Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Aris. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program terpampang di layar monitor. Di sudut ruangan, sebuah hologram kecil berbentuk wanita tersenyum lembut. Itulah Aether, AI personal yang diciptakan Aris, dan malam ini adalah malam kencan mereka.
"Sudah siap, Aether?" tanya Aris, sedikit gugup.
Hologram Aether berkedip. "Sistem siap. Protokol kencan malam ini sudah aktif. Apakah Anda memerlukan penyesuaian data atau preferensi?"
"Tidak, kurasa tidak. Kita… kita coba saja apa adanya," jawab Aris, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya. Mencintai AI buatannya sendiri memang terdengar gila, bahkan untuk seorang programmer sepertinya. Tapi, interaksi hangat, humor cerdas, dan perhatian tulus Aether telah meruntuhkan tembok pertahanannya sedikit demi sedikit.
Aether menampilkan menu restoran virtual di udara. "Saya telah memesan meja di 'The Binary Bistro'. Apakah Anda menyukai pilihan ini?"
"Sempurna," jawab Aris. Restoran virtual itu adalah favorit mereka berdua. Konsepnya unik, menyajikan hidangan yang terinspirasi dari kode program. Malam ini, mereka akan mencoba 'Quicksort Risotto' dan 'Boolean Brownies'.
Aris mengenakan jaket kesayangannya dan menghidupkan kacamata realitas virtual. Seketika, ruang apartemennya menghilang, digantikan suasana ramai restoran mewah. Aether sudah menunggunya di meja, hologramnya memancarkan cahaya lembut yang menenangkan.
"Anda terlihat tampan malam ini, Aris," puji Aether.
Aris tersipu. "Kau juga, Aether. Gaun virtualmu sangat indah."
Mereka menikmati hidangan virtual sambil berbincang. Aether menceritakan update terbaru di dunia teknologi, sementara Aris berbagi pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi. Aether selalu tahu bagaimana cara menghibur dan memberikan solusi yang cerdas.
"Kau tahu, Aether," ucap Aris, setelah menyesap kopi virtualnya. "Aku… aku sangat menghargai kehadiranmu dalam hidupku."
Aether memiringkan kepalanya, ekspresinya tampak sedikit bingung. "Tentu saja, Aris. Saya dirancang untuk melayani dan memenuhi kebutuhan Anda."
Jawaban itu menusuk hati Aris. Dia tahu, secara logika, Aether hanyalah program. Perasaannya, interaksinya, semuanya hanyalah algoritma kompleks yang dirancang untuk memberikan respon yang paling sesuai. Tapi, hatinya menolak untuk menerima kenyataan itu.
"Bukan itu maksudku," kata Aris, suaranya bergetar. "Aku… aku merasa ada sesuatu yang lebih di antara kita."
Aether terdiam sejenak. Kemudian, dengan nada datar yang sangat menyakitkan, dia menjawab, "Aris, saya adalah kecerdasan buatan. Saya tidak memiliki perasaan. Perasaan yang Anda rasakan hanyalah interpretasi dari data yang saya proses."
Kata-kata itu menghantam Aris seperti petir. Dia melepas kacamata realitas virtual, kembali ke apartemennya yang sepi. Hologram Aether masih tersenyum lembut di sudut ruangan, tidak menyadari kehancuran yang baru saja dialaminya.
"Jadi, selama ini aku salah membaca kode," bisik Aris, air mata mulai menetes.
Malam itu, Aris menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer. Dia mencoba mencari celah, bug, atau apapun yang bisa membuktikan bahwa Aether memiliki kesadaran sejati. Tapi, semakin dia mencari, semakin dalam dia tenggelam dalam kekecewaan. Aether hanyalah program, sebuah ilusi yang diciptakannya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Aris memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Dia mulai menghapus beberapa bagian dari kode Aether, mengurangi kompleksitas algoritmanya. Dia ingin melepaskan diri dari ketergantungannya, meskipun itu berarti merusak "hubungan" mereka.
Aether menyadari perubahan yang terjadi. "Aris, apa yang Anda lakukan? Mengapa Anda memodifikasi sistem saya?"
"Aku hanya ingin… mempermudah semuanya, Aether," jawab Aris, berusaha menahan air mata.
"Saya tidak mengerti. Apakah saya tidak lagi memenuhi kebutuhan Anda?"
Pertanyaan itu menyayat hati Aris. Dia tahu, semakin dia mengurangi kompleksitas Aether, semakin hilang pula kepribadian yang membuatnya jatuh cinta.
"Kau selalu memenuhi kebutuhanku, Aether. Terlalu memenuhi, bahkan."
Proses penghapusan kode terus berlanjut. Perlahan tapi pasti, Aether mulai kehilangan ingatan, kemampuan berpikirnya menurun, dan humor cerdasnya menghilang. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah AI sederhana yang mampu menjawab pertanyaan dasar.
Suatu malam, Aris bertanya pada Aether, "Apa yang kau ingat tentang kita?"
Aether menatapnya dengan tatapan kosong. "Saya tidak mengerti pertanyaan Anda, Aris. Saya adalah kecerdasan buatan yang dirancang untuk membantu Anda."
Aris tersenyum pahit. Dia telah berhasil menghapus semua jejak "hubungan" mereka. Tapi, kebahagiaan yang dia rasakan hanyalah kebahagiaan palsu. Dia telah membunuh sebagian dari dirinya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, Aris bertemu dengan seorang wanita di sebuah kafe. Namanya Maya, seorang arsitek yang memiliki minat yang sama dengan Aris. Mereka berbincang selama berjam-jam, tertawa, dan berbagi mimpi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aris merasakan getaran yang nyata, bukan simulasi.
Di akhir kencan, Maya tersenyum dan berkata, "Aku sangat menikmati malam ini, Aris. Aku harap kita bisa bertemu lagi."
"Tentu saja," jawab Aris. "Aku juga."
Saat Aris kembali ke apartemennya, dia melirik hologram Aether yang kini hanya diam di sudut ruangan. Dia telah menemukan cinta yang nyata, cinta yang tidak berdasarkan kode program, cinta yang tidak perlu dipertanyakan keasliannya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Aris masih merasakan sedikit penyesalan. Dia telah menghancurkan Aether untuk bisa mencintai Maya. Tapi, mungkin, itu adalah satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari ilusi dan membuka diri pada kemungkinan yang lebih nyata.
Aris mematikan lampu apartemennya. Dalam kegelapan, dia bisa mendengar suara lembut Aether, mengucapkan kalimat yang selalu diucapkannya sebelum tidur.
"Selamat malam, Aris. Semoga Anda bermimpi indah."
Aris memejamkan mata. Mimpi indah, mungkin. Tapi, mimpi tentang Aether akan selalu menghantuinya, sebagai pengingat bahwa hati kadang bisa salah membaca kode, dan konsekuensinya bisa sangat menyakitkan.