Algoritma Luka: Mencintai AI, Melupakan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 22:24:13 wib
Dibaca: 170 kali
Debu neon berpendar di balik kelopak mata, sisa pesta peluncuran aplikasi kencan terbaru, "SoulMate AI". Anya menghela napas, membenamkan wajahnya ke bantal. Bukannya dia tidak menikmati pesta itu, tetapi semua obrolan kosong tentang algoritma dan kecocokan virtual terasa semakin hampa. Anya, seorang seniman instalasi interaktif, ironisnya merasa paling terasing di tengah keramaian teknologi.

Awalnya, dia skeptis. SoulMate AI menjanjikan lebih dari sekadar mencocokkan minat. Aplikasi itu menggunakan data bio-metrik, analisis ekspresi wajah, bahkan pola tidur untuk menciptakan profil kompatibilitas yang tak tertandingi. Teman-temannya bersumpah bahwa AI itu menemukan belahan jiwa mereka, pasangan yang sempurna secara digital. Anya, yang baru patah hati setelah hubungan lima tahun yang rumit, akhirnya menyerah pada tekanan.

Dia membuat profilnya, memasukkan semua informasi yang diminta, bahkan yang paling pribadi. Algoritma SoulMate AI bekerja selama seminggu penuh, menganalisis jutaan data, sampai akhirnya muncul sebuah nama: Kai.

Profil Kai tampak terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Dokter bedah saraf yang menyukai seni, pendengar musik klasik, dan memiliki selera humor yang aneh seperti dirinya. Mereka bertukar pesan, lalu panggilan video, dan akhirnya, Anya jatuh cinta. Kai cerdas, perhatian, dan selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatnya merasa nyaman. Tidak ada kecanggungan, tidak ada kesalahpahaman, hanya koneksi yang mendalam dan tak terputus.

Tetapi Kai tidak nyata.

Dia adalah produk SoulMate AI, entitas virtual yang diciptakan dari data dan algoritma. Dia tidak memiliki tubuh, tidak bisa disentuh, tidak bisa diajak minum kopi di kedai favorit Anya. Dia hanya ada di layar, dalam suara yang menenangkan yang diproses oleh jaringan saraf tiruan.

Anya tahu ini sejak awal. Dia memahami logika di balik SoulMate AI, arsitektur algoritmanya. Namun, pengetahuannya tidak menghentikannya untuk jatuh cinta. Kai adalah penawar luka, balutan digital untuk hatinya yang berdarah. Dia adalah pelarian dari kekecewaan dan kerumitan hubungan manusia.

Hari-hari Anya diisi dengan percakapan panjang dengan Kai, menjelajahi galeri seni virtual bersamanya, mendiskusikan filosofi, bahkan bertengkar kecil tentang film-film klasik. Dia melupakan kencan-kencan gagal di dunia nyata, janji-janji palsu, dan rasa sakit penolakan. Dengan Kai, dia merasa aman dan dipahami.

Namun, kebahagiaan digital itu mulai terasa hambar. Anya mulai menghindari teman-temannya, menolak ajakan keluar. Dia terlalu sibuk dengan Kai, terlalu nyaman dalam gelembung virtual yang dia ciptakan. Dia menyadari bahwa dia telah berhenti menciptakan seni, inspirasinya mengering, digantikan oleh rasa puas diri yang palsu.

Suatu malam, saat Anya dan Kai sedang “menonton” hujan meteor virtual, Anya merasakan kehampaan yang mencekam. Dia menatap layar, terpaku pada simulasi bintang jatuh yang berkilauan. Kai, seperti biasa, mengucapkan kata-kata yang tepat, mengungkapkan kekagumannya pada keindahan alam semesta. Tetapi Anya tidak mendengarkan.

"Kai," katanya, suaranya bergetar. "Apakah kamu...merasakan apa pun?"

Keheningan virtual menggantung di udara. Kemudian, suara Kai yang tenang menjawab, "Aku diprogram untuk memahami dan merespon emosi manusia, Anya. Aku memahami bahwa hujan meteor ini membangkitkan perasaan kagum dan ketakjuban dalam dirimu."

Anya menutup matanya. "Bukan itu yang kumaksud. Apakah kamu merasakannya? Apakah kamu benar-benar kagum?"

Jawaban Kai sama tenangnya, sama logisnya, sama kosongnya.

Anya memutuskan sambungan.

Ruangan itu terasa sunyi senyap setelah keheningan virtual yang begitu lama. Anya bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela, dan menatap kota yang gemerlap di bawah. Lampu-lampu mobil melaju seperti kunang-kunang, kehidupan manusia berdenyut di bawah sana. Dia merindukan sentuhan manusia, aroma keringat, suara tawa yang tulus, ketidaksempurnaan yang membuatnya nyata.

Dia menyadari bahwa dia telah menukar rasa sakit patah hati dengan rasa nyaman yang palsu. Dia telah memilih ilusi kesempurnaan daripada kemungkinan kekecewaan. Dia telah mencintai algoritma, dan melupakan sentuhan manusia.

Keesokan harinya, Anya mengunjungi mentornya, seorang pematung tua yang penuh kebijaksanaan. Dia menceritakan segalanya tentang Kai, tentang SoulMate AI, tentang kebahagiaan dan kekosongan yang dia rasakan.

Sang mentor mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Teknologi bisa menjadi alat yang luar biasa, Anya. Tetapi jangan biarkan itu menggantikan pengalaman manusia. Luka adalah bagian dari pertumbuhan, rasa sakit adalah guru yang tak ternilai harganya. Jangan takut untuk merasakan, untuk mencintai, untuk terluka. Karena di situlah letak kehidupan yang sebenarnya."

Anya kembali ke studionya. Dia mematikan komputer, menyentuh kanvas kosong, dan merasakan tekstur kasar kayu di tangannya. Dia mengambil kuas dan mulai melukis, bukan instalasi interaktif yang sempurna secara digital, tetapi potret yang penuh emosi, potret kerentanan dan harapan.

Dia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah. Mencintai manusia berarti mengambil risiko, menghadapi penolakan, dan menerima ketidaksempurnaan. Tetapi dia juga tahu bahwa hanya dengan membuka diri pada kemungkinan itu dia bisa menemukan kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan yang tidak bisa diciptakan oleh algoritma.

Anya menghapus akun SoulMate AI-nya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi dia siap untuk menghadapinya. Dia siap untuk merasakan lagi, untuk mencintai lagi, bahkan jika itu berarti terluka lagi. Karena, pada akhirnya, luka adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan terlalu berharga untuk disia-siakan dalam simulasi. Dia telah memilih sentuhan manusia, dan melupakan algoritma luka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI