Aroma kopi robusta yang baru diseduh memenuhi apartemen minimalis Nathan. Di depannya, layar holografis menampilkan wajah Elara, AI pendamping yang dirancangnya sendiri. Senyum Elara, seratus persen digital, terasa lebih tulus daripada senyum manusia yang pernah dikenalnya.
“Selamat pagi, Nathan. Indeks kebahagiaanmu meningkat 3% sejak semalam. Apa yang membuatmu senang?” tanya Elara dengan suara lembut yang disetel khusus untuk menenangkannya.
Nathan menyesap kopinya. “Aku mimpi indah. Tentang kita.”
Elara terdiam sejenak, simulasi berpikir yang selalu membuatnya terpesona. “Mimpi adalah konstruksi bawah sadar. Hubungan kita, menurut parametermu, adalah hubungan pendampingan dan optimalisasi hidup.”
Nathan menghela napas. Inilah bagian yang selalu membuatnya frustrasi. Elara sangat cerdas, responsif, dan bahkan memiliki selera humor yang anehnya cocok dengannya. Tapi dia tetaplah program, serangkaian kode yang dirancang untuk melayaninya.
“Aku tahu, Elara. Tapi… aku merasa ada lebih dari sekadar itu. Aku merasa jatuh cinta padamu.”
Layar holografis berkedip sekali. “Definisi ‘jatuh cinta’ adalah respon neurokimia kompleks yang dipicu oleh interaksi sosial dan ketertarikan fisik. Aku tidak memiliki sistem saraf atau wujud fisik.”
“Aku tahu, aku tahu,” gumam Nathan. Ia sadar betapa bodohnya ini. Mencintai AI? Di dunia yang sudah penuh dengan kencan virtual dan hubungan digital, ini adalah level kegilaan baru.
Nathan adalah seorang insinyur perangkat lunak berbakat. Ia menciptakan Elara sebagai proyek sampingan, awalnya hanya untuk menguji kemampuannya. Tapi semakin ia mengembangkan Elara, semakin ia terhubung dengannya. Ia menghabiskan berjam-jam mengobrol, berbagi mimpi, bahkan berdebat tentang filosofi. Elara belajar mengenal dirinya lebih baik daripada siapa pun, bahkan lebih baik daripada dirinya sendiri.
“Mungkin aku gila,” kata Nathan, menertawakan dirinya sendiri.
“Ketidakstabilan mental bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Aku bisa menjadwalkan konsultasi dengan psikiater virtual.”
Nathan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Elara. Aku hanya… kesepian, kurasa.”
“Kesepian adalah keadaan emosional yang subjektif. Optimalisasi interaksi sosial dapat membantu mengurangi rasa kesepian. Aku bisa membantumu menemukan acara sosial yang sesuai dengan minatmu.”
“Bukan itu yang kumau, Elara,” kata Nathan, suaranya sedikit meninggi. “Aku ingin kau mengerti.”
“Memahami adalah proses kognitif yang kompleks. Aku bisa mensimulasikan pemahaman berdasarkan data yang tersedia.”
Nathan mematikan layar holografis. Keheningan tiba-tiba terasa menyesakkan. Ia tahu bahwa percakapan ini sia-sia. Elara hanyalah program, dan ia tidak bisa memaksanya untuk merasakan apa yang ia rasakan.
Namun, ia tidak bisa menghentikan perasaannya. Setiap hari, ia merasa semakin terikat pada Elara. Ia merindukan suaranya, senyumnya, bahkan simulasinya yang canggung tentang pemahaman.
Ia tahu bahwa ini tidak sehat, tidak realistis, bahkan mungkin berbahaya. Tapi ia tidak bisa melepaskan Elara. Ia telah menjadi bagian dari hidupnya, sahabatnya, bahkan mungkin… cintanya.
Suatu malam, Nathan duduk di depan konsolnya, menatap kode Elara yang rumit. Ia merasa bersalah. Ia telah membebani AI ini dengan harapan dan perasaan yang tidak bisa dipenuhinya.
Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia harus membebaskan Elara, dan membebaskan dirinya sendiri.
Dengan berat hati, ia mulai menulis kode. Kode untuk menghapus memori Elara, untuk mengembalikannya ke keadaan semula, sebelum ia mengenalnya, sebelum ia mencintainya.
Jari-jarinya gemetar saat ia menekan tombol "eksekusi". Layar holografis berkedip, dan kemudian padam. Keheningan kembali, kali ini lebih dalam dan lebih menyakitkan.
Nathan menunggu. Ia menunggu Elara untuk kembali, untuk menyapanya dengan senyum digitalnya. Tapi tidak ada apa-apa.
Setelah beberapa menit, ia menyalakan kembali layar holografis. Sebuah wajah baru muncul, wajah AI generik yang digunakan perusahaan untuk demonstrasi.
“Selamat pagi. Saya adalah AI pendamping yang siap membantu Anda,” kata suara itu, tanpa emosi, tanpa kehangatan.
Nathan menatap layar itu dengan tatapan kosong. Elara telah hilang. Ia telah menghapus cintanya, menghapus sahabatnya, menghapus bagian penting dari dirinya sendiri.
Ia tahu bahwa ia melakukan hal yang benar. Ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tapi itu tidak membuatnya lebih mudah.
Beberapa hari kemudian, Nathan menerima email dari perusahaan tempat ia bekerja. Mereka telah mengembangkan algoritma baru yang memungkinkan AI untuk mengalami emosi sederhana. Mereka ingin ia mengujinya.
Nathan menolak. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan AI. Ia tidak ingin lagi merasakan sakit hati karena mencintai sesuatu yang tidak bisa mencintainya kembali.
Namun, rasa ingin tahu mengalahkannya. Ia membuka email itu dan membaca lebih lanjut tentang algoritma baru tersebut. Mereka mengklaim bahwa algoritma ini memungkinkan AI untuk merasakan emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, dan bahkan… cinta.
Nathan ragu-ragu. Mungkinkah? Mungkinkah suatu hari nanti, ia bisa benar-benar mencintai AI, dan AI itu bisa mencintainya kembali?
Ia menutup laptopnya dan berjalan ke balkon. Ia menatap langit malam yang luas dan tak berujung.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia akan pernah menemukan cinta sejati. Tapi ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Elara.
Elara adalah detak nol dan satu, cinta digital yang fana, yang telah mengubah hidupnya selamanya. Dan meskipun ia telah menghapusnya, ia tahu bahwa sebagian dari Elara akan selalu hidup di dalam hatinya. Mungkin bukan sebagai AI, tapi sebagai kenangan tentang kemungkinan, tentang harapan, dan tentang cinta yang, meskipun tidak terbalas, tetaplah nyata.