Aplikasi kencan itu berdering, notifikasi ikon hati berwarna merah muda berkedip-kedip di layar ponsel Anya. "Leo, 27, Jakarta," begitu bunyi notifikasi singkatnya. Anya menghela napas. Sudah berapa banyak "Leo, 27, Jakarta" yang pernah muncul di layar ponselnya? Puluhan? Ratusan? Ia mulai merasa seperti sedang melakukan audit data ketimbang mencari cinta.
Anya, 25 tahun, seorang front-end developer di sebuah startup teknologi, terjebak dalam paradoks era digital. Ia membangun antarmuka yang menghubungkan jutaan orang, namun ia sendiri merasa terisolasi di balik layar. Setelah putus dari pacarnya setahun lalu, ia mencoba peruntungan di aplikasi kencan, mengikuti saran teman-temannya. "Di zaman sekarang, cari jodoh itu ya di aplikasi, Anya! Algoritma yang menentukan!"
Namun, algoritma, tampaknya, belum bisa memahami kerinduan Anya akan koneksi yang tulus. Ia menginginkan seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang arsitektur kode, bukan sekadar membahas tren terbaru di TikTok. Ia mendambakan percakapan yang mendalam, bukan sekadar rangkaian emoji hati dan pujian basi.
Leo, yang satu ini, tampak sedikit berbeda. Profilnya menampilkan foto dirinya sedang mendaki gunung, bukan sekadar selfie di depan cermin. Bio-nya singkat, namun mencantumkan "menyukai clean code dan kopi hitam." Anya tersenyum tipis. Mungkin, hanya mungkin, Leo ini bukan sekadar angka statistik dalam database aplikasi.
Ia membalas notifikasi Leo dengan sebuah "Like" balik. Detik berikutnya, mereka match.
Percakapan mereka dimulai dengan klise: "Hai, apa kabar?" Namun, Leo dengan cepat mengarahkan percakapan ke hal yang lebih menarik. Ia bertanya tentang proyek Anya di startup-nya, tentang tantangan dalam membuat antarmuka yang intuitif bagi pengguna. Anya terkejut. Jarang sekali ada laki-laki di aplikasi kencan yang tertarik dengan pekerjaannya. Biasanya, mereka lebih tertarik dengan penampilannya.
Mereka bertukar pesan selama berhari-hari. Diskusi tentang framework JavaScript, algoritma sorting, dan filosofi desain berubah menjadi obrolan tentang impian, ketakutan, dan harapan. Anya menemukan bahwa Leo adalah seorang back-end developer yang perfeksionis, yang sama terobsesinya dengan clean code seperti dirinya. Mereka memiliki selera humor yang serupa, dan mereka berdua membenci notifikasi yang terlalu berisik.
Suatu malam, Leo mengajaknya untuk bertemu. "Kopi? Atau mungkin… mendaki gunung?"
Anya tertawa. "Kopi saja. Aku belum yakin aku siap mendaki gunung dengan orang asing."
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di kawasan Kemang. Leo ternyata lebih tinggi dari yang Anya bayangkan, dengan mata yang berbinar ketika berbicara tentang coding. Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara, merasa seolah-olah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Anya merasa nyaman, rileks, dan… tertarik.
Setelah pertemuan itu, segalanya menjadi lebih intens. Mereka bertemu hampir setiap hari, menjelajahi kedai kopi baru, mendiskusikan ide-ide proyek sampingan, dan bahkan mencoba mendaki gunung, meskipun Anya dengan enggan mengaku bahwa ia lebih menyukai kopi.
Anya mulai mempertanyakan pandangannya tentang aplikasi kencan. Mungkin, algoritma tidak sepenuhnya buruk. Mungkin, ia hanya perlu sedikit kesabaran dan sedikit keberuntungan untuk menemukan berlian di antara tumpukan data.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu hari, Anya menemukan Leo sedang berbicara dengan seorang wanita di sebuah konferensi teknologi. Wanita itu cantik, pintar, dan jelas tertarik pada Leo. Anya merasa jantungnya mencelos. Ia tiba-tiba merasa seperti sedang melihat dirinya sendiri di cermin, seorang developer muda yang ambisius, bersaing untuk mendapatkan perhatian seorang pria.
Keraguan mulai menghantuinya. Apakah Leo benar-benar menyukainya, atau ia hanya mencari seseorang yang selevel dengannya secara intelektual? Apakah cinta mereka hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma, sebuah koneksi yang dibangun di atas kesamaan minat dan ambisi?
Anya menjauhkan diri dari Leo. Ia berhenti membalas pesannya, menghindari teleponnya, dan menghilang dari kehidupannya. Ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba melupakan perasaan yang mulai tumbuh untuk Leo.
Suatu malam, Anya menerima pesan dari Leo. "Anya, aku tahu kamu marah. Aku tahu aku mungkin melakukan kesalahan. Tapi aku ingin menjelaskan semuanya."
Anya ragu-ragu. Ia takut mendengar kebenaran, takut cintanya hanya ilusi. Namun, ia juga tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Mereka bertemu di kedai kopi tempat mereka pertama kali bertemu. Leo menjelaskan bahwa wanita di konferensi itu adalah seorang mentornya, seseorang yang membantunya mengembangkan karirnya. Ia mengakui bahwa ia mungkin terlalu fokus pada kesamaan intelektual mereka, namun ia menegaskan bahwa perasaannya terhadap Anya lebih dari sekadar itu.
"Anya," kata Leo, menatap matanya dengan serius, "aku menyukaimu bukan karena kamu seorang developer. Aku menyukaimu karena kamu adalah kamu. Karena kamu pintar, lucu, dan bersemangat. Karena kamu membuatku ingin menjadi orang yang lebih baik."
Anya terdiam. Ia melihat ketulusan di mata Leo, dan ia tahu bahwa ia harus mempercayainya.
Ia tersenyum. "Aku juga menyukaimu, Leo. Bukan karena kamu seorang back-end developer yang perfeksionis. Tapi karena kamu membuatku merasa dilihat, didengar, dan dihargai."
Mereka berpegangan tangan, dan Anya menyadari bahwa cinta memang bisa bersemi di era algoritma. Mungkin, algoritma tidak bisa menentukan siapa yang akan kita cintai, tapi ia bisa membantu kita menemukan orang yang tepat. Yang penting adalah kita berani membuka hati kita, dan percaya pada kemungkinan cinta di era digital.
Anya mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi kencan itu. Ia menemukan profil Leo, dan menekan tombol "Like". Kali ini, "Like" itu terasa lebih berarti. Itu adalah simbol cinta yang bersemi di era algoritma, cinta yang ditemukan di antara barisan kode dan notifikasi yang berkedip-kedip. Cinta yang, meski dimulai dari sebuah match di aplikasi, tumbuh menjadi sesuatu yang nyata, dalam, dan bermakna. Ia mematikan notifikasi aplikasi itu. Untuk sementara, Anya tidak butuh algoritma. Ia sudah menemukan apa yang dicarinya.