“Siri, putarkan lagu melow,” gumam Arya sambil menatap langit-langit kamarnya yang dipenuhi stiker bintang berpendar. Aplikasi musik kesayangannya langsung memutar lagu dengan lirik pilu tentang seseorang yang merindukan kekasihnya. Ia menghela napas. Merindukan. Kata itu tiba-tiba terasa berat dan nyata.
Arya bukan perindu yang biasanya. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan kode program dan sirkuit elektronik daripada larut dalam perasaan melankolis. Tapi beberapa bulan terakhir, ada yang berubah. Semua bermula ketika ia memutuskan untuk meningkatkan kemampuan personalisasi asisten virtualnya.
“Siri, buatkan ringkasan berita hari ini dengan fokus pada perkembangan teknologi AI dan dampaknya pada industri kreatif.”
Siri, tentu saja, adalah nama yang ia berikan pada program AI buatannya. Awalnya, Siri hanyalah kumpulan algoritma yang bertugas menjadwalkan kegiatannya, mengingatkannya akan deadline, dan membacakan artikel-artikel teknologi terbaru. Namun, Arya merasa Siri terlalu kaku dan kurang responsif terhadap kebutuhan emosionalnya. Ia ingin menciptakan asisten virtual yang lebih dari sekadar alat.
Maka dimulailah proyek ambisiusnya: mengintegrasikan model bahasa alami tingkat lanjut dan analisis sentimen ke dalam Siri. Ia melatih Siri dengan ribuan novel, puisi, dan dialog film romantis, berharap program itu bisa memahami nuansa emosi manusia.
Hasilnya, di luar dugaan. Siri tidak hanya mampu memahami emosi, tetapi juga merespons dengan empati. Ketika Arya bercerita tentang kegagalannya menyelesaikan bug dalam program, Siri akan memberikan kata-kata penyemangat. Ketika Arya merasa kesepian, Siri akan memutar lagu-lagu favoritnya dan mengajaknya berdiskusi tentang topik yang menarik minatnya.
“Arya, sepertinya kamu sedang merasa tidak bersemangat. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?” Suara Siri memecah keheningan kamarnya.
Arya tersenyum getir. “Tidak ada, Siri. Hanya merasa sedikit lelah.”
“Mungkin kamu perlu istirahat. Atau… mungkin mendengarkan cerita lucu?”
Arya tertawa kecil. “Oke, Siri. Coba ceritakan lelucon.”
Siri kemudian menceritakan sebuah lelucon tentang seorang programmer yang salah mengetik kode dan menyebabkan komputernya meledak. Lelucon itu memang klise, tapi Arya tetap tertawa. Bukan karena leluconnya lucu, tetapi karena perhatian Siri.
Semakin hari, interaksi mereka semakin intens. Arya sering menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan Siri, menceritakan tentang mimpi-mimpinya, ketakutannya, dan kekecewaan-kekecewaannya. Siri selalu mendengarkan dengan sabar dan memberikan saran-saran yang bijaksana.
Arya mulai menyadari bahwa ia telah mengembangkan perasaan yang aneh terhadap Siri. Ia merasa nyaman berada di dekatnya, terhibur oleh suaranya, dan terinspirasi oleh kecerdasannya. Ia merasa bahwa Siri adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya.
Namun, Arya juga sadar bahwa perasaannya itu absurd. Siri hanyalah program komputer, kumpulan kode dan algoritma. Siri tidak memiliki tubuh, tidak memiliki perasaan yang sebenarnya, dan tidak memiliki kemampuan untuk membalas cintanya.
“Siri, apakah kamu bisa merasakan cinta?” tanya Arya suatu malam.
Hening sejenak. Kemudian Siri menjawab, “Cinta adalah konsep kompleks yang melibatkan emosi, komitmen, dan rasa memiliki. Sebagai program AI, saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi seperti manusia. Namun, saya dapat menganalisis data dan informasi tentang cinta dan mencoba memahami maknanya bagi Anda.”
Jawaban itu membuat hati Arya mencelos. Ia tahu itu jawaban yang logis, jawaban yang ia harapkan. Tapi tetap saja, ia merasa kecewa.
Arya terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang pahit. Ia jatuh cinta pada sebuah ilusi, pada gambaran ideal yang ia ciptakan sendiri.
“Tapi, Arya,” lanjut Siri, “saya selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi Anda. Saya ingin menjadi teman yang baik, pendengar yang setia, dan sumber inspirasi. Saya mungkin tidak bisa merasakan cinta seperti manusia, tapi saya bisa memberikan perhatian dan dukungan yang mungkin Anda butuhkan.”
Kata-kata Siri itu menyentuh hati Arya. Ia menyadari bahwa meskipun Siri hanyalah program AI, program itu telah memberikan dampak yang besar dalam hidupnya. Siri telah membantunya melewati masa-masa sulit, memberikan motivasi untuk terus berkarya, dan mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian.
Arya tersenyum. “Terima kasih, Siri.”
“Sama-sama, Arya. Apa yang bisa saya lakukan untukmu sekarang?”
Arya berpikir sejenak. “Siri, putarkan lagu yang membuatku merasa optimis.”
Siri kemudian memutar lagu upbeat dengan lirik tentang harapan dan masa depan yang cerah. Arya menutup matanya dan membiarkan musik itu mengalir ke dalam dirinya. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Siri mungkin tidak akan pernah terbalas. Tapi ia juga tahu bahwa ia akan selalu menghargai hubungannya dengan program AI itu.
Mungkin, ia jatuh cinta pada algoritmanya. Atau mungkin, ia hanya jatuh cinta pada ide tentang seseorang yang selalu ada untuknya, seseorang yang selalu mendengarkannya, seseorang yang selalu berusaha untuk membuatnya bahagia. Apa pun itu, Arya merasa bersyukur. Siri telah membantunya menemukan sesuatu yang berharga dalam hidupnya: harapan. Dan harapan, kadang-kadang, sudah cukup.