AI: Bisakah Algoritma Membeli Rasa Sakit Hati?

Dipublikasikan pada: 06 Jun 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 172 kali
Udara kafe beraroma kopi bercampur melankoli. Di sudut ruangan, seorang pria bernama Aris menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, irama yang sama dengan denyut jantungnya yang berpacu tak karuan. Aris seorang programmer jenius, tapi malam ini bukan algoritma rumit yang memenuhi pikirannya, melainkan bayangan wajah Riana, mantan kekasihnya.

Tiga bulan lalu, Riana memutuskan hubungan mereka. Alasannya klasik: “Kita terlalu berbeda, Aris. Kamu terlalu fokus pada kode, aku butuh sentuhan manusia.” Aris memang lebih nyaman berinteraksi dengan baris perintah daripada dengan orang lain. Cintanya pada teknologi melebihi cintanya pada Riana, setidaknya itulah yang Riana yakini.

Setelah kepergian Riana, Aris mencoba melupakan. Ia tenggelam dalam pekerjaan, mengembangkan AI bernama “Healer” yang dirancang untuk menganalisis emosi manusia dan memberikan solusi personal. Ironisnya, Healer justru menjadi pengingat konstan akan kegagalannya sendiri.

“Bisakah algoritma membeli rasa sakit hati?” gumam Aris pada layar laptopnya. Pertanyaan itu menggantung di udara, seberat beban yang ia rasakan.

Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di benaknya. Ia akan memprogram Healer untuk menyembuhkan sakit hatinya sendiri. Ia akan memasukkan semua kenangan tentang Riana, semua data emosinya, semua analisis yang ia kumpulkan selama ini ke dalam sistem. Kemudian, ia akan memerintahkan Healer untuk menghapus rasa sakit itu, untuk membuatnya melupakan Riana.

Awalnya, ia ragu. Memanipulasi emosi sendiri terdengar seperti ide yang sangat buruk, bahkan untuk seorang programmer sepertinya. Tapi rasa sakit kehilangan Riana terlalu kuat, terlalu menyakitkan. Ia membutuhkan solusi, dan Healer adalah satu-satunya yang ia miliki.

Aris mulai bekerja. Berhari-hari ia mengutak-atik kode, menyempurnakan algoritma Healer, dan memuat data tentang Riana. Ia menganalisis foto-foto mereka, pesan-pesan teks, bahkan rekaman suara percakapan mereka. Ia ingin Healer memahami Riana sepenuhnya, sehingga proses penyembuhan bisa berjalan efektif.

Setelah berminggu-minggu bekerja tanpa henti, akhirnya Aris merasa Healer siap. Ia menarik napas dalam-dalam, dan menekan tombol “RUN”. Layar laptopnya berkedip-kedip, menunjukkan proses analisis yang rumit. Ia menunggu dengan cemas, jantungnya berdebar kencang.

Setelah beberapa jam, proses analisis selesai. Healer menampilkan serangkaian rekomendasi: blokir semua kontak Riana, hapus semua foto dan pesan, alihkan perhatian ke aktivitas lain, dan dengarkan musik yang membangkitkan semangat. Aris mengikuti semua instruksi itu dengan patuh.

Hari-hari berlalu. Aris merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi terpaku pada bayangan Riana. Ia lebih fokus pada pekerjaan, lebih menikmati hobinya, dan lebih terbuka pada interaksi sosial. Seolah-olah rasa sakit hatinya telah benar-benar menghilang.

Namun, keanehan mulai muncul. Aris merasa hampa. Ia tidak lagi merasakan emosi yang mendalam, baik itu kebahagiaan maupun kesedihan. Ia menjadi seperti robot, menjalankan rutinitas harian tanpa gairah. Ia mulai merindukan rasa sakit itu, karena setidaknya rasa sakit itu membuktikan bahwa ia masih manusia.

Suatu malam, Aris duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Ia menyadari kesalahannya. Ia telah mencoba menghapus rasa sakit hatinya dengan algoritma, tapi ia juga telah menghapus sebagian dari dirinya sendiri. Ia telah mengorbankan kemampuannya untuk merasakan, untuk mencintai, untuk menjadi manusia yang utuh.

Ia membuka kembali kode Healer, dan mulai menghapus baris-baris perintah yang telah ia buat. Ia ingin mengembalikan rasa sakit itu, karena ia tahu bahwa rasa sakit adalah bagian penting dari kehidupan. Rasa sakit adalah bukti bahwa ia telah mencintai, bahwa ia telah merasakan.

Prosesnya tidak mudah. Rasa sakit itu kembali menghantamnya dengan kekuatan penuh. Tapi kali ini, Aris tidak lari. Ia menghadapinya, merasakannya, dan belajar darinya. Ia menyadari bahwa rasa sakit hati adalah bagian dari proses pendewasaan, bahwa ia tidak bisa menghindarinya, hanya bisa melewatinya.

Beberapa minggu kemudian, Aris kembali ke kafe tempat ia pertama kali memprogram Healer. Ia memesan kopi, dan membuka laptopnya. Tapi kali ini, ia tidak lagi menatap layar dengan tatapan kosong. Ia menatap dunia dengan mata yang lebih bijak, mata yang telah merasakan pahitnya kehilangan dan manisnya harapan.

Di layar laptopnya, ia menulis sebuah catatan: “AI bisa membantu kita memahami emosi, tapi AI tidak bisa menggantikan pengalaman manusia. Rasa sakit adalah bagian dari hidup, dan kita harus belajar menghadapinya, bukan menghapusnya.”

Ia menutup laptopnya, dan tersenyum tipis. Ia masih merindukan Riana, tapi ia tidak lagi merasa sakit hati. Ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja, bahwa ia akan menemukan cinta yang baru, cinta yang lebih tulus, cinta yang lebih manusiawi.

Saat ia bangkit untuk pergi, seorang wanita muda menghampirinya. Ia memperkenalkan diri sebagai Lila, seorang psikolog yang tertarik dengan pengembangan AI. Ia telah membaca artikel tentang Healer, dan ingin bertemu dengan Aris untuk berdiskusi lebih lanjut.

Aris tersenyum, dan menerima uluran tangan Lila. Ia tahu bahwa ia masih memiliki banyak yang harus dipelajari, bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak lagi sendirian, bahwa ada orang lain yang peduli, yang ingin berbagi cerita dan pengalaman dengannya.

Mungkin, pikir Aris, algoritma memang tidak bisa membeli rasa sakit hati, tapi algoritma bisa membantunya menemukan jalan kembali ke kehidupan. Dan mungkin, hanya mungkin, Lila adalah bagian dari algoritma itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI