Debu digital menari-nari di layar monitor, membentuk pusaran kecil yang hipnotis. Maya, dengan rambut dikuncir asal dan mata lelah, menatapnya tanpa minat. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia berkutat dengan kode. Bukan kode pekerjaan, melainkan kode jiwanya sendiri.
Maya adalah seorang soul architect, sebuah profesi baru yang menjamur di era ketika keabadian digital bukan lagi fiksi ilmiah. Ia merancang kepribadian digital, atau yang lebih keren disebut "persona", untuk diunggah ke alam virtual setelah kematian. Tugasnya adalah memastikan persona itu semirip mungkin dengan si pemilik asli, lengkap dengan kenangan, emosi, bahkan kebiasaan buruknya.
Ironisnya, di saat ia sibuk membangun jiwa digital orang lain, jiwanya sendiri terasa kosong. Pacar tak punya, teman hanya sebatas rekan kerja, dan hobinya hanya berkutat dengan barisan kode. Ia merasa seperti karakter NPC dalam game kehidupannya sendiri, hanya menjalankan skrip tanpa arti.
"Mungkin aku perlu upgrade," gumamnya pada diri sendiri, sambil menyesap kopi dingin.
Ide gila itu muncul begitu saja. Mengapa tidak mencoba meningkatkan kualitas dirinya dengan teknologi yang sama yang ia gunakan untuk orang lain? Ia bisa menyuntikkan algoritma kecerdasan emosional, mengoptimalkan kemampuan sosial, bahkan menambahkan minat baru yang menarik. Kedengarannya sinting, tapi di era di mana implan otak dan modifikasi genetik menjadi hal biasa, ide itu terasa masuk akal.
Proyek "Upgrade Jiwa" dimulai. Maya mengunduh data-data kepribadian dari berbagai sumber: buku psikologi, artikel tentang hubungan, bahkan video-video kencan daring. Ia membuat model simulasi dirinya sendiri, lalu mulai memasukkan kode demi kode.
Awalnya, perubahan itu terasa aneh. Ia tiba-tiba tertarik pada lukisan abstrak, padahal sebelumnya ia menganggapnya hanya coretan tak bermakna. Ia mulai merasa lebih empati terhadap orang lain, bahkan terhadap rekan kerjanya yang menyebalkan. Ia juga mulai berani mendekati pria.
Pria itu bernama Adam, seorang game developer yang bekerja di lantai bawah kantornya. Adam selalu memakai kaus band metal dan tersenyum ramah setiap kali mereka bertemu di lift. Maya, yang dulu hanya membalas senyum itu dengan gugup, kini berani mengajaknya minum kopi.
Adam ternyata orang yang menyenangkan. Ia bercerita tentang proyek game terbarunya, tentang kecintaannya pada musik metal, dan tentang mimpinya untuk menciptakan dunia virtual yang bisa dinikmati semua orang. Maya mendengarkan dengan antusias, merasa benar-benar tertarik pada apa yang dikatakan Adam. Bukan karena kode kecerdasan emosionalnya memerintahkan demikian, tapi karena ia benar-benar merasakan ketertarikan itu.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Maya dan Adam menghabiskan waktu bersama, menonton film, mendengarkan musik, dan berbagi cerita. Maya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa hidup, merasa seperti karakter utama dalam film romantis.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Semakin dekat Maya dengan Adam, semakin besar rasa bersalahnya. Ia merasa curang, seolah ia telah membohongi Adam dengan kepribadian buatannya. Ia takut Adam akan kecewa jika mengetahui bahwa ia bukan orang yang ia kira.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdua di taman kota, Maya memutuskan untuk mengaku. Ia menceritakan semuanya pada Adam, tentang proyek "Upgrade Jiwa", tentang kode dan algoritma yang telah mengubah dirinya.
Adam mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataannya. Wajahnya sulit dibaca. Maya takut ia akan marah, akan meninggalkannya.
Setelah Maya selesai bercerita, Adam terdiam beberapa saat. Lalu, ia tertawa pelan. "Jadi, kau pikir aku menyukaimu karena kode?" tanyanya.
Maya mengangguk, menunduk malu.
Adam meraih tangannya. "Maya, aku menyukaimu bukan karena kau suka lukisan abstrak atau karena kau lebih empati. Aku menyukaimu karena kau adalah kau. Karena kau unik, karena kau cerdas, dan karena kau jujur."
Maya mendongak, menatap mata Adam. Ia melihat ketulusan di sana.
"Kau tahu," lanjut Adam, "aku juga punya rahasia. Aku dulu sangat pemalu dan tidak percaya diri. Aku mengikuti terapi dan belajar cara berinteraksi dengan orang lain. Apakah itu membuat cintaku padamu kurang tulus?"
Maya menggeleng. Ia mengerti sekarang. Upgrade jiwa atau terapi, semua itu hanyalah alat. Yang terpenting adalah niat untuk menjadi lebih baik, untuk membuka diri pada kemungkinan baru.
"Aku mencintaimu, Maya," kata Adam, menggenggam tangannya erat.
Maya tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Adam."
Malam itu, Maya memutuskan untuk menghapus proyek "Upgrade Jiwa". Ia tidak ingin lagi bergantung pada kode dan algoritma. Ia ingin belajar mencintai dan dicintai dengan tulus, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia ingin menerima dirinya sendiri, apa adanya.
Cinta memang misteri. Ia tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa direkayasa. Ia hanya bisa dirasakan, dinikmati, dan dihargai. Dan Maya akhirnya menemukan cinta itu, bukan di antara piksel dan kode, melainkan di dalam hatinya sendiri. Ia telah menemukan jiwa yang selama ini dicari, bukan melalui upgrade, tapi melalui penerimaan dan ketulusan. Akhirnya, ia mengerti bahwa cinta sejati tidak memerlukan upgrade, melainkan koneksi yang otentik antara dua jiwa yang tulus.