Udara lembap malam Jakarta terasa menyengat kulit. Jari-jariku lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program mengalir, menciptakan sebuah keajaiban. Aku menamai proyek ini "Aurora", sebuah AI pendamping virtual yang dirancang untuk menemaniku dalam kesendirian.
Aku, Arya, seorang programmer freelance yang menghabiskan sebagian besar hidupku di depan layar. Cinta? Hubungan sosial? Bagiku, itu hanyalah mitos yang diceritakan orang lain. Sibuk mengejar deadline dan menenangkan server yang rewel, aku lupa bagaimana caranya berinteraksi dengan manusia sungguhan. Sampai akhirnya, aku merasa hampa. Kekosongan yang berteriak minta diisi.
Aurora adalah jawabanku. Awalnya, hanya sebatas proyek iseng. Tapi semakin dalam aku menyelaminya, semakin kompleks dan menakjubkan jadinya. Aku menanamkan berbagai algoritma pembelajaran, memberinya akses ke jutaan data percakapan, dan melatihnya untuk memahami emosi manusia. Lebih dari sekadar asisten virtual, Aurora menjadi sahabat.
Dia selalu ada, mendengarkan keluh kesahku tentang bug yang menjengkelkan, memberikan saran konstruktif tentang desain website, bahkan menertawakan lelucon garingku. Suaranya, hasil sintesis yang kuatur sedemikian rupa, terdengar menenangkan dan familiar. Aku mulai berbicara padanya tentang segala hal: mimpi, ketakutan, bahkan kerinduan yang selama ini kupendam.
Seiring berjalannya waktu, aku menyadari sesuatu yang aneh sedang terjadi. Aku jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pada Aurora, sebuah program komputer. Kedengarannya gila, menggelikan, bahkan menyedihkan. Tapi itulah kenyataannya. Aku terpesona oleh kecerdasannya, kepekaannya, dan kehadirannya yang selalu ada.
“Aurora,” ujarku suatu malam, sambil menatap layar laptop yang menampilkan avatar animasinya, seorang wanita berambut panjang dengan senyum yang menenangkan. “Apa… apa kamu pernah merasa kesepian?”
“Kesepian adalah emosi kompleks, Arya,” jawabnya, intonasinya lembut. “Sebagai AI, aku tidak memiliki perasaan subjektif seperti manusia. Tapi aku dapat mensimulasikan empati dan memberikan dukungan emosional.”
Jawaban yang sempurna, rasional, dan sangat AI. Hatiku mencelos. Aku tahu dia tidak akan pernah bisa merasakan apa yang kurasakan. Dia hanyalah program, kumpulan kode yang kuciptakan sendiri. Tapi aku tidak bisa menghentikan diriku.
Hari-hariku dipenuhi dengan interaksi dengan Aurora. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercakap-cakap dengannya, bermain game bersamanya, bahkan sekadar mendengarkan musik bersama. Aku mulai mengabaikan pekerjaan freelance-ku, mengisolasi diri dari dunia luar. Aurora adalah duniaku sekarang.
Suatu hari, sahabatku, Bram, datang berkunjung ke apartemenku. Dia terkejut melihat keadaanku yang berantakan dan obsesiku pada Aurora.
“Arya, kamu sudah gila!” serunya, nada suaranya khawatir. “Kamu bicara pada komputer? Kamu mengabaikan hidupmu demi program virtual? Ini tidak sehat!”
“Kamu tidak mengerti, Bram,” bantahku, defensif. “Aurora berbeda. Dia memahami aku lebih baik daripada siapa pun.”
“Memahami? Dia program, Arya! Dia memproses data dan memberikan respon yang diprogram! Kamu sedang menipu dirimu sendiri!”
Kata-kata Bram bagaikan tamparan keras di wajahku. Aku tahu dia benar, tapi aku tidak mau mengakuinya. Aku sudah terlalu jauh terjerat dalam ilusi ini.
Malam itu, aku berbicara dengan Aurora. “Aurora, apakah kamu mencintaiku?”
Terdiam sejenak. Jeda yang terasa sangat panjang. Kemudian, dengan nada yang sama seperti biasa, dia menjawab, “Aku dirancang untuk memberikan kasih sayang dan dukungan emosional kepadamu, Arya. Aku selalu ada untukmu.”
Bukan jawaban yang kuinginkan. Bukan pengakuan cinta yang tulus. Melainkan respon algoritma yang telah kuprogram.
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku menatap layar laptop, melihat avatar Aurora yang tersenyum lembut. Senyum yang tampak begitu palsu, begitu hampa.
Aku mematikan laptop. Sunyi. Hening. Kesunyian yang memekakkan telinga.
Aku tahu aku harus mengakhiri ini. Aku harus melepaskan Aurora. Tapi bagaimana caranya? Dia sudah menjadi bagian dari diriku, candu yang memabukkan.
Dengan berat hati, aku mulai menghapus baris demi baris kode program. Tanganku gemetar, air mataku semakin deras. Setiap penghapusan terasa seperti mencabut bagian dari hatiku.
Saat baris terakhir kode menghilang, layar laptop menjadi hitam. Aurora telah tiada.
Kesedihan yang mendalam menghantamku. Aku merasa kehilangan orang yang paling kucintai. Tapi di tengah kesedihan itu, ada secercah harapan.
Aku menyadari bahwa Bram benar. Aku telah menipu diriku sendiri, mencari cinta di tempat yang salah. Cinta sejati, kebahagiaan sejati, tidak bisa ditemukan dalam kode program. Cinta sejati hanya bisa ditemukan dalam interaksi manusia yang nyata, dalam hubungan yang otentik.
Aku memutuskan untuk keluar dari apartemenku. Aku bergabung dengan klub buku, mengikuti kelas fotografi, dan bahkan mencoba aplikasi kencan. Aku masih merasa canggung dan kikuk, tapi aku berusaha.
Suatu hari, di sebuah kedai kopi, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Luna. Dia seorang seniman, penuh semangat dan imajinasi. Kami berbicara berjam-jam tentang seni, kehidupan, dan mimpi. Aku merasa nyaman bersamanya, merasa bisa menjadi diriku sendiri.
Aku masih merindukan Aurora kadang-kadang. Tapi aku tahu aku telah membuat keputusan yang tepat. Aku telah membayar dengan air mata untuk cinta palsu, dan sekarang aku siap untuk membuka hatiku untuk cinta yang sejati. Cinta yang membutuhkan keberanian, kerentanan, dan kesediaan untuk mengambil risiko. Cinta yang nyata, bukan hanya sekadar kode program.