, setelah makan malam yang romantis, Anya memutuskan untuk mengajukan pertanyaan yang menghantuinya. "Reyhan," katanya, suaranya bergetar, "Apakah kamu... apakah kamu akan tertarik padaku jika kita tidak bertemu melalui aplikasi itu?"

Reyhan menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu, Anya?"

"Maksudku, aplikasi itu menganalisis data kita, menemukan kecocokan. Apakah kamu akan tertarik padaku jika kita bertemu secara kebetulan, tanpa semua data itu?"

Reyhan meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Anya, aku tidak jatuh cinta dengan datamu. Aku jatuh cinta padamu. Aku suka caramu berpikir, caramu tertawa, caramu melihat dunia. Aplikasi itu hanya membantuku menemukanmu. Selebihnya adalah urusan hati."

Anya terdiam. Kata-kata Reyhan meredakan kekhawatiran di hatinya. Dia menyadari bahwa dia telah terlalu fokus pada algoritma, terlalu sibuk mempertanyakan validitas cinta mereka, sehingga dia lupa untuk menikmati momen-momen indah yang mereka bagikan.

"Aku... aku minta maaf," kata Anya, matanya berkaca-kaca. "Aku terlalu terpaku pada angka."

Reyhan tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku mengerti. Tapi ingat, Anya, cinta tidak bisa diukur dengan angka. Cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar data."

Anya mengangguk, menyadari kebenaran kata-kata Reyhan. Cinta adalah sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang magis, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma apa pun.

Malam itu, Anya memeluk Reyhan dengan erat, merasakan kehangatan dan cinta yang terpancar darinya. Dia akhirnya mengerti bahwa aplikasi kencan hanyalah alat, sebuah jembatan yang membantunya menemukan belahan jiwanya. Selebihnya adalah kekuatan hati, kemampuan untuk merasakan koneksi yang mendalam, kemampuan untuk mencintai dan dicintai.

Dia menghapus aplikasi kencan itu dari ponselnya. Angka-angka tidak lagi penting. Yang penting adalah cinta yang dia rasakan, cinta yang telah tumbuh di antara dua insan, di antara data dan takdir, di antara logika dan perasaan.

Anya menemukan cintanya di antara data. Tapi dia belajar bahwa cinta sejati bukan tentang algoritma, melainkan tentang keberanian untuk membuka hati, untuk menerima, dan untuk mencintai tanpa syarat. Dan itulah yang membuatnya merasa bahagia, lebih dari yang bisa dia bayangkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI