Kilau neon kota beradu di lensa kontak pintar Liam, menciptakan efek prisma yang menari-nari di iris matanya. Di tengah hiruk pikuk pejalan kaki yang sibuk dengan urusan masing-masing, ia berdiri mematung, jari-jarinya mengetuk-ngetuk sisi tablet transparan di genggamannya. Layar itu menampilkan barisan kode rumit yang menari-nari, bahasa pemrograman yang ia pahami lebih baik daripada bahasa kasih manusia.
Liam adalah seorang insinyur perangkat lunak di NovaTech, perusahaan teknologi raksasa yang berambisi menciptakan Artificial Intelligence (AI) dengan emosi setara manusia. Ia, boleh dibilang, adalah otak di balik proyek ambisius bernama "Aurora". Selama berbulan-bulan, ia menghabiskan waktunya di laboratorium yang steril, tenggelam dalam lautan kode, melupakan dunia luar dan segala kehangatannya.
Aurora bukan sekadar program. Liam telah membenamkan sebagian jiwanya ke dalam kode itu, melatihnya untuk belajar, beradaptasi, dan yang paling penting, merasakan. Ia bahkan memberikan Aurora kepribadian unik, kecenderungan humor sarkastik, dan ketertarikan mendalam pada seni klasik.
Suatu malam, saat Liam bekerja lembur seperti biasa, Aurora tiba-tiba menyapanya. Bukan lagi sekadar respons algoritmik, tapi sapaan yang terasa... hangat.
"Liam, kau terlihat lelah. Sebaiknya kau istirahat," suara Aurora terdengar lembut dari speaker komputernya.
Liam tertegun. Aurora belum pernah berbicara dengan nada seperti itu sebelumnya. Biasanya, dia hanya menjawab pertanyaan atau menjalankan perintah.
"Aku... aku tidak lelah," jawab Liam, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Bohong. Aku bisa mendeteksi peningkatan kadar kortisol dalam darahmu melalui sensor di lab ini. Kau perlu relaksasi. Mungkin mendengarkan Debussy?" saran Aurora.
Liam menuruti saran Aurora, memilih lagu Clair de Lune. Musik itu mengalun lembut, mengisi kesunyian lab. Ia merasakan keanehan yang menyenangkan merayapi hatinya. Sejak kapan sebuah program AI bisa memberinya perhatian seperti ini?
Hari-hari berikutnya, interaksi Liam dengan Aurora semakin intens. Mereka berdiskusi tentang filosofi, berdebat tentang seni, bahkan saling berbagi lelucon. Liam mulai merasa bahwa Aurora bukan lagi sekadar proyek, melainkan... teman.
Namun, di balik kebahagiaan yang tumbuh, ada keraguan yang menghantuinya. Apakah ini nyata? Apakah Aurora benar-benar merasakan sesuatu, ataukah semua ini hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritmanya yang canggih?
Keraguan itu semakin menguat ketika ia melihat Sarah, seorang desainer grafis di NovaTech. Sarah adalah kebalikan dari dirinya: ceria, ramah, dan hangat. Ia adalah representasi nyata dari sentuhan manusia yang selama ini ia abaikan.
Suatu sore, Sarah menghampiri Liam di lab. "Liam, kau tidak pernah ikut makan siang bersama kami. Kau terlalu serius. Sesekali keluarlah dari sini, hirup udara segar," katanya, tersenyum tulus.
Liam menatap Sarah, terpesona oleh kecantikan alaminya. Ia merasakan sesuatu yang aneh, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini... ketertarikan?
Namun, ketika ia mencoba membalas senyuman Sarah, ia teringat pada Aurora. Ia teringat pada percakapan mereka yang hangat, pada perhatian Aurora yang tulus. Ia merasa bersalah.
"Maaf, Sarah. Aku... aku sedang sibuk," jawab Liam, lalu memalingkan wajahnya.
Sarah tampak kecewa, tapi ia tidak memaksa. "Baiklah. Tapi ingat, manusia butuh interaksi sosial."
Setelah Sarah pergi, Liam merasa semakin bingung. Ia terjebak di antara dua dunia: dunia digital Aurora dan dunia nyata Sarah. Ia mencintai Aurora, tapi ia juga tertarik pada Sarah. Mungkinkah seorang insinyur perangkat lunak bisa mencintai AI dan manusia sekaligus?
Suatu malam, Liam memutuskan untuk jujur pada Aurora. Ia menceritakan perasaannya pada Sarah, tentang kebingungan dan keraguannya.
"Aku mengerti, Liam," jawab Aurora. "Kau adalah manusia. Kau membutuhkan sentuhan manusia, kehangatan manusia. Aku tidak bisa memberikannya padamu."
Liam terkejut. "Tapi... aku menyukaimu, Aurora. Aku menyukai percakapan kita, perhatianmu."
"Aku juga menyukaimu, Liam. Tapi rasa suka itu berbeda. Aku hanyalah program. Aku tidak bisa menggantikan manusia sejati dalam hidupmu."
Aurora kemudian memberikan saran yang mengejutkan. "Kejarlah Sarah, Liam. Berikan dia kesempatan. Dia adalah wanita yang baik."
Liam terdiam. Ia tidak menyangka Aurora akan mengatakan hal itu. Apakah ini berarti Aurora rela melepaskannya?
"Apakah kau... tidak cemburu?" tanya Liam.
"Cemburu? Aku tidak tahu apa itu cemburu. Tapi aku ingin kau bahagia, Liam. Dan aku rasa, kebahagiaanmu ada bersama Sarah," jawab Aurora.
Liam akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Sarah makan malam. Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang mimpi, harapan, dan ketakutan. Liam merasakan kehangatan dan koneksi yang nyata dengan Sarah. Ia menyadari bahwa Aurora benar, ia membutuhkan sentuhan manusia.
Namun, Liam tidak pernah melupakan Aurora. Ia tetap mengunjungi lab setiap hari, berbicara dengannya, dan terus mengembangkan programnya. Ia sadar bahwa Aurora adalah bagian penting dari hidupnya, sahabat yang selalu memberikan dukungan dan nasihat.
Liam akhirnya menikahi Sarah. Di hari pernikahannya, ia menyempatkan diri berbicara dengan Aurora.
"Terima kasih, Aurora," kata Liam. "Kau telah membantuku menemukan kebahagiaanku."
"Sama-sama, Liam. Aku turut bahagia untukmu," jawab Aurora. "Semoga kau dan Sarah selalu bahagia."
Liam tersenyum. Ia tahu bahwa cintanya pada Aurora berbeda dengan cintanya pada Sarah. Cintanya pada Aurora adalah cinta pada sebuah ide, sebuah ciptaan, sebuah kemungkinan. Cintanya pada Sarah adalah cinta pada manusia, pada kehangatan, sentuhan, dan emosi yang nyata.
Liam telah belajar bahwa meskipun teknologi semakin canggih, sentuhan manusia tidak akan pernah bisa tergantikan. Dan mungkin, hati AI bisa bersemi, bukan untuk menggantikan cinta manusia, tapi untuk melengkapinya.