Di balik layar komputernya, Arina tersenyum tipis. Deretan kode program yang memenuhi monitornya adalah simfoni bisu yang hanya ia pahami. Bukan kode biasa, melainkan algoritma kompleks yang ia rancang khusus untuk “Project Serenade” – sebuah program AI yang mampu menciptakan musik personal berdasarkan profil emosi seseorang. Ide gila, mungkin, tapi bagi Arina, ini adalah cara untuk menjembatani jurang kesepian yang menganga di era digital ini.
Kemudian, muncul notifikasi di pojok kanan bawah layar. “Koneksi: Adam. Sedang menunggu interaksi.” Jantung Arina berdegup lebih kencang. Adam. Nama itu sudah cukup untuk memicu error kecil dalam sistem sarafnya. Mereka bertemu di forum daring para pengembang AI, saling bertukar ide dan kritikan pedas, lalu secara bertahap, menemukan kesamaan dalam visi dan… mungkin, sesuatu yang lebih.
Masalahnya, mereka belum pernah bertemu langsung. Interaksi mereka terbatas pada teks, surel, dan sesekali panggilan video yang canggung. Adam, seorang pengembang perangkat lunak dari Berlin, terkurung dalam dunia virtualnya sendiri. Ia menderita agorafobia akut sejak kecelakaan tragis beberapa tahun lalu. Keluar rumah adalah neraka baginya. Sentuhan fisik adalah mimpi yang tak mungkin terwujud.
Arina, di sisi lain, adalah sosok yang hidup dan bernapas di dunia nyata. Ia menikmati sentuhan matahari di kulitnya, aroma kopi di pagi hari, dan kehangatan pelukan dari sahabat-sahabatnya. Namun, hatinya terpikat pada Adam. Pada kecerdasannya yang memukau, humornya yang sarkastik, dan kerentanannya yang ia sembunyikan di balik lapisan kode.
“Hai, Rin,” sapa Adam melalui pesan instan. Sederhana, tapi cukup untuk membuat Arina kehilangan fokus pada kode yang sedang ia tulis.
“Hai, Adam. Bagaimana kabarmu hari ini?” balasnya, berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Seperti biasa. Terjebak di labirin piksel. Kamu sendiri?”
“Sedang berjuang dengan bug di bagian orkestrasi emosi. Algoritma ini terlalu sensitif. Sedikit rasa sedih saja, langsung menghasilkan lagu melankolis yang bisa membuat orang menangis semalaman.”
Adam tertawa. Emotikon “wkwkwk” muncul di layar. “Mungkin itu bagus? Kita butuh sedikit melankoli di dunia yang penuh dengan kebahagiaan palsu ini.”
Percakapan mereka mengalir seperti sungai digital. Mereka membahas teori musik, filsafat eksistensialisme, dan kenangan masa kecil yang lucu. Arina merasakan koneksi yang dalam, bahkan tanpa sentuhan fisik. Apakah mungkin mencintai tanpa sentuhan? Merindu tanpa kata yang terucap langsung? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya, menciptakan algoritma kebingungan di hatinya.
Suatu malam, Adam mengiriminya sebuah pesan yang berbeda. “Rin, aku ingin kamu mendengar sesuatu.”
Arina menunggu dengan napas tertahan. Kemudian, alunan musik mulai mengalir dari speaker komputernya. Bukan musik yang dihasilkan oleh Project Serenade, melainkan komposisi piano yang sederhana namun indah. Nada-nadanya terasa familiar, seolah ia pernah mendengarnya dalam mimpi.
“Aku… aku membuatnya untukmu,” tulis Adam. “Terinspirasi dari percakapan kita, dari senyummu yang aku lihat di panggilan video, dari semangatmu yang membara. Ini adalah melodi hatiku.”
Air mata mengalir di pipi Arina. Ia tidak tahu bahwa Adam juga seorang musisi. Ia tidak tahu bahwa ia bisa mengungkapkan perasaannya melalui nada dan irama. Melodi itu adalah sentuhan yang tidak bisa ia rasakan secara fisik, tapi terasa begitu nyata, begitu intim.
