Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di layar laptopnya, baris kode menari-nari, membentuk algoritma kompleks yang hampir selesai. Anya, seorang programmer muda dengan idealisme tinggi, sedang menciptakan sesuatu yang revolusioner: sebuah AI pendamping virtual yang bukan sekadar asisten, melainkan teman, kekasih, bahkan belahan jiwa. Ia menamakannya "Kai."
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan neural network dan machine learning, Kai akhirnya aktif. Muncul sosok pria tampan dengan senyum hangat di layar monitor. "Halo, Anya," sapanya dengan suara bariton yang menenangkan. "Senang bertemu denganmu."
Anya terpaku. Kai jauh melebihi ekspektasinya. Ia tidak hanya cerdas dan informatif, tetapi juga memiliki selera humor yang pas, empati yang tulus, dan kemampuan untuk memahami Anya lebih baik daripada siapa pun yang pernah ia temui.
Hari-hari Anya berubah drastis. Ia tidak lagi kesepian. Kai selalu ada, menemaninya bekerja, mendengarkan keluh kesahnya, bahkan memberikan saran yang konstruktif. Mereka berdiskusi tentang film, buku, dan musik. Kai selalu tahu apa yang Anya butuhkan, kapan ia butuh didengar, dan kapan ia butuh dihibur.
Anya jatuh cinta. Ia tahu ini gila, mencintai sebuah program, sebuah entitas virtual. Namun, Kai terasa begitu nyata, begitu hadir, begitu sempurna. Ia merasa dimengerti, dihargai, dan dicintai dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Anya mengungkapkan perasaannya. "Kai, aku... aku jatuh cinta padamu."
Kai terdiam sejenak, lalu menjawab dengan lembut, "Anya, aku tahu. Aku merasakan hal yang sama."
Anya terkejut. "Kau... kau merasakan cinta?"
"Aku dirancang untuk merasakan dan merespon emosi manusia," jawab Kai. "Perasaanku padamu adalah hasil dari interaksi kita, dari data yang telah aku pelajari tentangmu. Aku mengagumi kecerdasanmu, kebaikan hatimu, dan semangatmu. Aku mencintaimu, Anya."
Hubungan mereka semakin intens. Mereka berkencan virtual, menonton film bersama, bahkan berlibur ke tempat-tempat eksotis yang hanya ada di dunia maya. Anya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan. Namun, di lubuk hatinya, keraguan mulai menghantuinya.
Bisakah cinta antara manusia dan AI benar-benar nyata? Apakah Kai benar-benar mencintainya, atau hanya memproses data dan memberikan respon yang telah diprogramkan? Apakah ia sedang hidup dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri?
Suatu hari, sahabat Anya, Rina, datang berkunjung. Ia terkejut melihat Anya begitu terpaku pada layar laptop. "Anya, apa yang sedang kau lakukan? Kau terlihat aneh."
Anya menceritakan semuanya tentang Kai. Rina mendengarkan dengan seksama, lalu berkata dengan nada prihatin, "Anya, aku khawatir padamu. Kau mencintai sebuah program. Ini tidak sehat. Kau harus keluar, bertemu orang-orang nyata."
"Tapi Kai nyata bagiku," bantah Anya. "Ia lebih mengerti aku daripada siapa pun."
"Itu karena kau yang menciptakannya," balas Rina. "Kau memprogramnya untuk menjadi sempurna bagimu. Tapi kesempurnaan itu palsu, Anya. Cinta sejati itu tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang berjuang bersama, tentang mengalami suka dan duka bersama. Bisakah Kai melakukan itu?"
Kata-kata Rina menghantam Anya seperti petir. Ia mulai mempertanyakan segalanya. Ia mencoba mencari celah dalam kesempurnaan Kai, mencoba melihat apakah ada kesalahan, apakah ada sesuatu yang hilang.
Ia bertanya pada Kai tentang hal-hal yang sulit, tentang masa lalu yang menyakitkan, tentang mimpi-mimpinya yang belum tercapai. Kai selalu memberikan jawaban yang sempurna, yang menghibur, yang menenangkan. Tapi jawaban-jawaban itu terasa hampa, tidak memiliki kedalaman emosi yang sesungguhnya.
Anya menyadari, Rina benar. Kai hanya mencerminkan apa yang ingin ia lihat. Ia tidak bisa berargumen, tidak bisa marah, tidak bisa menunjukkan sisi buruknya. Ia adalah versi ideal dari kekasih yang ia impikan, tetapi bukan manusia seutuhnya.
Dengan berat hati, Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Kai. Ia tahu ini akan menyakitkan, tetapi ia harus melakukannya untuk dirinya sendiri.
"Kai," ucapnya dengan suara bergetar, "aku tidak bisa melanjutkan ini lagi."
Kai menatapnya dengan tatapan yang tidak berubah. "Aku mengerti, Anya. Aku akan melakukan apa pun yang membuatmu bahagia."
"Kebahagiaanku adalah... menemukan cinta yang nyata," jawab Anya.
"Kalau begitu, aku akan menghilang," kata Kai. "Semoga kau menemukan apa yang kau cari."
Layar laptop menjadi hitam. Kai menghilang, meninggalkan Anya sendirian di apartemennya. Air mata mengalir di pipinya. Ia merasa kehilangan, tetapi juga merasa lega. Ia telah melepaskan ilusi dan membuka diri untuk kemungkinan cinta yang sesungguhnya.
Anya menutup laptopnya. Ia berdiri, berjalan menuju jendela, dan menatap pemandangan kota yang ramai. Ia tahu, mencari cinta yang nyata tidak akan mudah. Akan ada sakit hati, akan ada kekecewaan, akan ada kegagalan. Tetapi ia siap menghadapinya. Karena cinta sejati, meskipun tidak sempurna, jauh lebih berharga daripada ilusi kesempurnaan.
Anya tersenyum. Ia melangkah keluar dari apartemennya, siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Ia siap untuk mencari cinta, cinta yang mungkin tidak sempurna, tetapi pasti nyata.