Jemari Lintang menari lincah di atas keyboard. Di layar monitornya, barisan kode program berhamburan, membentuk labirin rumit yang hanya bisa dipahami oleh otaknya yang brilian. Sebagai seorang lead programmer di sebuah startup teknologi yang berfokus pada pengembangan aplikasi kencan virtual, Lintang hidup dalam dunia algoritma dan logika. Cinta, baginya, adalah variabel yang sulit didefinisikan, error yang belum bisa di-debug.
Namun, semua itu berubah ketika dia bertemu dengan Arya.
Arya adalah seorang desainer UI/UX yang baru bergabung dengan perusahaan. Senyumnya yang hangat, mata coklatnya yang teduh, dan caranya mendengarkan dengan penuh perhatian membuat Lintang merasa...aneh. Jantungnya berdebar lebih cepat, pipinya merona tanpa alasan, dan pikirannya mendadak buntu setiap kali Arya berada di dekatnya.
"Error sistem, ini pasti error sistem," gumam Lintang pada dirinya sendiri, berusaha merasionalkan perasaannya. Dia mencoba mengabaikan Arya, memfokuskan diri pada pekerjaannya, tapi percuma. Bayangan Arya terus menghantuinya, seperti bug yang terus muncul meski sudah diperbaiki berulang kali.
Lintang tahu, dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Mencoba mendekati Arya secara langsung? Itu bukan gayanya. Dia lebih nyaman bersembunyi di balik barisan kode, bukan mengungkapkan perasaan yang membuatnya rentan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menggunakan senjatanya: teknologi.
Dia mulai menganalisis data pengguna aplikasi kencan virtual perusahaannya. Mencari pola, algoritma yang bisa menjelaskan ketertarikan manusia, terutama dirinya terhadap Arya. Dia membuat program sederhana yang ia sebut "Kode Hati," sebuah sistem yang ia harap bisa membantu memahami perasaannya dan memberikan solusi.
“Jika aku bisa memecahkan kode ini, mungkin aku bisa memahami apa yang sebenarnya aku rasakan,” pikirnya.
Hari-hari berlalu, Lintang larut dalam pekerjaannya. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, mengutak-atik data, menulis kode, dan melakukan simulasi. Dia bahkan mulai menambahkan parameter baru ke dalam "Kode Hati," seperti preferensi musik, buku favorit, dan bahkan jenis kopi yang disukai.
Suatu sore, saat Lintang sedang fokus menatap layar, Arya menghampirinya. "Lintang, kamu lembur lagi? Istirahat dulu, yuk. Aku bawain kopi."
Lintang terkejut. Dia gugup menerima kopi yang disodorkan Arya. "Emm...terima kasih, Arya."
Arya tersenyum. "Aku perhatikan kamu akhir-akhir ini sering banget lembur. Ada masalah?"
Lintang terdiam sejenak. Dia ragu apakah harus menceritakan tentang "Kode Hati" kepada Arya. Tapi kemudian, dia merasa bahwa dia tidak punya pilihan lain.
"Sebenarnya...aku sedang mengerjakan sebuah proyek pribadi," jawab Lintang, dengan nada ragu. "Aku mencoba membuat program yang bisa menganalisis perasaan."
Arya mengangkat alisnya, tertarik. "Menganalisis perasaan? Kedengarannya menarik. Untuk apa?"
Lintang menarik napas dalam-dalam. "Aku...aku ingin memahami apa yang aku rasakan terhadap seseorang."
Arya terdiam sejenak, menatap Lintang dengan tatapan yang sulit diartikan. "Seseorang?"
Lintang mengangguk pelan. "Ya."
"Boleh aku lihat?" tanya Arya, dengan nada lembut.
Lintang ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk. Dia mempersilakan Arya duduk di sebelahnya dan menunjukkan layar monitornya. Arya memperhatikan barisan kode dengan seksama, sesekali mengajukan pertanyaan yang membuat Lintang terkejut dengan pemahaman Arya tentang teknologi.
"Kamu menggunakan algoritma yang cukup kompleks," komentar Arya. "Tapi menurutku, ada satu hal yang kurang."
"Apa itu?" tanya Lintang, penasaran.
"Intuisi," jawab Arya. "Algoritma hanya bisa menganalisis data, tapi tidak bisa merasakan apa yang sebenarnya kamu rasakan. Perasaan itu lebih dari sekadar angka dan logika."
Lintang terdiam. Dia tahu Arya benar. "Kode Hati" memang hanya berdasarkan data dan logika, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor subjektif yang sulit diukur.
"Mungkin...mungkin aku terlalu fokus pada teknologi," gumam Lintang, kecewa.
Arya tersenyum. "Teknologi memang bisa membantu, tapi jangan lupakan kekuatan hati. Kadang-kadang, jawaban yang kamu cari sudah ada di dalam dirimu sendiri."
Kata-kata Arya membuat Lintang berpikir. Dia menatap Arya, dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar melihatnya. Dia melihat kebaikan di matanya, ketulusan dalam senyumnya, dan kehangatan dalam kehadirannya. Tiba-tiba, dia menyadari sesuatu.
Dia tidak perlu "Kode Hati" untuk memahami perasaannya terhadap Arya. Perasaannya sudah jelas, nyata, dan begitu kuat sehingga tidak mungkin diabaikan.
"Arya," kata Lintang, dengan suara pelan. "Aku...aku menyukaimu."
Arya tersenyum, kali ini lebih lebar dari sebelumnya. "Aku juga, Lintang."
Lintang terkejut. "Benarkah?"
Arya mengangguk. "Sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah merasakan sesuatu yang istimewa. Aku tahu kamu orang yang cerdas dan unik, dan aku suka dengan caramu berpikir."
Lintang tersenyum lega. Dia merasa seperti beban berat telah diangkat dari pundaknya.
"Jadi...apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Lintang, dengan nada gugup.
Arya tertawa kecil. "Bagaimana kalau kita mulai dengan makan malam bersama?"
Lintang mengangguk setuju. "Kedengarannya bagus."
Malam itu, Lintang dan Arya pergi makan malam bersama. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan mereka, hobi mereka, hingga mimpi-mimpi mereka. Lintang merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Arya. Dia tahu, dia telah menemukan seseorang yang benar-benar memahami dan menerima dirinya apa adanya.
Sejak saat itu, Lintang dan Arya mulai menjalin hubungan. Mereka saling mendukung, saling menginspirasi, dan saling mencintai. Lintang belajar untuk lebih terbuka dan jujur tentang perasaannya, sementara Arya belajar untuk lebih menghargai logika dan pemikiran analitis Lintang.
Lintang tidak pernah benar-benar menyelesaikan "Kode Hati." Dia menyadari bahwa cinta tidak bisa di-debug, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, dinikmati, dan dihargai. Dan dia, Lintang, akhirnya menemukan kebahagiaan dalam cinta bersama Arya. Dia menemukan bahwa terkadang, solusi terbaik untuk masalah cinta bukanlah kode program, melainkan keberanian untuk membuka hati dan menerima cinta apa adanya.