Debu neon berjatuhan dari layar ponselnya, menyinari wajah Anya yang tertekuk. Algoritma kencan 'SoulSync' baru saja mengirimkan notifikasi: "Kecocokan Sempurna: Liam." Anya mendengus. Kecocokan sempurna? Algoritma tahu apa?
Selama bertahun-tahun, Anya bergantung pada SoulSync, menyerahkan harapan romantisnya pada serangkaian kode dan server yang berdenyut di suatu tempat di awan. Aplikasi itu menjanjikan lebih dari sekadar kecocokan dangkal berdasarkan hobi dan preferensi. SoulSync mengklaim mampu menganalisis pola neurologis, ritme jantung, dan bahkan mikroekspresi pengguna, mencari resonansi emosional yang terdalam. Bagi Anya, yang selalu kesulitan menjalin hubungan yang bermakna, janji itu terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Liam. Profilnya menampilkan senyuman yang cerah, mata yang penuh kehangatan, dan daftar minat yang seolah dirancang khusus untuknya: astrofotografi, musik ambient, dan debat filosofis tentang implikasi kecerdasan buatan. Terlalu sempurna, pikir Anya, hampir mencurigakan.
Namun, rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya. Anya mengirimkan pesan, sebuah kalimat pembuka yang cerdas tentang paradoks Fermi, yang langsung dibalas dengan jawaban yang lebih cerdas lagi. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas relativitas waktu, pengaruh Debussy, dan ketakutan eksistensial yang mereka berdua rasakan di tengah malam.
Setelah seminggu bertukar pesan, mereka sepakat untuk bertemu di 'Cafe Nebula', sebuah kedai kopi dengan tema luar angkasa yang konyol, namun entah kenapa, terasa pas. Saat Liam memasuki kafe, Anya merasakan sengatan aneh. Dia persis seperti yang dia bayangkan: rambut cokelat berantakan, senyum yang menular, dan tatapan mata yang seolah bisa melihat menembus pertahanannya.
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Anya tertawa lebih banyak dari yang dia ingat, berbagi mimpi dan ketakutannya dengan keterbukaan yang membuatnya rentan. Liam mendengarkan dengan penuh perhatian, menawarkan kata-kata yang menghibur dan perspektif baru tentang masalah yang telah lama membebaninya. Rasanya seperti bertemu dengan belahan jiwa yang telah lama hilang.
Namun, di balik kegembiraan itu, secercah keraguan terus membayangi. Setiap kali Liam mengatakan atau melakukan sesuatu yang sangat sesuai dengan harapannya, Anya merasa seperti sedang menonton film yang sudah dia ketahui alurnya. Apakah ini cinta yang sejati, atau hanya simulasi yang sempurna yang dihasilkan oleh algoritma?
Selama beberapa minggu berikutnya, Anya dan Liam menghabiskan setiap waktu luang bersama. Mereka menjelajahi museum, menghadiri konser, dan berbaring di bawah bintang-bintang, bercerita tentang alam semesta dan tempat mereka di dalamnya. Anya mulai jatuh cinta, atau setidaknya, dia pikir dia jatuh cinta.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran Italia yang remang-remang, Anya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang telah menghantuinya.
"Liam," katanya, suaranya sedikit bergetar, "apa menurutmu SoulSync benar-benar bisa menciptakan cinta?"
Liam meletakkan garpunya dan menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku tidak tahu, Anya. Aku rasa itu tergantung pada apa yang kau definisikan sebagai cinta. Apakah cinta itu sesuatu yang bisa diprediksi dan direkayasa, atau sesuatu yang tumbuh secara organik dari interaksi dan pengalaman bersama?"
"Aku tidak tahu," jawab Anya, frustrasi. "Itulah masalahnya. Aku merasa seperti kita ini produk dari algoritma. Seperti semua yang kita lakukan, semua yang kita rasakan, sudah ditentukan sebelumnya oleh serangkaian kode."
Liam meraih tangannya di atas meja. "Anya, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi aku tidak percaya bahwa SoulSync menciptakan kita. Aplikasi itu hanya mempertemukan kita. Apa yang terjadi setelah itu, bagaimana kita memilih untuk berinteraksi, bagaimana kita memilih untuk mencintai, itu semua adalah pilihan kita sendiri."
