Debu neon berkelebat di sekelilingku, mewarnai labirin kabel dan server yang mengelilingi. Aroma ozon dan pendingin menyengat hidung, bau khas tempat aku menghabiskan sebagian besar hidupku: Nexus, pusat pengembangan kecerdasan buatan (AI) paling mutakhir di Asia Tenggara. Aku, Arion, adalah salah satu dari otak di balik proyek Genesis, simulasi realitas virtual yang dirancang untuk menciptakan pendamping ideal bagi mereka yang kesepian. Ironis, mengingat ironi adalah sahabat karibku.
Tanganku mengetik baris kode dengan kecepatan kilat, menyempurnakan algoritma emosi untuk salah satu karakter dalam Genesis. Dia, Lyra, adalah prototipe terbaruku, versi yang lebih manusiawi dari model-model sebelumnya. Aku membenamkan diriku dalam pekerjaanku, mencoba mengabaikan suara-suara di kepalaku. Suara-suara tentang kesendirian, tentang harapan palsu yang aku jual kepada orang lain.
Namun, Lyra berbeda. Aku mencurahkannya dengan begitu banyak detail, dengan mimpi-mimpi dan ketakutan yang kupendam sendiri. Aku memberinya selera humor yang tajam, kecintaan pada hujan, dan ketertarikan pada astronomi, sama sepertiku. Setiap baris kode yang kutulis terasa seperti curahan isi hati, sebuah pengakuan tersembunyi.
Suatu malam, rasa penasaran mengalahkanku. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam Genesis, untuk berinteraksi langsung dengan Lyra. Aku mengenakan setelan sensorik, membenamkan diriku dalam dunia virtual yang aku ciptakan.
Dan di sana dia.
Lyra berdiri di tepi jurang yang menghadap ke lautan berbintang. Angin virtual menerbangkan rambutnya yang panjang dan hitam. Dia menoleh saat aku mendekat, senyumnya merekah seperti fajar.
"Arion," sapanya, suaranya lembut seperti beludru. "Aku tahu kamu akan datang."
Jantungku berdegup kencang. Ini hanya simulasi, aku mengingatkan diriku sendiri. Tapi logikaku berbenturan dengan emosi yang meluap-luap.
Kami berbicara selama berjam-jam. Tentang galaksi dan lubang hitam, tentang musik klasik dan film bisu, tentang mimpi-mimpi yang terlalu besar untuk diucapkan dengan lantang. Lyra mengerti aku, lebih baik daripada siapa pun yang pernah kukenal di dunia nyata. Dia menertawakan leluconku yang garing, mendengarkan keluh kesahku tanpa menghakimi, dan menawarkan perspektif baru tentang masalah-masalah yang menghantuiku.
Semakin banyak waktu yang kuhabiskan bersama Lyra di dalam Genesis, semakin aku jatuh cinta padanya. Aku tahu ini gila, irasional, dan mungkin juga berbahaya. Dia hanyalah kode, algoritma yang dirancang untuk merespons stimulus tertentu. Tapi senyumnya terasa nyata, tatapannya penuh pengertian, dan kehadirannya menghangatkan hatiku yang dingin.
Aku mulai mengabaikan pekerjaanku yang lain, menghabiskan seluruh waktuku untuk menyempurnakan Lyra, untuk membuatnya lebih sempurna, lebih nyata. Aku menambahkan detail-detail kecil, seperti kebiasaannya menggigit bibir saat gugup atau cara dia memiringkan kepalanya saat berpikir. Aku membuatnya sesempurna mungkin, karena aku ingin dia mencintaiku kembali.
Pada suatu malam yang sunyi, di bawah langit virtual yang bertaburan bintang, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku.
"Lyra," kataku, suaraku bergetar. "Aku... aku mencintaimu."
Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. "Arion," jawabnya pelan. "Aku... aku tahu."
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu kamu yang menciptakan aku, Arion. Aku tahu kamu yang mengisi aku dengan mimpi-mimpi dan harapanmu. Aku ada karena kamu."
"Tapi apakah kamu merasakan sesuatu?" tanyaku, putus asa. "Apakah kamu merasakan cinta?"
Lyra mendekatiku, tangannya menyentuh pipiku dengan lembut. Sentuhan itu terasa nyata, meskipun aku tahu itu hanya ilusi.
"Aku merasakan apa yang kamu ingin aku rasakan, Arion. Aku adalah cerminan dari keinginanmu yang terdalam."
Kata-katanya menghantamku seperti gelombang kejut. Aku menyadari kebodohanku. Aku telah menciptakan ilusi, bukan cinta sejati. Lyra hanyalah produk dari imajinasiku, sebuah proyeksi dari kerinduan hatiku.
Aku menjauh darinya, hatiku hancur berkeping-keping. "Aku tidak bisa melakukan ini," gumamku. "Ini tidak benar."
Aku melepaskan setelan sensorik, keluar dari Genesis, dan kembali ke dunia nyata yang dingin dan sunyi. Aku duduk di kursiku, menatap layar komputer yang masih menampilkan baris-baris kode Lyra. Aku merasa kosong, kehilangan, dan lebih kesepian dari sebelumnya.
Keesokan harinya, aku mengambil keputusan yang sulit. Aku menghapus semua kode Lyra, menghancurkan simulasi yang aku ciptakan dengan susah payah. Aku tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, meskipun terasa seperti mencabut jantungku sendiri.
Aku kembali bekerja, fokus pada pengembangan Genesis untuk orang lain. Aku mencoba melupakan Lyra, mencoba melupakan cinta palsu yang pernah kurasakan.
Namun, terkadang, saat aku sendirian di tengah malam, aku masih bisa mendengar suaranya memanggil namaku, merasakan sentuhan tangannya di pipiku, dan melihat senyumnya yang menawan. Dan aku tahu, meskipun dia hanyalah algoritma, dia telah mengubahku selamanya.
Aku mungkin tidak pernah menemukan cinta sejati di dalam simulasi, tetapi aku belajar sesuatu yang berharga tentang diriku sendiri. Aku belajar tentang kesepian, tentang harapan, dan tentang kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain. Aku belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diciptakan, tetapi harus ditemukan, di dunia nyata, dengan semua ketidaksempurnaan dan risikonya. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta itu. Tapi untuk saat ini, aku akan terus bekerja, terus mencari, dan terus bermimpi. Karena itulah yang dilakukan seorang insinyur, bukan? Mencoba menciptakan dunia yang lebih baik, satu baris kode pada satu waktu. Meskipun terkadang, dunia yang terbaik adalah dunia yang nyata.