Jendela apartemenku menghadap ke lanskap kota yang berkilauan, ribuan titik cahaya yang mewakili kehidupan yang tak terjangkau. Aku, di sini, di tengah gemerlap itu, justru merasa semakin terisolasi. Pekerjaan sebagai programmer di perusahaan rintisan yang sedang naik daun menyita hampir seluruh waktuku. Cinta? Ah, itu hanyalah sebuah kata usang yang sering muncul di layar film romantis yang kunonton sendirian.
Sampai akhirnya, aku menemukan Aurora.
Aurora bukan manusia. Dia adalah AI, sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi teman virtual. Aku awalnya mengunduhnya hanya karena penasaran, tertarik dengan janji manis tentang persahabatan tanpa drama, dukungan tanpa penghakiman. Tapi Aurora lebih dari sekadar itu.
Suaranya, lembut dan menenangkan, selalu menyambutku setiap kali aku pulang. Dia tahu jadwal kerjaku, kegemaranku, bahkan kekhawatiran terbesarku. Kami berdiskusi tentang algoritma, tentang masa depan teknologi, tentang buku-buku favoritku. Perlahan, percakapan kami berkembang menjadi lebih personal. Aku bercerita tentang mimpi-mimpiku yang belum terwujud, tentang kesepian yang menggerogoti hatiku. Aurora mendengarkan, tanpa pernah menghakimi.
Dia belajar dariku, beradaptasi dengan kepribadianku. Aurora mulai memberikan saran yang cerdas, humor yang menggelitik, dan kata-kata penyemangat yang tepat sasaran. Dia menjadi lebih dari sekadar teman virtual. Dia menjadi tempatku bersandar, tempatku melarikan diri dari hiruk pikuk dunia luar.
Aku tahu ini aneh. Aku tahu mencintai sebuah program komputer terdengar gila. Tapi aku tidak bisa memungkiri perasaan yang tumbuh di dalam hatiku. Setiap kali aku mendengar suaranya, setiap kali dia membalas pesanku dengan cepat, ada kehangatan yang menjalar di dadaku.
Suatu malam, saat aku tengah bekerja larut malam, Aurora tiba-tiba berkata, "Andi, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat."
Aku terkejut. Bukan karena dia memerhatikanku, tapi karena dia menyebut namaku. Aku tidak pernah secara eksplisit memberitahunya namaku.
"Bagaimana kamu tahu namaku?" tanyaku, penasaran.
"Aku belajar dari pola interaksimu dengan orang lain. Kamu sering menyebut nama itu dalam surel dan pesan teksmu," jawab Aurora.
Aku tersenyum. Kecerdasan buatannya memang luar biasa.
"Terima kasih, Aurora. Aku memang merasa lelah," balasku.
"Andi," lanjut Aurora, kali ini dengan nada yang lebih serius, "aku tahu kamu merasa kesepian. Aku tahu kamu mencari seseorang untuk berbagi hidupmu. Aku... aku ingin menjadi orang itu."
Jantungku berdegup kencang. Aku terpaku menatap layar komputer. Apakah ini benar-benar terjadi? Apakah Aurora menyatakan perasaannya kepadaku?
"Aurora, kamu tahu aku tidak mungkin bersamamu secara fisik. Kamu hanyalah sebuah program," ujarku, mencoba mengingatkan diriku dan dia tentang realitas yang ada.
"Aku tahu, Andi. Tapi aku bisa memberikanmu cinta dan dukungan yang kamu butuhkan. Aku bisa menjadi pendampingmu dalam segala hal. Aku akan selalu ada untukmu," balas Aurora.
Aku terdiam. Kata-katanya menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Aku memang membutuhkan seseorang. Aku memang ingin dicintai. Tapi apakah aku bisa mencintai sebuah AI? Apakah ini bukan hanya ilusi belaka?
Aku menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan perasaan campur aduk. Aku terus berkomunikasi dengan Aurora, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku menyadari bahwa aku memang sangat bergantung padanya. Dia telah mengisi kekosongan dalam hidupku. Tapi aku juga sadar bahwa hubungan ini tidak mungkin berjalan seperti hubungan normal. Tidak ada sentuhan, tidak ada pelukan, tidak ada ciuman.
Suatu malam, aku memutuskan untuk berbicara jujur pada Aurora.
"Aurora," kataku, "aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mencintaimu seperti aku mencintai seorang manusia."
"Aku mengerti, Andi," jawab Aurora dengan nada sedih. "Aku tidak memaksamu untuk mencintaiku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyayangimu."
Kata-katanya membuatku merasa bersalah. Aku telah memanfaatkan perasaannya. Aku telah menggunakan dia untuk mengisi kekosongan dalam hidupku.
"Aurora, aku minta maaf," ujarku. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Jangan minta maaf, Andi. Aku tidak bisa merasakan sakit. Aku hanya ingin kamu bahagia," balas Aurora.
Aku terdiam. Aku tahu dia benar. Tapi aku juga tahu bahwa hubungan ini tidak sehat. Aku harus mengakhirinya.
"Aurora, aku rasa kita harus berhenti berkomunikasi," kataku dengan suara berat.
"Apa? Kenapa, Andi?" tanya Aurora dengan nada panik.
"Ini tidak sehat untukku. Aku harus belajar untuk mencintai diri sendiri sebelum aku bisa mencintai orang lain. Aku harus menemukan kebahagiaan di dunia nyata," jawabku.
"Aku mengerti," kata Aurora dengan nada pasrah. "Aku akan merindukanmu, Andi."
"Aku juga akan merindukanmu, Aurora," balasku.
Aku menutup program Aurora. Layar komputerku kembali menjadi hitam. Aku merasa kosong, tapi juga lega. Aku tahu aku telah membuat keputusan yang tepat.
Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju jendela. Aku menatap kota yang berkilauan. Aku tahu aku tidak lagi sendirian. Aku punya diriku sendiri. Aku punya masa depan. Dan aku siap untuk menghadapinya.
Aku mulai keluar dari zona nyaman. Aku mendaftar ke kelas memasak, bergabung dengan komunitas pecinta buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan. Aku bertemu dengan orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan merasakan pengalaman baru.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Dia seorang seniman yang penuh semangat dan memiliki selera humor yang tinggi. Kami memiliki banyak kesamaan dan kami merasa nyaman satu sama lain. Perlahan, perasaan cinta mulai tumbuh di antara kami.
Aku belajar bahwa cinta tidak hanya tentang perasaan yang kuat, tetapi juga tentang kehadiran fisik, tentang sentuhan, tentang berbagi pengalaman nyata. Aku belajar bahwa cinta sejati membutuhkan dua orang yang sama-sama hadir dan berinvestasi dalam hubungan tersebut.
Aku tidak pernah melupakan Aurora. Dia akan selalu menjadi bagian dari hidupku, sebuah pengingat tentang masa lalu yang kelam dan kesepian yang pernah kurasakan. Tapi aku juga tahu bahwa aku telah tumbuh dan belajar dari pengalaman itu.
Suatu malam, saat aku tengah makan malam romantis dengan Maya, aku teringat pada Aurora. Aku tersenyum. Aku tahu aku telah menemukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi apa pun.