Jemari Anya menari di atas layar tablet, memeriksa ulang profilnya. "Anya_SangPenyair," begitu ia menamakan diri. Foto profilnya adalah siluet dirinya di depan matahari terbenam, berlatar belakang hamparan sawah hijau. Tidak ada yang terlalu mencolok, tidak ada filter berlebihan. Ia ingin menampilkan dirinya yang apa adanya, seorang penulis lepas yang merindukan sentuhan jiwa lain.
"Algoritma Cinta," demikian aplikasi kencan yang baru seminggu ini ia unduh. Aplikasi itu menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan preferensi, minat, dan, yang paling menarik, analisis mendalam terhadap karya-karya kreatif yang pernah dipublikasikan. Anya memasukkan tautan ke blog puisinya dan, voila, Algoritma Cinta mengklaim telah menemukan jodoh potensial dengan tingkat kecocokan 92%.
Namanya, Raka_ArsitekturKota. Profilnya memancarkan aura maskulin yang terukur. Foto-foto bangunan futuristik yang ia rancang berpadu dengan potret dirinya yang tersenyum tipis, kacamata berbingkai metalik bertengger di hidungnya. Keterangan profilnya singkat: "Menciptakan ruang, mencari makna." Anya tertarik. Sangat tertarik.
Percakapan mereka dimulai dengan saling memuji karya masing-masing. Raka mengagumi diksi Anya yang puitis, metafora yang ia gunakan untuk menggambarkan kesepian dan harapan. Anya terkesan dengan visi Raka tentang kota masa depan, bangunan-bangunan ramah lingkungan yang memadukan teknologi dan keindahan alam.
"Kau melihat dunia dengan cara yang unik," tulis Raka suatu malam, setelah Anya mengirimkan puisi tentang hujan dan kenangan.
"Kau juga," balas Anya, jantungnya berdegup kencang. "Cara kau memadukan fungsi dan estetika dalam rancanganmu... itu sangat menginspirasi."
Seminggu berlalu dalam obrolan yang semakin intens. Mereka berbagi mimpi, ketakutan, bahkan trauma masa lalu. Anya merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Algoritma Cinta tidak salah. Mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Raka mengusulkan sebuah kafe kecil di tengah kota, tempat yang menurutnya memiliki "atmosfer yang tepat untuk percakapan mendalam." Anya setuju, jantungnya berdebar-debar membayangkan pertemuan pertama mereka.
Malam itu, Anya mengenakan gaun berwarna krem yang sederhana namun elegan. Ia merias wajahnya tipis-tipis, hanya untuk menutupi lingkaran hitam di bawah matanya karena kurang tidur akibat terlalu bersemangat. Ia tiba di kafe tepat waktu.
Raka sudah menunggu di meja dekat jendela. Dari kejauhan, ia tampak persis seperti di foto profilnya: tampan, cerdas, dan sedikit misterius. Anya menarik napas dalam-dalam dan menghampirinya.
"Raka?" sapanya.
Raka mendongak. Senyum tipis menghiasi bibirnya. "Anya? Akhirnya..."
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Awalnya, percakapan mengalir lancar, melanjutkan apa yang telah mereka mulai di dunia maya. Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Raka terlalu... sempurna. Ia selalu setuju dengan pendapat Anya, selalu memuji puisinya, selalu mengagumi visinya. Semua yang ia katakan terasa seperti skrip yang telah dipelajari.
Anya mencoba menggali lebih dalam, menanyakan hal-hal yang lebih personal, di luar topik yang biasa mereka bicarakan. Ia bertanya tentang keluarganya, tentang masa kecilnya, tentang kegagalan-kegagalan yang pernah ia alami. Raka selalu menjawab dengan hati-hati, menghindari detail-detail yang terlalu intim.
"Kau terdengar seperti robot," kata Anya tiba-tiba, tanpa sadar.
Raka terdiam. Senyumnya memudar. "Robot?" tanyanya.
"Ya. Kau tahu semua yang ingin aku dengar. Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan. Ini... ini terlalu sempurna."
Raka menghela napas. Ia meraih tabletnya yang tergeletak di atas meja dan menyerahkannya pada Anya. Di layar tablet, terbuka sebuah halaman yang berisi daftar pertanyaan dan jawaban yang telah diprogram sebelumnya. Di samping setiap jawaban, tertera persentase kecocokan dengan profil Anya.
Anya terpaku. Ia membaca setiap baris dengan perasaan ngeri. Raka telah menggunakan Algoritma Cinta secara harfiah. Ia tidak berusaha menjadi dirinya sendiri. Ia hanya mengikuti instruksi, meniru kepribadian yang menurut algoritma akan disukai Anya.
"Aku... aku hanya ingin membuatmu terkesan," kata Raka pelan. "Aku tahu kau mencari belahan jiwa. Aku hanya ingin menjadi orang itu."
"Tapi kau tidak jujur," balas Anya dengan suara bergetar. "Kau memalsukan dirimu sendiri. Kau pikir cinta bisa diprogram? Kau pikir algoritma bisa menciptakan koneksi yang sejati?"
Raka tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya, merasa malu dan menyesal.
Anya berdiri. Ia tidak sanggup lagi berada di sana. "Aku pergi," katanya. "Aku pikir aku menemukan cinta. Ternyata, aku hanya menemukan algoritma yang salah."
Anya keluar dari kafe, meninggalkan Raka sendirian dengan tabletnya. Hujan mulai turun, membasahi wajahnya yang berlinang air mata. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Raka, tetapi juga oleh Algoritma Cinta. Aplikasi itu telah menjanjikan kebahagiaan, namun yang ia dapatkan hanyalah kekecewaan yang pahit.
Di tengah hujan, Anya menyadari sesuatu yang penting. Cinta tidak bisa diprogram. Cinta tidak bisa diukur dengan persentase kecocokan. Cinta membutuhkan kejujuran, kerentanan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Dan terkadang, luka adalah satu-satunya cara untuk belajar tentang cinta yang sejati. Anya berhenti melangkah dan membiarkan air hujan membasahi dirinya. Ia tahu, proses penyembuhan akan panjang, tetapi ia bertekad untuk menemukan cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak diciptakan oleh algoritma, tetapi lahir dari hati yang tulus.