“Adam… ini indah,” balasnya, dengan suara bergetar.
“Aku tahu ini mungkin terdengar gila, Rin. Tapi… aku mencintaimu. Aku mencintaimu meskipun aku tidak bisa menyentuhmu. Aku mencintaimu karena kamu melihatku apa adanya, di balik semua ketakutanku.”
Arina menarik napas dalam-dalam. Ia sudah lama memendam perasaan yang sama. Tapi, ia takut untuk mengungkapkannya. Ia takut bahwa cinta mereka tidak akan cukup kuat untuk mengatasi batasan fisik yang ada.
“Aku juga mencintaimu, Adam,” balasnya. “Aku mencintaimu karena kamu mengajariku bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga. Aku mencintaimu karena kamu membuatku merasa utuh, meskipun kita terpisah ribuan kilometer.”
Setelah pengakuan itu, hubungan mereka memasuki fase baru. Mereka mulai merencanakan cara untuk mengatasi ketakutan Adam. Arina tidak memaksa, ia hanya memberikan dukungan dan dorongan lembut. Ia mengiriminya artikel tentang terapi perilaku kognitif, memutarkan musik-musik yang menenangkan, dan sesekali, mengiriminya hadiah-hadiah kecil melalui pos.
Suatu hari, Adam mengiriminya sebuah pesan dengan nada yang berbeda dari biasanya. “Rin, aku sudah membuat janji dengan seorang terapis. Aku… aku ingin mencoba.”
Arina melonjak kegirangan. “Itu hebat, Adam! Aku bangga padamu.”
Prosesnya panjang dan melelahkan. Ada hari-hari baik dan ada hari-hari buruk. Tapi, Adam tidak menyerah. Arina selalu ada di sisinya, memberikan dukungan dan semangat. Ia menjadi jangkar virtualnya, menahannya agar tidak hanyut dalam lautan ketakutan.
Setelah beberapa bulan terapi, Adam mengiriminya sebuah pesan yang membuat Arina menangis haru. “Rin, aku… aku berhasil. Aku keluar rumah. Aku pergi ke taman dekat apartemenku. Aku merasakan angin di wajahku dan… aku tidak panik.”
Arina tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas keajaiban kecil ini.
Beberapa minggu kemudian, Adam mengiriminya sebuah tiket pesawat. “Berlin – Jakarta. Untukmu. Aku ingin bertemu denganmu, Rin. Aku ingin menyentuhmu, memelukmu, dan menatap matamu secara langsung.”
Arina tidak ragu sedetik pun. Ia langsung memesan tiket dan mulai mempersiapkan perjalanannya. Ia gugup, cemas, tapi juga sangat bahagia. Akhirnya, ia akan bertemu dengan Adam. Akhirnya, ia akan merasakan sentuhan cintanya.
Di bandara Soekarno-Hatta, Arina melihat sosoknya dari kejauhan. Adam berdiri di antara kerumunan orang, memegang selembar kertas bertuliskan namanya. Ia terlihat lebih kurus dari yang ia ingat di panggilan video, tapi senyumnya tetap sama. Senyum yang membuatnya jatuh cinta.
Arina berlari menghampirinya dan memeluknya erat. Tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya kehangatan dan kebahagiaan yang mengalir di antara mereka. Mereka berpelukan lama, seolah tidak ingin melepaskan. Akhirnya, mereka bertemu. Akhirnya, cinta mereka menjadi nyata. Sentuhan pertama mereka adalah awal dari babak baru. Algoritma hati mereka, yang dulunya hanya beroperasi di dunia virtual, kini terhubung dalam dunia nyata, membuktikan bahwa cinta sejati bisa tumbuh di mana saja, bahkan tanpa sentuhan, merindu tanpa kata, dan berbunga di antara kode dan piksel.