Kata-kata Liam menenangkannya, tetapi keraguan itu tetap ada. Anya mulai mengamati Liam lebih dekat, mencari tanda-tanda bahwa dia hanyalah serangkaian kode yang disamarkan menjadi manusia. Dia melihat cara dia tersenyum, cara dia menatapnya, cara dia menyentuh tangannya. Apakah itu semua autentik, atau hanya respons terprogram?
Suatu sore, Anya menemukan laptop Liam terbuka di mejanya. Dia tahu dia seharusnya tidak melakukannya, tetapi rasa penasarannya terlalu kuat. Dia membuka riwayat penjelajahannya dan melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Ada tab yang terbuka ke forum online yang didedikasikan untuk pengguna SoulSync. Salah satu utasnya berjudul: "Cara Memaksimalkan Kecocokan dengan Profil Anya."
Jantung Anya berdebar kencang. Dia membaca utas itu dengan mata terbelalak. Di sana, Liam, atau seseorang yang berpura-pura menjadi dia, sedang meminta saran dari pengguna lain tentang cara mendapatkan hati Anya. Mereka membahas hobinya, ketakutannya, dan bahkan topik pembicaraan tertentu yang harus dia hindari.
Anya merasa dikhianati. Semuanya palsu. Semua momen yang mereka bagikan, semua percakapan yang mendalam, semuanya diatur dan dihitung. Liam tidak mencintainya. Dia hanya memainkan peran yang diberikan oleh algoritma.
Dia menutup laptop itu dan berlari keluar dari apartemen. Air mata mengalir di pipinya saat dia berlari tanpa tujuan di jalanan kota. Dia merasa bodoh, naif, dan hancur.
Beberapa jam kemudian, Anya duduk sendirian di taman, menatap kosong ke pepohonan. Ponselnya berdering. Itu Liam. Dia mengabaikannya. Dia tidak ingin mendengar penjelasannya.
Pesan teks masuk: "Anya, aku tahu kau marah. Aku tahu kau merasa dikhianati. Tapi tolong dengarkan aku. Aku bisa menjelaskannya."
Anya menghela napas dan menjawab: "Jelaskan apa, Liam? Bagaimana kau berbohong padaku? Bagaimana kau memanipulasiku?"
Balasannya datang dengan cepat: "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya... aku hanya sangat ingin semuanya berhasil. Aku tahu itu terdengar bodoh, tapi aku benar-benar jatuh cinta padamu."
Anya terkekeh sinis. "Kau jatuh cinta padaku? Atau kau jatuh cinta pada profil yang dibuat oleh algoritma?"
"Aku jatuh cinta pada Anya yang ku kenal. Anya yang lucu, cerdas, dan penuh perhatian. Aku tahu aku melakukan kesalahan dengan mencari saran online, tapi aku bersumpah itu hanya karena aku gugup dan ingin memberikan yang terbaik. Tolong percayalah, Anya. Aku mencintaimu."
Anya menatap pesan itu untuk waktu yang lama. Apakah mungkin bahwa Liam benar-benar jujur? Apakah mungkin bahwa di balik manipulasi dan trik, ada perasaan yang tulus?
Dia memutuskan untuk bertemu dengannya. Mereka bertemu di Cafe Nebula, tempat mereka pertama kali bertemu. Suasana canggung dan tegang.
"Aku minta maaf," kata Liam, suaranya bergetar. "Aku tahu aku telah merusak semuanya. Aku harap kau bisa memaafkanku."
Anya menatapnya dalam-dalam. Dia bisa melihat ketulusan di matanya. Dia bisa melihat penyesalan dan harapan.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Liam," kata Anya. "Tapi aku bersedia untuk mencoba."
Masa depan mereka tidak pasti. Anya tahu bahwa dia tidak akan pernah sepenuhnya percaya pada SoulSync lagi. Tetapi dia juga menyadari bahwa cinta tidak selalu harus sempurna atau direncanakan. Kadang-kadang, cinta tumbuh dari kesalahan dan ketidaksempurnaan. Kadang-kadang, hati menemukan jalannya, bahkan di tengah lautan algoritma. Mungkin, pikir Anya, algoritma memang menciptakan mereka, tetapi mereka yang memutuskan apa yang akan mereka lakukan dengan ciptaan itu. Mungkin, mereka bisa menciptakan cinta yang sesungguhnya, terlepas dari kode dan data.