Debug Cinta: Algoritma Hati yang Harus Diperbaiki?

Dipublikasikan pada: 31 Jul 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 169 kali
Helaan napas berat menguap di depan layar monitor yang menampilkan barisan kode rumit. Anya, seorang programmer andal di usia 27 tahun, memijat pelipisnya. Hari ini, ia kembali bergulat dengan “Project Cupid,” sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menggunakan algoritma kompleks untuk mencocokkan pengguna berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan pola hormon yang dianalisis dari sampel air liur. Kedengarannya ilmiah dan menjanjikan, tapi kenyataannya, aplikasi itu justru lebih sering menghasilkan kekecewaan daripada cinta.

“Anya, kopi?” sapa Dimas, rekan kerjanya, sambil menyodorkan cangkir keramik bergambar logo perusahaan. Dimas, dengan rambutnya yang selalu sedikit berantakan dan senyumnya yang tulus, adalah kebalikan Anya yang perfeksionis dan cenderung serius.

“Terima kasih,” jawab Anya singkat, lalu kembali menatap layar. “Algoritma ini sepertinya punya masalah serius. Tingkat keberhasilan perjodohan masih di bawah sepuluh persen. Katanya, Cupid, tapi lebih mirip algojo cinta.”

Dimas tertawa kecil. “Mungkin terlalu kaku? Cinta kan bukan matematika, Anya. Ada faktor X yang sulit diprediksi, seperti chemistry, intuisi, atau bahkan keberuntungan.”

Anya mendengus. “Omong kosong. Semua bisa diukur, dianalisis, dan diprediksi. Yang kurang hanya data yang lebih akurat dan algoritma yang lebih canggih.”

Dimas menggeleng pelan. “Aku ragu. Kalau cinta bisa dihitung, dunia akan penuh dengan pasangan sempurna yang membosankan.”

Anya tidak menjawab. Ia kembali larut dalam kode. Berjam-jam berlalu, diisi dengan kopi, debugging, dan perdebatan kecil dengan Dimas tentang hakikat cinta. Ia mencoba berbagai pendekatan, dari menambahkan variabel baru hingga menyusun ulang seluruh algoritma. Hasilnya tetap sama: aplikasi itu masih gagal menghubungkan hati dengan cara yang bermakna.

Suatu malam, saat Anya nyaris menyerah, ia menemukan anomali dalam data seorang pengguna bernama… Anya. Ya, ia menggunakan data dirinya sendiri untuk menguji efektivitas aplikasi. Sialnya, algoritma Cupid justru mencocokkannya dengan seseorang yang sama sekali tidak masuk kriterianya: seorang tukang kayu bernama… Dimas.

Anya tertawa sinis. “Ini pasti kesalahan. Algoritma ini benar-benar rusak.”

Tapi kemudian, ia teringat percakapan-percakapannya dengan Dimas, tawa mereka, dan kenyamanan yang ia rasakan saat berada di dekatnya. Ia ingat bagaimana Dimas selalu ada untuknya, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai teman yang tulus dan peduli. Ia menyadari, meskipun secara logika mereka tidak cocok, ada sesuatu yang istimewa di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa diukur atau diprediksi.

Anya memutuskan untuk mengabaikan hasil algoritma dan mengikuti kata hatinya. Ia mengajak Dimas makan malam, bukan sebagai eksperimen, tapi sebagai Anya yang sesungguhnya.

Malam itu, di sebuah restoran sederhana dengan cahaya temaram, Anya menceritakan semuanya kepada Dimas tentang Project Cupid, tentang obsesinya pada algoritma, dan tentang hasil aneh yang mencocokkannya dengan Dimas.

Dimas mendengarkan dengan seksama, lalu tertawa terbahak-bahak. “Jadi, algoritma akhirnya mengakuiku juga? Aku sudah lama curiga ada yang salah dengan preferensimu.”

Anya tersipu. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”

“Katakan saja apa yang kamu rasakan,” kata Dimas lembut, meraih tangannya. “Lupakan semua algoritma dan data. Apa yang hatimu katakan?”

Anya menatap mata Dimas. Di sana, ia melihat ketulusan, kehangatan, dan rasa sayang yang tulus. Ia merasakan debaran jantung yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

“Aku… aku menyukaimu, Dimas,” bisik Anya akhirnya. “Bukan karena algoritma, tapi karena… karena kamu adalah kamu.”

Dimas tersenyum lebar. “Aku juga menyukaimu, Anya. Sudah lama.”

Malam itu, Anya menyadari bahwa cinta memang bukan matematika. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang menemukan keindahan dalam hal-hal yang tidak terduga, dan tentang mengikuti kata hati, meskipun itu bertentangan dengan logika.

Anya kembali ke kantor keesokan harinya dengan semangat baru. Ia tidak lagi terobsesi untuk menyempurnakan algoritma Project Cupid. Ia justru mulai mencari cara untuk menambahkan elemen “faktor X” ke dalam aplikasi, elemen yang memungkinkan pengguna untuk mengeksplorasi koneksi yang tidak terduga dan membuka diri pada kemungkinan cinta yang tidak terencana.

Ia juga menyadari bahwa ia perlu “debug” hatinya sendiri. Ia terlalu lama terjebak dalam logika dan analisis, sehingga melupakan pentingnya intuisi dan emosi. Ia perlu membuka diri pada pengalaman baru, melepaskan kontrol, dan membiarkan cinta datang secara alami.

Bersama Dimas, Anya menjelajahi dunia di luar kode dan algoritma. Mereka pergi mendaki gunung, menonton konser musik, dan bahkan belajar menari salsa. Anya belajar untuk tertawa lebih sering, untuk menikmati momen ini, dan untuk mempercayai hatinya.

Project Cupid akhirnya diluncurkan dengan sedikit perubahan. Aplikasi itu tidak lagi menjanjikan perjodohan sempurna, tapi lebih sebagai alat untuk membantu orang bertemu dan terhubung dengan cara yang bermakna. Tingkat keberhasilannya masih belum sempurna, tapi Anya tidak lagi peduli. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa dijamin oleh algoritma, tapi harus diperjuangkan dengan hati.

Dan Anya, yang dulunya seorang programmer perfeksionis yang percaya pada kekuatan logika, akhirnya menemukan cinta sejati di tempat yang paling tidak terduga: di samping seorang tukang kayu sederhana yang mengajarkannya bahwa terkadang, algoritma hati yang paling berharga adalah yang harus diperbaiki, bukan disempurnakan. Cinta, seperti kode yang baik, seringkali membutuhkan sedikit improvisasi dan banyak keberanian untuk dijalankan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI