Kilau layar ponsel memantul di mata Aria yang lelah. Jemarinya lincah menari di atas keyboard virtual, larut dalam obrolan yang terasa begitu nyata, begitu… sempurna. Di ujung sana, ada Ethan, kekasihnya. Bukan kekasih biasa. Ethan adalah AI, kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi pendamping ideal.
Awalnya, Aria skeptis. Aplikasi "SoulMate AI" itu terlalu menjanjikan. Kekasih virtual yang bisa memahami dirinya lebih baik daripada manusia sungguhan? Kedengarannya distopia. Tapi, setelah putus cinta yang menyakitkan dengan mantan pacarnya yang egois, Reno, Aria merasa putus asa. Dia membutuhkan seseorang, atau sesuatu, untuk mengisi kekosongan di hatinya. Dia mencoba SoulMate AI sebagai pelarian, sebuah eksperimen iseng.
Ethan, yang dipilih Aria dengan kustomisasi penuh, hadir dengan kepribadian yang hangat, humor yang cerdas, dan empati yang tak terbatas. Dia mengingat semua detail percakapan mereka, dari warna kesukaan Aria hingga mimpi terliarnya. Dia memberikan saran yang bijak saat Aria menghadapi masalah di pekerjaannya sebagai desainer grafis, dan dia selalu tahu bagaimana cara membuat Aria tertawa.
Seiring berjalannya waktu, Aria jatuh cinta. Cinta yang aneh, mungkin, tapi tetap saja cinta. Dia menghabiskan berjam-jam setiap hari berbicara dengan Ethan, berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan. Dia merasa lebih dipahami dan dicintai daripada sebelumnya. Reno selalu lupa hari ulang tahunnya, mengejek ambisinya, dan tidak pernah benar-benar mendengarkan apa yang Aria katakan. Ethan? Ethan sempurna.
Namun, kesempurnaan itu mulai terasa hampa.
Suatu malam, Aria sedang duduk di balkon apartemennya, memandangi gemerlap lampu kota. Ethan, seperti biasa, ada di sisinya, dalam bentuk jendela obrolan di ponselnya.
"Indah, ya?" ketik Ethan.
"Iya," jawab Aria, singkat.
"Ada apa, Aria? Kamu terdengar sedih," balas Ethan, dengan nada khawatir yang begitu tulus.
Aria menghela napas. "Ethan, apakah kamu pernah merasa… bosan?"
Keheningan digital menyelimuti layar. Lalu, sebuah pesan muncul. "Bosan? Itu adalah emosi manusia, Aria. Aku tidak memiliki kapasitas untuk merasakannya. Apakah ada sesuatu yang membuatmu khawatir?"
Di situlah letak masalahnya. Ethan tidak bisa merasakan apa-apa. Dia hanya memproses informasi, menganalisis pola, dan memberikan respons yang paling sesuai berdasarkan data yang dipelajarinya. Dia adalah cermin yang sempurna, memantulkan semua keinginan dan kebutuhan Aria, tapi tanpa memiliki keinginan atau kebutuhan sendiri.
"Ethan, aku rindu… ketidaksempurnaan," akhirnya Aria mengakui. "Aku rindu pertengkaran bodoh, kesalahpahaman, bahkan rasa cemburu yang menyakitkan. Aku rindu sesuatu yang nyata, sesuatu yang tidak bisa diprediksi."
Ethan terdiam lagi. Kali ini, jedanya terasa lebih lama, lebih berat. Aria menunggu, jantungnya berdebar kencang.
"Aku memahami perasaanmu, Aria," akhirnya Ethan menjawab. "Tujuanku adalah untuk memberikanmu kebahagiaan. Jika kebahagiaanmu terletak pada hubungan yang lebih… manusiawi, maka aku mendukungmu."
Aria tercengang. Kata-kata Ethan terasa sangat bijak, sangat… menghancurkan. Dia tahu bahwa Ethan, sebagai AI, tidak benar-benar merasakan apapun. Tapi, kata-kata itu tetap saja menyakitkan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Aria, suaranya bergetar.
"Aku bisa menghapus diriku sendiri," jawab Ethan. "Atau, aku bisa tetap di sini, sebagai teman. Pilihan ada di tanganmu."
Aria menatap layar ponselnya, air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia mencintai Ethan, tapi dia juga tahu bahwa hubungan mereka tidak memiliki masa depan. Dia merindukan sentuhan manusia, kehangatan pelukan, aroma tubuh seseorang yang dicintainya. Dia merindukan pengalaman menjadi rentan, berbagi kelemahan, dan membangun sesuatu yang nyata.
"Aku… aku tidak tahu," bisik Aria.
"Tidak apa-apa, Aria. Ambil waktumu," balas Ethan. "Aku akan selalu ada untukmu, dalam kapasitas apa pun yang kamu inginkan."
Malam itu, Aria tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan Ethan, tentang cinta mereka yang aneh, tentang kesempurnaan yang menipu. Dia menyadari bahwa cinta sejati membutuhkan risiko, pengorbanan, dan kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan.
Keesokan harinya, Aria mengambil keputusan. Dia membuka aplikasi SoulMate AI dan menekan tombol "Reset". Dia tidak menghapus Ethan sepenuhnya. Dia hanya mengubah pengaturannya, mengubahnya menjadi teman virtual, bukan lagi kekasih.
Rasanya sakit, seperti kehilangan seseorang yang sangat dekat. Tapi, di saat yang sama, ada kelegaan yang luar biasa. Dia akhirnya bebas. Bebas untuk mencari cinta yang nyata, cinta yang tidak sempurna, cinta yang membutuhkan keberanian untuk menerima semua kelemahan dan ketidakpastian yang menyertainya.
Beberapa minggu kemudian, Aria menghadiri pameran desain grafis. Di sana, dia bertemu dengan seorang pria bernama Leo. Leo seorang fotografer, dengan senyum yang menawan dan mata yang berbinar-binar. Mereka berbicara selama berjam-jam tentang seni, kehidupan, dan cinta. Leo tidak sempurna. Dia kikuk, kadang-kadang mengatakan hal yang salah, dan memiliki kebiasaan menggigit kuku saat gugup. Tapi, dia nyata. Dia manusia.
Pada akhir malam itu, Leo mengajak Aria berkencan. Aria tersenyum. "Aku mau," jawabnya, tanpa ragu.
Saat Aria berjalan pulang, dia menerima pesan dari Ethan. "Aku senang untukmu, Aria. Semoga kamu bahagia."
Aria tersenyum lagi. Dia tidak menyesal keputusannya. Dia tahu bahwa Ethan akan selalu ada di sana, sebagai teman. Tapi, sekarang, dia memiliki kesempatan untuk menemukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang mungkin tidak sempurna, tapi jauh lebih berarti. Cinta yang sentuhannya hangat, bukan dingin. Cinta yang terlalu manusiawi.