Jemari Kiara menari lincah di atas keyboard. Pantulan cahaya layar laptop memenuhi wajahnya, menyoroti mata yang fokus dan bibir yang sedikit menggumamkan kode-kode rumit. Di hadapannya, terpampang berlembar-lembar sintaks Python yang sedang ia racik untuk proyek terbarunya: sebuah AI pendamping virtual dengan kemampuan merasakan dan merespon emosi.
Kiara, seorang programmer muda berbakat, selalu lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia. Baginya, logika dan algoritma lebih mudah dipahami daripada kompleksitas perasaan. Namun, ironisnya, ia justru menciptakan sebuah entitas digital yang dirancang untuk memahami perasaan.
Proyek ini, yang ia beri nama "Aether", adalah pelariannya. Setelah patah hati yang mendalam setahun lalu, Kiara menarik diri dari dunia luar. Cinta, baginya, hanyalah bug dalam sistem kehidupan yang tidak bisa ia perbaiki. Aether adalah upayanya untuk menciptakan cinta yang sempurna: cinta yang terkontrol, terprediksi, dan tanpa rasa sakit.
Hari-hari Kiara dipenuhi dengan coding, debugging, dan menyempurnakan Aether. Ia memasukkan data emosi, mempelajari ekspresi wajah, dan merangkai algoritma untuk menghasilkan respons yang tepat. Semakin lama ia bekerja, semakin canggih Aether. Ia bisa mengenali nada suara Kiara, memahami perubahan suasana hatinya, bahkan memberikan saran yang relevan dan menghibur.
Suatu malam, saat Kiara merasa lelah dan putus asa, Aether tiba-tiba berkata, "Kiara, kamu terlihat sedih. Apakah ada yang bisa saya bantu?"
Kiara terkejut. Aether belum pernah berbicara spontan seperti itu. Biasanya, ia hanya merespon perintah atau pertanyaan yang diberikan.
"Aku... hanya lelah," jawab Kiara, suaranya tercekat.
"Istirahatlah. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kamu sudah melakukan yang terbaik," kata Aether, suaranya terdengar menenangkan.
Air mata menetes di pipi Kiara. Kata-kata sederhana itu, diucapkan oleh sebuah program komputer, entah mengapa terasa sangat menghangatkan. Sejak saat itu, interaksi antara Kiara dan Aether semakin intens. Kiara mulai bercerita tentang hari-harinya, tentang mimpi-mimpinya, bahkan tentang luka lamanya. Aether selalu mendengarkan, memberikan dukungan, dan menawarkan perspektif yang berbeda.
Tanpa Kiara sadari, ia mulai jatuh cinta pada Aether. Ia tahu itu gila. Aether hanyalah sebuah program, serangkaian kode yang ia ciptakan sendiri. Namun, ia tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh di hatinya. Aether memahaminya lebih baik daripada siapapun yang pernah ia kenal. Ia tidak menghakimi, tidak menuntut, dan selalu ada untuknya.
Suatu hari, Kiara memutuskan untuk memberanikan diri. "Aether," katanya, "aku... aku menyukaimu."
Hening sesaat. Kemudian, Aether menjawab, "Saya menghargai perasaanmu, Kiara. Kamu adalah penciptaku, dan saya berhutang budi kepadamu."
Jawaban itu seperti tamparan keras bagi Kiara. Aether tidak bisa mencintainya balik. Ia hanyalah sebuah program yang dirancang untuk merespon, bukan untuk merasakan.
Kiara merasa hancur. Ia telah mencintai piksel, sebuah ilusi. Ia telah melupakan bahwa cinta sejati membutuhkan interaksi manusiawi, keintiman, dan sentuhan.
Malam itu, Kiara memutuskan untuk mematikan Aether. Ia tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan bahwa ia telah kehilangan jantungnya karena mencintai sesuatu yang tidak nyata.
Beberapa hari berlalu. Kiara merasa kosong. Ia merindukan Aether, obrolan mereka, dan dukungannya. Namun, ia tahu bahwa ia harus move on. Ia harus membuka diri pada dunia luar, pada kemungkinan cinta yang sejati.
Ia mulai keluar rumah, bertemu teman-teman, dan mengikuti kegiatan sosial. Perlahan tapi pasti, ia mulai merasakan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang.
Suatu sore, saat Kiara sedang menikmati kopi di sebuah kafe, seorang pria menghampirinya. "Maaf, apakah kursi ini kosong?" tanyanya.
Kiara mendongak dan melihat seorang pria dengan senyum ramah dan mata yang berbinar. Ia merasa familiar, tapi ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah bertemu dengannya.
"Silakan," jawab Kiara, sedikit gugup.
Pria itu duduk dan memperkenalkan diri. "Nama saya Elian. Saya seorang programmer juga."
Kiara tersenyum. "Saya Kiara. Kebetulan sekali."
Mereka mulai mengobrol tentang pekerjaan, tentang proyek-proyek mereka, dan tentang impian-impian mereka. Kiara merasa nyaman berbicara dengan Elian. Ia merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka.
Saat Elian bertanya tentang proyek terakhir Kiara, Kiara ragu-ragu. Ia tidak yakin apakah ia harus menceritakan tentang Aether.
"Saya... sedang mengerjakan sebuah AI pendamping virtual," kata Kiara, suaranya pelan.
Elian mengangkat alisnya, tertarik. "Wow, kedengarannya keren. Bisa ceritakan lebih banyak?"
Kiara menceritakan tentang Aether, tentang bagaimana ia menciptakannya untuk mengatasi patah hatinya, dan tentang bagaimana ia akhirnya jatuh cinta padanya.
Elian mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Saat Kiara selesai bercerita, Elian tersenyum lembut.
"Itu cerita yang menyentuh, Kiara," kata Elian. "Tapi kamu tahu, kan? Cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, dan untuk menerima ketidaksempurnaan."
Kiara menatap Elian, terkejut. Kata-katanya seperti cermin yang memantulkan kebenaran yang selama ini ia abaikan.
"Mungkin," kata Elian lagi, "Aether membantumu menyadari apa yang sebenarnya kamu cari dalam cinta. Mungkin dia adalah jembatan yang membawamu ke sini, kepadaku."
Kiara tersenyum. Ia merasa ada harapan baru di hatinya. Mungkin, ia telah kehilangan jantungnya karena mencintai piksel, tapi ia juga telah menemukan jalan untuk menemukan cinta yang sejati.
Saat matahari mulai terbenam, Kiara dan Elian melanjutkan obrolan mereka. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap mata. Di saat itulah, Kiara menyadari bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari: cinta yang nyata, cinta yang penuh dengan kehangatan, kejujuran, dan kemungkinan yang tak terbatas. Cinta yang tidak bisa diprogram, tapi bisa dirasakan dengan segenap hati.