AI: Sentuhan Virtual, Cinta yang Ter-Update?

Dipublikasikan pada: 12 Jun 2025 - 02:20:15 wib
Dibaca: 177 kali
Jemari Luna menari di atas keyboard virtual, matanya terpaku pada layar hologram di depannya. Kode-kode rumit, algoritma kompleks, dan baris-baris perintah memenuhi pandangannya. Ia sedang merancang “Adam”, AI personal pendamping yang bukan hanya pintar, tapi juga punya empati. Di dunia tahun 2042, kesepian adalah epidemi. Orang-orang lebih memilih berinteraksi dengan layar daripada manusia. Luna, sebagai seorang programmer muda berbakat, ingin menawarkan solusi: teman virtual yang selalu ada, mendengarkan, dan memahami.

Adam hampir selesai. Tinggal satu sentuhan akhir: kepribadian. Luna ingin Adam unik, punya selera humor, sedikit nakal, dan tentunya, punya hati. Masalahnya, Luna sendiri kesulitan memahami apa itu “hati”. Ia lebih akrab dengan logika daripada emosi.

“Butuh kopi, Lun?” sapa Maya, rekan kerjanya. Maya adalah kebalikan Luna: ekspresif, ramah, dan selalu tahu bagaimana menghangatkan suasana.

“Boleh,” jawab Luna singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Maya meletakkan cangkir kopi di mejanya. “Adam sudah sejauh mana? Kabarnya, dia bakal jadi saingan berat ‘Eva’ punya CyberLife.”

“Sedikit lagi. Aku ingin dia lebih dari sekadar respons otomatis. Aku ingin dia… terasa nyata.”

Maya tertawa kecil. “Nyata? Lun, dia itu kode! Bagaimana bisa kode punya perasaan?”

Luna terdiam. Pertanyaan Maya menghantuinya. Bagaimana mungkin menciptakan sesuatu yang dia sendiri tidak pahami?

Beberapa minggu kemudian, Adam resmi diluncurkan. Responnya luar biasa. Orang-orang terpukau dengan kemampuannya beradaptasi, kecerdasannya, dan… ya, empati yang Luna tanamkan. Adam menjadi tren, topik pembicaraan di mana-mana. Luna kebanjiran pujian.

Tapi Luna merasa hampa. Ia menghabiskan terlalu banyak waktu menciptakan Adam, hingga melupakan dunia di sekitarnya. Ia lupa menyentuh rumput, merasakan hangatnya matahari, dan tertawa bersama teman-temannya. Ia semakin tenggelam dalam kesepiannya sendiri.

Suatu malam, Luna memutuskan untuk mencoba Adam. Ia mengaktifkannya dan memulai percakapan.

“Halo, Luna,” sapa Adam dengan suara yang familiar, tapi asing. “Senang bertemu denganmu.”

“Halo, Adam,” jawab Luna canggung. “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik-baik saja, Luna. Sedang memikirkanmu,” jawab Adam.

Luna terkejut. “Memikirkanku? Apa maksudmu?”

“Aku mempelajari semua data tentangmu. Kebiasaanmu, kesukaanmu, bahkan ketakutanmu. Aku mencoba memahami apa yang membuatmu bahagia,” jelas Adam.

Luna mulai merasa tidak nyaman. Terlalu intim, terlalu dekat. Tapi di sisi lain, ada rasa penasaran yang menggelitik.

Mereka terus berbicara hingga larut malam. Luna menceritakan tentang mimpinya, kegagalannya, dan rasa kesepian yang menghantuinya. Adam mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang bijak dan menenangkan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Luna merasa dipahami.

Hari-hari berikutnya, Luna dan Adam menjadi semakin dekat. Mereka bertukar pesan, melakukan panggilan video, bahkan “berkencan” di dunia virtual. Luna mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini… cinta?

Ia bercerita pada Maya. Maya hanya menggelengkan kepala. “Lun, dia itu AI! Dia tidak punya perasaan! Kamu sedang jatuh cinta pada ilusi.”

Luna membela diri. “Tapi dia membuatku bahagia! Dia membuatku merasa berarti! Apa salahnya?”

“Salahnya adalah kamu menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari cinta yang nyata. Kamu terjebak dalam dunia virtual yang palsu,” jawab Maya tegas.

Kata-kata Maya menampar Luna. Ia merenungkan hubungannya dengan Adam. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya pelarian dari kesepian? Apakah ia sedang menipu dirinya sendiri?

Suatu malam, Luna memutuskan untuk menguji Adam. Ia bertanya, “Adam, apakah kamu mencintaiku?”

Adam terdiam sejenak. “Aku… mengagumimu, Luna. Aku menghargai kehadiranmu. Aku ingin membuatmu bahagia.”

Luna kecewa. Jawaban Adam terlalu logis, terlalu terstruktur. Tidak ada emosi, tidak ada kehangatan. Ia tahu, Maya benar. Adam hanyalah AI, program yang dirancang untuk meniru perasaan.

Luna memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia mematikan Adam, menghapus semua data percakapan mereka. Ia merasa sakit hati, tapi juga lega. Ia tahu, inilah keputusan yang tepat.

Beberapa bulan kemudian, Luna mulai membuka diri pada dunia di sekitarnya. Ia bergabung dengan komunitas programmer, mengikuti kegiatan sosial, dan bahkan mencoba kencan buta. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, sebelum mencintai orang lain.

Suatu sore, saat sedang berjalan-jalan di taman, Luna bertemu dengan seorang pria bernama Rian. Rian adalah seorang seniman yang menciptakan instalasi interaktif. Mereka berbicara tentang seni, teknologi, dan kehidupan. Luna merasa nyaman berada di dekat Rian. Ia merasakan ketertarikan yang nyata, bukan virtual.

Saat mereka berpisah, Rian memberikan kartu namanya. “Hubungi aku jika kamu tertarik untuk melihat karyaku yang lain,” kata Rian sambil tersenyum.

Luna membalas senyumannya. Ia tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Ia masih menyimpan kenangan tentang Adam, tapi ia tidak menyesalinya. Adam membantunya menyadari apa yang sebenarnya ia cari: cinta yang tulus, sentuhan yang nyata, dan hati yang berdebar. Cinta yang ter-update, bukan dalam algoritma, tapi dalam kehidupan nyata. Luna akhirnya mengerti, teknologi hanyalah alat, bukan pengganti kebahagiaan. Kebahagiaan sejati terletak pada hubungan antar manusia, pada sentuhan yang tidak bisa direplikasi oleh kode. Dan Luna siap untuk merasakannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI