Cinta Berbasis Data: Apakah Hatiku Bisa Di-debug?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:34:57 wib
Dibaca: 164 kali
Debu-debu digital menari di layar laptopku, membentuk pola-pola familiar barisan kode. Jari-jariku dengan lincah menekan tombol, larut dalam dunia algoritma dan logika. Aku, Aria, seorang data scientist muda, merasa paling nyaman di antara deretan angka dan baris kode. Lebih nyaman daripada menghadapi kenyataan bahwa hatiku terasa seperti program yang corrupt, penuh bug yang entah bagaimana cara memperbaikinya.

Masalahnya adalah Leo. Leo, si jenius software engineer dengan senyum menawan yang mampu meruntuhkan firewall terkuat sekalipun. Kami bertemu di konferensi teknologi tahunan, dan sejak saat itu, duniaku terasa seperti update besar-besaran yang belum sepenuhnya ter-install. Leo berbeda. Dia tidak hanya melihatku sebagai kumpulan data, tetapi sebagai seseorang yang kompleks, unik, dan… menarik.

Sayangnya, aku tidak tahu bagaimana merespon. Aku terbiasa menganalisis data, memprediksi tren, dan mengoptimalkan algoritma. Tapi perasaan? Emosi? Itu adalah wilayah asing, penuh dengan variabel yang tidak bisa dikontrol, kesalahan yang tidak bisa di-debug.

Leo mendekatiku secara bertahap. Makan siang bersama, sesi brainstorming larut malam, dan obrolan ringan tentang mimpi dan harapan. Aku mencoba menganalisis setiap interaksi kami. Mencari pola, mencoba memprediksi tujuannya, mencari tahu apakah perasaanku ini valid atau hanya anomali dalam sistem.

Suatu sore, saat kami sedang menyesap kopi di kafe favorit kami, Leo berkata, "Aria, aku suka caramu berpikir. Kamu melihat dunia dengan cara yang berbeda, dengan logika dan presisi. Tapi aku juga suka sisi lembutmu, sisi yang kamu sembunyikan di balik kode-kode itu."

Jantungku berdebar kencang. Aku merasa seperti program yang mengalami stack overflow. Kata-katanya seperti perintah yang tidak bisa dieksekusi. Aku menunduk, memainkan cangkir kopiku.

"Aku... aku tidak tahu bagaimana merespon," gumamku. "Aku tidak terbiasa dengan hal seperti ini. Perasaan..."

Leo meraih tanganku. Sentuhannya lembut, namun kuat. "Perasaan itu tidak harus dianalisis, Aria. Kadang-kadang, kamu hanya perlu merasakannya."

Kalimatnya itu seperti patch yang memperbaiki bug dalam diriku. Aku menatap matanya, dan untuk pertama kalinya, aku membiarkan diriku merasakan. Aku merasakan kehangatan, ketertarikan, dan... harapan.

Namun, keraguan masih menghantuiku. Aku adalah seorang data scientist. Aku terbiasa mengendalikan segalanya. Bagaimana jika aku mengecewakan Leo? Bagaimana jika perasaanku hanya ilusi? Bagaimana jika aku tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan?

Ketakutan-ketakutan itu mendorongku untuk kembali ke zona nyamanku: data. Aku mulai mengumpulkan data tentang hubungan, tentang cinta, tentang kompatibilitas. Aku membuat spreadsheet besar dengan kolom-kolom tentang kepribadian, minat, harapan, dan ketakutan. Aku mencoba mencari tahu apakah kami cocok, apakah hubungan ini memiliki potensi keberhasilan.

Leo menyadarinya. Suatu malam, saat aku sedang sibuk dengan spreadsheet-ku, dia duduk di sampingku dan menatapku dengan sedih.

"Aria, apa yang kamu lakukan?" tanyanya lembut.

"Aku... aku hanya mencoba memahami," jawabku, berusaha menghindar dari tatapannya. "Aku ingin memastikan bahwa kita cocok. Aku ingin tahu apakah hubungan ini akan berhasil."

Leo menghela napas. "Aria, cinta itu bukan tentang data. Cinta itu tentang koneksi, tentang kepercayaan, tentang menerima satu sama lain apa adanya."

Dia mengambil laptopku dan menutupnya. "Kamu tidak bisa memprediksi masa depan dengan data. Kamu hanya bisa menjalaninya, bersama-sama."

Kata-katanya itu menamparku. Aku menyadari betapa bodohnya aku. Aku mencoba mengubah cinta menjadi sebuah masalah matematika, sebuah algoritma yang bisa dipecahkan. Aku lupa bahwa cinta itu tentang hati, bukan tentang kode.

Aku menatap Leo, air mata menggenang di mataku. "Aku... aku minta maaf," ucapku lirih. "Aku takut. Aku tidak tahu bagaimana mencintai."

Leo memelukku erat. "Tidak apa-apa, Aria. Kita akan belajar bersama. Aku akan membantumu."

Aku membenamkan wajahku di dadanya, merasakan kehangatannya, ketenangannya. Untuk pertama kalinya, aku merasa aman, dicintai, dan diterima apa adanya.

Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Aku masih memiliki banyak hal untuk dipelajari tentang cinta dan tentang diriku sendiri. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak sendirian. Aku memiliki Leo di sisiku, dan bersama-sama, kami akan menavigasi labirin perasaan ini, mencari tahu bagaimana cara mencintai dengan sepenuh hati.

Mungkin, hatiku memang membutuhkan debugging. Tapi mungkin juga, yang kubutuhkan hanyalah seseorang yang bersedia membantuku memperbaikinya, bukan dengan kode, tapi dengan cinta. Dan mungkin, itulah jawaban dari pertanyaan yang selama ini menghantuiku. Cinta berbasis data memang terdengar logis, namun cinta yang tulus, yang dirasakan dalam hati, jauh lebih berharga daripada sekadar angka dan statistik. Aku percaya, bersamanya, aku bisa belajar mencintai tanpa harus menganalisisnya. Bersamanya, aku bisa belajar merasakan tanpa harus mengendalikannya. Bersamanya, aku bisa menjadi diriku sendiri, seorang data scientist yang akhirnya menemukan cinta dalam dunia yang penuh dengan data dan algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI