Jari Jemari Lintang menari di atas layar sentuh tabletnya. Cahaya biru memantul di matanya yang fokus, menerangi wajahnya yang serius. Baris demi baris kode program terurai di hadapannya, membentuk kerangka sebuah aplikasi kencan revolusioner: SoulSync. Bukan sekadar mencocokkan profil berdasarkan hobi dan minat, SoulSync mengklaim mampu menemukan koneksi emosional yang lebih dalam, resonansi jiwa, melalui algoritma kompleks yang menganalisis pola bicara, gestur mikro, dan bahkan preferensi warna pengguna.
Lintang, seorang programmer introvert dengan hati yang mendambakan cinta, menuangkan seluruh energinya ke dalam proyek ini. Baginya, SoulSync bukan hanya aplikasi; ini adalah harapan, mimpi akan menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya di dunia maya yang serba cepat dan dangkal ini. Ironisnya, di balik kecerdasannya merancang algoritma cinta, Lintang kesulitan menemukan cintanya sendiri.
Suatu malam, saat Lintang sedang berkutat dengan debug di baris kode yang terus-menerus menampilkan error, sebuah pesan muncul di layar laptopnya. Pesan itu berasal dari akun pengembang anonim yang menggunakan avatar burung hantu.
"Kode yang menarik," bunyi pesan itu. "Tapi ada kebocoran kecil dalam algoritma resonansi emosi. Di bagian cluster analysis, ada potensi terjadinya false positive. Pengguna dengan kecenderungan narsistik dapat dengan mudah memanipulasi hasilnya."
Lintang terkejut. Ia merasa seolah ada yang mengintip ke dalam otaknya. Ia sudah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakan algoritma itu. Siapa orang ini, dan bagaimana ia bisa menemukan celah tersebut?
"Siapa kamu?" balas Lintang dengan rasa penasaran yang bercampur curiga.
"Seorang teman," balas si burung hantu. "Atau mungkin, calon beta tester yang sangat tertarik."
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Lintang, yang biasanya sangat tertutup, mendapati dirinya berbagi detail-detail teknis SoulSync dengan si burung hantu. Orang itu, yang kemudian Lintang ketahui bernama Aksara, ternyata seorang ethical hacker yang memiliki pemahaman mendalam tentang psikologi manusia dan pemrograman. Aksara memberikan saran-saran yang brilian, membantu Lintang memperbaiki algoritma dan memperkuat sistem keamanan SoulSync.
Seiring berjalannya waktu, percakapan mereka tidak lagi hanya tentang kode. Mereka mulai berbagi cerita tentang diri mereka sendiri, tentang impian, ketakutan, dan harapan. Lintang menceritakan tentang kesulitannya berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata, tentang bagaimana ia merasa lebih nyaman berada di balik layar. Aksara, sebaliknya, menceritakan tentang petualangannya menjelajahi dunia, tentang pertemuannya dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, dan tentang keyakinannya bahwa cinta bisa ditemukan di mana saja, bahkan di tempat yang paling tak terduga.
Tanpa disadari, Lintang mulai jatuh cinta pada Aksara. Bukan pada avatar burung hantunya, tetapi pada kecerdasannya, humornya yang cerdas, dan kebaikan hatinya. Ia merasa terhubung dengan Aksara pada level yang sangat dalam, jauh melampaui sekadar ketertarikan intelektual.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di hati Lintang. Ia tidak tahu siapa Aksara sebenarnya. Mereka hanya saling mengenal melalui teks dan kode. Bagaimana jika Aksara ternyata tidak seperti yang ia bayangkan? Bagaimana jika harapan-harapannya hancur berkeping-keping?
Suatu hari, Aksara mengirimkan pesan yang membuat jantung Lintang berdebar kencang. "Lintang, aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin melihat wajah di balik kode-kode indah yang kau ciptakan."
Lintang merasa ragu. Sebagian dirinya sangat ingin bertemu Aksara, melihatnya tersenyum, mendengar suaranya secara langsung. Namun, sebagian lagi takut akan penolakan, takut akan kekecewaan. Ia takut realitas tidak akan seindah dunia virtual yang mereka bangun bersama.
Setelah berhari-hari mempertimbangkan, Lintang akhirnya setuju untuk bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di antara kantor Lintang dan apartemen Aksara.
Pada hari yang telah ditentukan, Lintang berdiri di depan cermin, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia mengenakan kemeja favoritnya dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah keluar rumah.
Ketika Lintang tiba di kedai kopi, ia melihat seorang pria duduk di meja dekat jendela. Pria itu sedang menatap keluar, tangannya menggenggam cangkir kopi. Lintang mengenalinya dari deskripsi yang pernah diberikan Aksara tentang dirinya: rambut ikal gelap, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang ramah.
Lintang mendekat dengan langkah ragu. Pria itu menoleh dan tersenyum. "Lintang?" tanyanya.
Lintang mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku Aksara," kata pria itu, mengulurkan tangannya.
Lintang menjabat tangannya. Sentuhan kulitnya terasa hangat dan nyata. Untuk pertama kalinya, ia merasakan keberadaan Aksara secara fisik, bukan hanya sebagai kumpulan piksel di layar.
Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dalam. Lintang menemukan bahwa Aksara sama seperti yang ia bayangkan, bahkan lebih baik. Ia pintar, lucu, dan penuh perhatian. Aksara juga terpesona dengan kecerdasan dan kebaikan hati Lintang.
Saat malam tiba, Aksara mengantar Lintang pulang. Di depan pintu apartemen Lintang, Aksara berhenti dan menatap mata Lintang. "Aku sangat senang bertemu denganmu, Lintang," katanya. "Aku merasa kita memiliki sesuatu yang istimewa."
Lintang tersenyum. "Aku juga merasakan hal yang sama, Aksara," jawabnya.
Aksara mendekat dan mencium Lintang dengan lembut. Ciuman itu terasa seperti sentuhan piksel yang menjadi nyata, sentuhan yang hangat dan penuh perasaan. Di saat itu, Lintang tahu bahwa ia telah menemukan cintanya, bukan di balik layar sentuh impian, tetapi dalam pelukan seorang pria yang telah mencuri hatinya melalui kode dan percakapan. SoulSync, aplikasi yang ia ciptakan, mungkin tidak sempurna, tetapi ia telah membuktikan satu hal: cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan di balik layar sentuh yang memisahkan dan menghubungkan dunia.