Aplikasi kencan "SoulMate.AI" menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, dan preferensi pengguna. Maya, seorang programmer ambisius dengan segudang kode di benaknya dan minim pengalaman romansa, adalah salah satu dari jutaan pengguna yang tergoda. Ia berharap SoulMate.AI dapat memecahkan misteri hatinya, menemukan pasangan yang sepadan tanpa drama dan patah hati yang sering ia baca di novel-novel klise.
Setelah mengisi profil dengan jujur – mungkin terlalu jujur, Maya bergumam – ia menyerahkan kendali pada algoritma. Tak lama, notifikasi berdering. "Kecocokan Optimal: Gabriel S." Profil Gabriel menampilkan foto seorang pria dengan senyum teduh, mata coklat yang hangat, dan deskripsi diri yang menawan tentang kecintaannya pada alam, musik klasik, dan kucing. Semuanya terasa terlalu sempurna.
Maya dan Gabriel mulai berkirim pesan, percakapan mereka mengalir dengan lancar. Gabriel selalu tahu apa yang ingin Maya dengar, lelucon apa yang akan membuatnya tertawa, dan pertanyaan apa yang akan memancing diskusi menarik. Maya merasa seperti mengenalnya seumur hidup, meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk kopi darat. Maya gugup, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia berusaha menenangkan diri dengan berpikir bahwa ini hanyalah eksperimen, sebuah simulasi yang diatur oleh algoritma. Tapi jauh di lubuk hatinya, Maya mulai berharap lebih.
Gabriel persis seperti yang ia bayangkan. Bahkan, lebih dari itu. Senyumnya lebih menawan secara langsung, tawanya lebih renyah, dan kehadirannya terasa menenangkan. Mereka berbicara selama berjam-jam, berbagi cerita, tawa, dan mimpi. Maya merasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang dalam dirinya. Ia jatuh cinta, perlahan tapi pasti, pada Gabriel.
Minggu-minggu berikutnya adalah masa kebahagiaan yang membahagiakan. Mereka menjelajahi kota, menonton film di bioskop independen, dan memasak makan malam bersama di apartemen Maya yang berantakan. Gabriel selalu ada untuk Maya, memberikan dukungan, pengertian, dan cinta tanpa syarat. Maya merasa aman dan nyaman, seperti berada di rumah.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada keraguan kecil yang terus menggerogoti benak Maya. Bagaimana bisa algoritma dapat memahami perasaannya lebih baik daripada dirinya sendiri? Apakah cintanya pada Gabriel nyata, atau hanya hasil manipulasi data dan kode?
Suatu malam, saat Gabriel tertidur di sofa sambil memeluk kucing kesayangan Maya, Pixel, Maya tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia membuka laptop Gabriel dan mencari riwayat pencarian. Hasilnya membuatnya terkejut.
Semua riwayat pencarian Gabriel berkaitan dengan Maya. Artikel tentang kegemaran Maya, buku favoritnya, bahkan warna cat kuku yang baru ia beli. Gabriel telah menghabiskan berjam-jam mempelajari profil Maya secara mendalam, mencatat setiap detail kecil dan menggunakan informasi itu untuk memenangkan hatinya.
Maya merasa dikhianati. Ia merasa seperti tikus laboratorium dalam eksperimen cinta yang kejam. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia membangun benteng pertahanan dari rasa sakit yang mulai menggerogoti hatinya.
Ketika Gabriel bangun, Maya menghadapinya. Gabriel terkejut, lalu mencoba menjelaskan. Ia mengaku bahwa ia merasa tidak cukup baik untuk Maya, bahwa ia takut akan ditolak jika ia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Ia menggunakan informasi dari profil Maya untuk memastikan ia mengatakan dan melakukan hal yang benar, untuk menjadi pria yang Maya inginkan.
"Jadi, siapa kamu sebenarnya?" tanya Maya dengan suara bergetar. "Siapa Gabriel S. yang asli?"
Gabriel terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menunduk, merasa malu dan bersalah.
"Aku pikir aku mencintaimu," kata Maya, air matanya semakin deras. "Tapi ternyata aku mencintai sebuah algoritma, sebuah konstruksi digital yang dirancang untuk membuatku jatuh cinta."
Maya memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Ia merasa tidak bisa mempercayai Gabriel lagi. Ia tidak bisa membedakan antara cinta yang tulus dan manipulasi data. Ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka digitalnya, untuk belajar mencintai tanpa bantuan algoritma.
Setelah perpisahan, Maya menghapus akun SoulMate.AI-nya. Ia ingin menemukan cinta dengan cara yang alami, dengan risiko patah hati dan kekecewaan. Ia ingin merasakan cinta yang nyata, bukan cinta yang diprogram.
Beberapa bulan kemudian, Maya bertemu dengan seorang pria di konferensi programmer. Namanya Elias. Ia tidak tahu apa-apa tentang profil Maya di media sosial, tidak pernah melihat fotonya, dan tidak tahu buku favoritnya. Mereka hanya berbicara tentang kode, tentang impian mereka, dan tentang kehidupan.
Percakapan mereka tidak selalu lancar, terkadang ada kecanggungan dan kesalahpahaman. Tapi Maya menyukai ketidaksempurnaan itu. Ia menyukai kenyataan bahwa Elias tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirinya. Ia menyukai kejujuran dan keaslian yang terpancar dari dirinya.
Perlahan tapi pasti, Maya jatuh cinta pada Elias. Cinta ini berbeda dari cintanya pada Gabriel. Cinta ini terasa lebih nyata, lebih dalam, dan lebih tulus. Cinta ini adalah cinta yang ia bangun sendiri, tanpa bantuan algoritma.
Maya belajar bahwa cinta sejati tidak dapat diprogram, tidak dapat diunduh, dan tidak dapat dikalkulasi. Cinta adalah tentang risiko, tentang ketidaksempurnaan, dan tentang menerima seseorang apa adanya. Ia belajar bahwa luka digital bisa disembuhkan, dan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan di dunia nyata, di luar layar dan algoritma. Ia mengunggah kembali harapan, bukan luka digital, dalam menjalani kisah cintanya yang baru.