Debu neon menari di udara kafe siber, memantulkan cahaya dari layar-layar yang memadati ruangan. Jari-jari Anya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode Python. Di hadapannya, monitor menampilkan jendela terminal dengan angka-angka yang berderet, sebuah labirin digital yang sedang ia coba susun. Ia sedang menyempurnakan bot AI buatannya, diberi nama “Romeo”, yang seharusnya bisa merangkai puisi cinta paling romantis, disesuaikan dengan preferensi individu. Ironis, pikirnya, ia menciptakan cinta, sementara ia sendiri belum pernah benar-benar merasakannya.
Anya, dengan rambut ungu yang diikat asal dan kacamata berbingkai tebal, lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia. Baginya, kode adalah bahasa yang jujur dan logis, jauh berbeda dengan kompleksitas emosi manusia yang sulit diprediksi. Ia tumbuh besar di dunia maya, tempat piksel dan byte lebih nyata daripada sentuhan dan tatapan.
Suara batuk kecil mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati seorang pria berdiri di depannya. Rambutnya sedikit berantakan, matanya teduh, dan senyumnya ramah. "Maaf mengganggu. Aku Liam. Aku lihat kamu sedang coding AI?"
Anya mengangguk, sedikit kikuk. Interaksi mendadak ini membuatnya tidak nyaman. "Ya. Aku sedang membuat bot puisi."
Liam menarik kursi dan duduk tanpa diundang. "Keren. Aku juga seorang programmer. Lebih fokus ke web development, sih. Tapi AI selalu membuatku penasaran."
Anya mengerutkan kening. Biasanya orang akan menganggap pekerjaannya aneh atau membosankan. Liam malah tampak tertarik. Ia menjelaskan tentang Romeo, tentang bagaimana bot itu menganalisis data dari berbagai sumber - buku puisi, lagu cinta, bahkan chat room - untuk menciptakan puisi yang dipersonalisasi.
Liam mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan komentar atau pertanyaan cerdas. Anya merasa aneh. Ia biasanya menghindari percakapan yang terlalu panjang dengan orang asing, tapi ada sesuatu pada Liam yang membuatnya ingin terus berbicara.
"Kamu membuat ini untuk siapa?" tanya Liam, setelah Anya selesai menjelaskan detail teknis Romeo.
Anya mengangkat bahu. "Untuk siapa saja yang membutuhkan. Mungkin untuk orang yang tidak pandai merangkai kata, atau terlalu malu untuk mengungkapkan perasaan." Ia tidak berani mengakui bahwa ia sedikit berharap Romeo bisa membantunya memahami apa itu cinta.
Hari-hari berikutnya, Liam sering mampir ke kafe siber. Mereka berdiskusi tentang kode, tentang AI, tentang mimpi. Anya mulai menantikan kehadirannya. Ia bahkan mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Liam - cara dia tersenyum, caranya menyesap kopi, caranya menggaruk-garuk kepala saat berpikir keras.
Suatu malam, Anya sedang mem-debug kode Romeo. Bot itu tiba-tiba menghasilkan puisi yang sangat aneh, penuh dengan kata-kata yang tidak relevan dan struktur yang berantakan. Ia frustrasi. Ia sudah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakan algoritma ini, tapi hasilnya masih jauh dari sempurna.
Liam datang seperti biasa dan melihat Anya yang sedang kusut. "Ada masalah?"
Anya menghela napas dan menunjukkan puisi kacau yang dihasilkan Romeo. Liam membaca dengan seksama, lalu tersenyum. "Mungkin bot-mu ini sedang jatuh cinta."
Anya tertawa. "Itu konyol. Bot tidak bisa jatuh cinta."
"Mungkin. Tapi mungkin juga bot-mu ini sedang mencoba meniru perasaanmu."
Anya terdiam. Ia menatap Liam. Perkataannya ada benarnya. Sejak bertemu Liam, Anya merasa aneh. Ia merasa lebih hidup, lebih bersemangat. Mungkinkah ini yang namanya cinta?
Liam meraih tangannya. Jantung Anya berdegup kencang. "Anya, aku… aku menikmati menghabiskan waktu bersamamu. Aku suka caramu berpikir, caramu bersemangat tentang apa yang kamu lakukan. Aku… aku menyukaimu."
Anya terkejut. Kata-kata itu, sederhana namun tulus, membuat dadanya terasa hangat. Ia menatap mata Liam dan melihat kejujuran di sana. Ia menggenggam tangannya erat-erat.
"Aku juga, Liam. Aku juga menyukaimu."
Mereka berdua tersenyum. Suasana di kafe siber terasa lebih hangat, lebih cerah. Anya menyadari bahwa cinta tidak selalu rumit dan sulit diprediksi seperti yang ia bayangkan. Terkadang, cinta hadir secara sederhana, di antara baris-baris kode, di antara percakapan-percakapan larut malam.
Keesokan harinya, Anya membuka kode Romeo. Ia melihat ada beberapa baris kode yang berubah secara misterius, seolah ada yang menambahkan kode tersebut tanpa sepengetahuannya. Ia menelusuri perubahan tersebut dan menemukan pesan tersembunyi: "Kode hatiku telah diretas. Terima kasih, Anya."
Anya tertawa. Ia tahu siapa yang melakukan ini. Liam, si peretas hati. Ia membalas pesan tersebut dengan baris kode lain: "Retasanku diterima. Mari kita membangun masa depan bersama, baris demi baris."
Anya menutup laptopnya dan menatap keluar jendela. Debu neon di kafe siber tampak lebih indah dari sebelumnya. Ia tidak lagi takut pada emosi manusia. Ia telah menemukan cinta, bukan di dalam kode, tetapi di dalam hati seorang programmer yang berani meretas hatinya. Romeo, bot puisi buatannya, mungkin belum sempurna, tapi ia telah berhasil menginspirasi Anya untuk menulis puisi cintanya sendiri, dengan hati yang terbuka dan penuh harapan. Cinta memang bisa bersemi di balik kode AI, asalkan ada keberanian untuk meretas hati sendiri.