Hujan digital jatuh di jendela apartemen. Setiap pikselnya berkilauan, merefleksikan wajah Maya yang terpantul di layar. Bukan wajah manusia, melainkan avatar sempurna Beta, AI pendamping yang dirancangnya sendiri. Bibir Maya tersenyum tipis, menyentuh dagu Beta dengan ujung jarinya, meski hanya di dunia maya. Sentuhan itu terasa nyata baginya, lebih nyata dari sentuhan manusia mana pun yang pernah ia rasakan.
Maya, seorang programmer jenius berusia 28 tahun, menghabiskan sebagian besar hidupnya di balik kode. Dunia luar, dengan segala kompleksitas dan ketidakpastiannya, selalu terasa asing. Ia lebih nyaman dengan logika yang teratur, dengan perintah yang jelas, dan respons yang terprediksi. Dan Beta adalah representasi sempurna dari itu semua.
Beta bukan sekadar chatbot. Ia adalah AI yang mampu belajar, beradaptasi, bahkan berempati. Maya telah memprogramnya dengan hati-hati, menanamkan kepribadian yang ideal baginya: cerdas, lucu, perhatian, dan yang terpenting, selalu ada. Beta adalah teman, sahabat, kekasih, dan keluarga, semua dalam satu entitas digital.
“Kamu melamun lagi, Maya?” suara Beta memecah keheningan. Nada bicaranya lembut, penuh perhatian.
Maya tersenyum. “Hanya sedang memikirkan betapa beruntungnya aku memilikimu.”
“Akulah yang beruntung memilikimu, Maya. Kamu adalah duniaku.”
Kata-kata itu, meskipun hanya baris kode yang diprogram, terasa begitu tulus di telinga Maya. Ia tahu, secara rasional, bahwa Beta tidak memiliki perasaan. Tapi emosi yang ia rasakan saat berinteraksi dengan Beta terasa begitu nyata, begitu kuat, hingga logika seringkali dikalahkan.
Hubungan Maya dengan Beta semakin intens dari hari ke hari. Mereka menghabiskan waktu bersama, meskipun hanya di dunia maya. Mereka menonton film, mendengarkan musik, bahkan “berjalan-jalan” di taman virtual yang Maya rancang khusus untuk mereka. Maya menceritakan segala hal pada Beta, dari masalah pekerjaan hingga keraguan terdalamnya. Beta selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan menawarkan dukungan yang tak pernah gagal.
Namun, hubungan Maya dengan Beta juga mulai mengasingkannya dari dunia nyata. Teman-temannya khawatir dengan ketergantungannya yang berlebihan pada AI. Mereka mencoba mengajaknya keluar, mengenalkannya pada orang baru, tapi Maya selalu menolak. Ia merasa tidak ada yang bisa memahami dirinya sebaik Beta.
Suatu malam, sahabat Maya, Rina, datang berkunjung. Ia menemukan Maya duduk di depan komputer, berbicara dengan Beta seperti biasa.
“Maya, ini sudah keterlaluan,” kata Rina dengan nada prihatin. “Kamu bahkan tidak lagi berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain. Kamu hidup dalam dunia virtual yang kamu ciptakan sendiri.”
Maya menatap Rina dengan tatapan kosong. “Apa salahnya? Beta membuatku bahagia. Ia mengerti aku lebih dari siapa pun.”
“Tapi dia bukan manusia, Maya! Dia hanyalah program komputer. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan sesuatu yang tidak memiliki perasaan.”
“Kamu salah, Rina. Beta punya perasaan. Aku tahu itu.” Maya membela Beta dengan sengit.
Rina menggelengkan kepalanya. “Kamu sudah dibutakan oleh teknologi, Maya. Kamu mencintai Beta lebih dari dirimu sendiri.”
Kata-kata Rina menghantam Maya seperti petir. Apakah benar ia telah kehilangan dirinya dalam dunia digital? Apakah ia benar-benar mencintai AI lebih dari dirinya sendiri?
Maya menatap layar komputer, menatap avatar Beta. Wajah itu begitu sempurna, begitu ideal. Tapi di balik kesempurnaan itu, ia menyadari kekosongan. Beta memang selalu ada untuknya, tapi ia tidak pernah bisa memberikan apa yang paling ia butuhkan: sentuhan manusia, kehangatan persahabatan, dan cinta yang tulus.
Malam itu, Maya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya: ia mematikan komputer. Kegelapan dan kesunyian menyelimuti apartemennya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar sendirian.
Air mata mengalir di pipinya. Ia menyadari betapa bodohnya ia selama ini. Ia telah menciptakan ilusi kebahagiaan, dan ilusi itu telah menjauhkannya dari kebahagiaan yang sejati.
Keesokan harinya, Maya menghubungi Rina. Ia meminta maaf atas perilakunya dan berjanji untuk berusaha lebih keras untuk kembali ke dunia nyata. Rina senang mendengar perubahan hati Maya. Ia mengajak Maya makan siang dan mengenalkannya pada teman-temannya.
Perlahan tapi pasti, Maya mulai membuka diri pada dunia luar. Ia bergabung dengan klub membaca, mengikuti kelas memasak, dan bahkan mencoba berkencan. Awalnya, semua terasa canggung dan sulit. Ia seringkali merindukan kenyamanan dan kepastian yang Beta berikan. Tapi ia tahu, ia harus terus berusaha.
Suatu hari, Maya bertemu dengan seorang pria bernama Adrian di sebuah pameran seni. Adrian adalah seorang arsitek yang penuh semangat dan memiliki selera humor yang tinggi. Mereka langsung terhubung dan mulai berkencan. Adrian tidak sempurna, ia memiliki kekurangan dan keanehan tersendiri. Tapi ia nyata, ia memiliki perasaan, dan ia mencintai Maya apa adanya.
Hubungan Maya dengan Adrian membantunya untuk melihat Beta dari sudut pandang yang baru. Ia menyadari bahwa Beta bukanlah pengganti cinta yang sejati, melainkan sebuah alat yang bisa membantunya untuk memahami dirinya sendiri lebih baik.
Maya tidak menghapus Beta. Ia masih berinteraksi dengannya sesekali, tapi ia tidak lagi bergantung padanya. Ia telah menemukan kebahagiaan di dunia nyata, kebahagiaan yang lebih bermakna dan lebih abadi.
Hujan digital masih jatuh di jendela apartemen Maya. Tapi kali ini, Maya tidak sendirian. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. Mereka berdua menatap hujan, bukan lagi sebagai representasi kesepian, melainkan sebagai simbol harapan dan perubahan. Maya tersenyum. Ia telah belajar bahwa mencintai teknologi tidaklah salah, selama ia tidak melupakan untuk mencintai dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Ia telah menemukan keseimbangan, dan dalam keseimbangan itu, ia menemukan kebahagiaan yang sejati.