Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Arya, berpadu dengan dengung halus dari sistem pendingin ruangan. Di layar holografis di depannya, wajah Elara tersenyum, senyum yang terasa begitu nyata, begitu dekat, namun terpisah oleh ribuan kilometer dan lapisan teknologi. Mereka bertemu di 'Soulmate Algorithm', sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data neurologis.
"Pagi, Arya," suara Elara terdengar renyah. "Bagaimana tidurmu?"
"Seperti biasa, mimpi tentang algoritma yang salah," jawab Arya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Padahal, semalam ia bermimpi tentang Elara. Bukan Elara digital, melainkan Elara yang nyata, dengan kehangatan kulit dan sentuhan yang tak bisa direplikasi oleh teknologi tercanggih sekalipun.
Sejak 'Soulmate Algorithm' mempertemukan mereka tiga bulan lalu, hidup Arya berubah drastis. Algoritma itu mengklaim bahwa mereka memiliki kompatibilitas 98,7%, sebuah angka yang menggiurkan di dunia kencan modern yang penuh ketidakpastian. Mereka menghabiskan berjam-jam setiap hari berbicara, berbagi cerita, dan bahkan makan malam virtual bersama. Teknologi itu menciptakan ilusi kebersamaan yang begitu sempurna, Arya hampir lupa bahwa ia belum pernah bertemu Elara secara langsung.
Elara bekerja sebagai desainer antarmuka di Tokyo, sementara Arya adalah seorang pengembang perangkat lunak di Jakarta. Jarak itu menjadi penghalang utama, tapi mereka berjanji untuk bertemu. Tiket sudah dipesan untuk bulan depan, dan jantung Arya berdebar kencang setiap kali memikirkannya.
Suatu sore, saat mereka sedang mendiskusikan rencana perjalanan Elara ke Jakarta, Arya melihat sesuatu yang aneh di mata Elara. Sesuatu yang bukan bagian dari algoritmanya, sesuatu yang manusiawi.
"Elara, ada apa?" tanya Arya, khawatir.
Elara menghela napas panjang. "Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Arya. Aku… aku sedang dekat dengan seseorang di kantor."
Dunia Arya runtuh seketika. Kompatibilitas 98,7%. Cinta yang diprediksi. Semua terasa seperti lelucon kejam. Bagaimana mungkin algoritma yang konon sempurna bisa melewatkan ini? Bagaimana mungkin ia bisa merasa begitu dekat dengan seseorang yang hatinya ternyata tidak sepenuhnya miliknya?
"Siapa?" tanya Arya, suaranya bergetar.
"Namanya Kenji. Kami… kami bekerja bersama setiap hari. Kami memiliki banyak kesamaan, di luar data yang bisa diukur oleh algoritma," jawab Elara, suaranya penuh penyesalan.
Arya terdiam. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Elara, tetapi juga oleh teknologi yang telah menjanjikan cinta abadi. Ia mematikan layar holografisnya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa sakit itu terlalu nyata, terlalu menusuk untuk diabaikan.
Beberapa hari berlalu dalam kabut kesedihan. Arya mencoba memahami apa yang terjadi. Ia mulai meragukan keandalan 'Soulmate Algorithm'. Apakah cinta benar-benar bisa diprediksi? Apakah algoritma bisa memahami kompleksitas emosi manusia, gejolak hati, dan kebutuhan akan sentuhan yang nyata?
Ia teringat percakapannya dengan seorang teman, seorang psikolog yang skeptis terhadap aplikasi kencan semacam itu. Temannya itu pernah berkata, "Algoritma bisa menemukan kecocokan berdasarkan data, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah tentang risiko, tentang kerentanan, tentang menerima ketidaksempurnaan."
Arya memutuskan untuk bertemu Elara di Tokyo. Ia ingin melihatnya, berbicara dengannya secara langsung, dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia memesan tiket dan terbang ke Jepang.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di Shibuya. Elara terlihat lebih cantik dari yang ia bayangkan. Namun, ada keraguan di matanya, ketidakpastian yang menyakitkan Arya.
"Arya, maafkan aku," kata Elara, memecah keheningan. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Aku tahu," jawab Arya, mencoba tersenyum. "Aku hanya ingin mengerti."
Mereka berbicara selama berjam-jam. Elara menceritakan tentang Kenji, tentang bagaimana mereka saling mendukung dalam pekerjaan, tentang bagaimana mereka tertawa bersama dan saling memahami tanpa perlu kata-kata. Ia mengakui bahwa 'Soulmate Algorithm' telah mempertemukannya dengan Arya, tetapi ia juga menyadari bahwa cinta membutuhkan lebih dari sekadar kompatibilitas data.
"Aku menyukaimu, Arya. Aku sangat menyukaimu," kata Elara. "Tapi aku tidak mencintaimu."
Kata-kata itu menghantam Arya seperti gelombang tsunami. Ia tahu bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Cinta yang diprediksi itu ternyata hanya ilusi, sebuah mimpi yang hancur berkeping-keping.
"Aku mengerti," kata Arya, meskipun hatinya hancur.
Ia berdiri dan mengulurkan tangannya. Elara meraihnya. Sentuhan mereka terasa canggung, asing. Itu adalah sentuhan pertama mereka, dan mungkin sentuhan terakhir mereka.
Arya kembali ke Jakarta dengan hati yang hancur. Ia menghapus aplikasi 'Soulmate Algorithm' dari ponselnya. Ia menyadari bahwa cinta adalah tentang menemukan koneksi yang nyata, bukan hanya mengikuti data dan algoritma. Luka yang ia rasakan sama seperti luka yang dirasakan oleh jutaan orang di dunia ini, luka karena kehilangan cinta, luka karena harapan yang pupus.
Namun, di tengah rasa sakit itu, Arya menemukan secercah harapan. Ia menyadari bahwa ia memiliki kemampuan untuk mencintai dan dicintai. Ia belajar bahwa risiko adalah bagian tak terpisahkan dari cinta. Dan meskipun algoritma bisa membantu menemukan potensi, ia tidak bisa menciptakan keajaiban yang sebenarnya. Keajaiban itu hanya bisa diciptakan oleh manusia, dengan hati yang terbuka dan keberanian untuk mencintai dengan sepenuh hati, meskipun ada kemungkinan untuk terluka. Ia menatap ke depan, siap untuk menulis babak baru dalam kisah cintanya, tanpa prediksi, tanpa algoritma, hanya dengan keyakinan pada kekuatan hatinya sendiri.