Jari-jarinya menari di atas layar ponsel, menggeser foto-foto profil yang terpampang di aplikasi “SoulMateConnect”. Senyumnya kecut. Sudah seminggu ia berlangganan fitur premium, namun belum ada satu pun percakapan yang benar-benar membuatnya tertarik. Semua terasa hambar, seperti kopi instan tanpa gula.
“Mungkin aku terlalu idealis,” gumam Anya, menyandarkan punggung ke kursi kerjanya. Kantor sudah sepi, hanya tersisa beberapa staf yang masih lembur. Ia sendiri sengaja berlama-lama di kantor, menghindari kesunyian apartemennya.
Anya, 27 tahun, seorang programmer handal di sebuah perusahaan startup teknologi. Otaknya dipenuhi kode-kode rumit dan algoritma cerdas. Namun, urusan hati, ia merasa seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Aplikasi kencan daring ini adalah upayanya yang ke sekian kali untuk menemukan cinta.
Tiba-tiba, notifikasi muncul. Sebuah profil baru dengan nama “Arjuna_VR” menyukai fotonya. Anya mengklik profil tersebut. Foto profil Arjuna menampilkan siluet pria dengan latar belakang matahari terbenam di pantai. Misterius. Deskripsi dirinya singkat, padat, dan membuat penasaran: "Mencari inspirasi dalam kode dan kehangatan dalam senyuman."
Anya tersenyum tipis. Ada sesuatu yang berbeda dari profil ini. Ia memutuskan untuk mengirim pesan: "Senja dan kode? Kombinasi yang menarik."
Tak lama, balasan datang: "Seperti halnya kamu dan aku. Mungkin."
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Arjuna ternyata seorang game developer yang sedang merancang virtual reality tentang kisah cinta di masa depan. Mereka berdua membahas tentang algoritma cinta, tentang bagaimana artificial intelligence dapat memprediksi kecocokan, dan tentang bahaya kehilangan sentuhan manusia dalam era digital.
Hari demi hari, mereka semakin dekat. Anya merasa seperti menemukan seseorang yang mengerti dirinya, bukan hanya sebagai programmer yang logis, tetapi juga sebagai perempuan yang merindukan kehangatan. Mereka berbagi cerita tentang masa kecil, mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan ketakutan-ketakutan yang selama ini dipendam.
Arjuna mengajak Anya berkencan secara virtual. Ia mengirimkan headset VR dan bersama-sama mereka menjelajahi dunia maya yang ia ciptakan. Mereka berjalan di pantai berpasir putih, mendaki gunung bersalju, dan bahkan menari di tengah keramaian kota futuristik. Anya merasa seolah-olah sedang berada di dunia lain, dunia di mana cinta terasa lebih nyata daripada di dunia nyata.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Anya belum pernah bertemu Arjuna secara langsung. Ia hanya mengenal suaranya yang menenangkan dan avatar dirinya di dunia maya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah cinta digital ini bisa bertahan di dunia nyata? Apakah Arjuna benar-benar ada, atau hanya sekadar fantasi yang ia ciptakan sendiri?
Keraguan itu semakin membesar ketika Arjuna selalu menolak untuk bertemu. Ia selalu beralasan sedang sibuk dengan proyek terbarunya dan belum memiliki waktu untuk bertemu. Anya merasa dipermainkan. Ia mulai mempertanyakan semua yang telah mereka bagikan.
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya langsung: "Arjuna, mengapa kamu tidak mau bertemu denganku? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"
Lama tak ada jawaban. Akhirnya, Arjuna membalas: "Anya, aku ingin jujur padamu. Aku...aku tidak seperti yang kamu bayangkan."
Jantung Anya berdegup kencang. Ia takut mendengar kebenaran.
"Aku...aku cacat fisik. Aku tidak ingin kamu kecewa melihatku."
Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa bodoh karena telah begitu mudah percaya pada dunia maya.
"Aku mengerti," jawab Anya dengan suara bergetar. "Mungkin ini memang terlalu indah untuk menjadi kenyataan."
Ia memutuskan untuk mengakhiri percakapan dan melepaskan headset VR-nya. Ia merasa hancur, seperti program yang mengalami error fatal.
Namun, sebelum ia sempat mematikan laptopnya, sebuah pesan baru masuk dari Arjuna: "Tunggu, Anya. Jangan pergi. Aku ingin kamu tahu sesuatu."
Anya ragu-ragu, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk membaca pesan tersebut.
"Anya, aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku mencintaimu. Aku mencintai kepintaranmu, humorisimu, dan kebaikan hatimu. Aku tidak ingin kehilanganmu karena ketakutanku."
Arjuna melanjutkan, "Aku memang cacat fisik, tetapi aku bukan monster. Aku hanya ingin dicintai apa adanya. Jika kamu bersedia menerima aku, aku akan dengan senang hati bertemu denganmu."
Anya terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia membayangkan Arjuna, bukan sebagai avatar tampan di dunia maya, tetapi sebagai seorang pria yang rapuh dan membutuhkan cinta.
Ia mengetik balasan: "Arjuna, aku...aku juga mencintaimu. Bukan karena penampilanmu, tetapi karena dirimu yang sebenarnya. Aku ingin bertemu denganmu."
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk menemui Arjuna di sebuah kafe yang telah mereka sepakati. Ia gugup, tetapi juga bersemangat. Ketika ia melihat Arjuna, ia terkejut. Arjuna duduk di kursi roda, tetapi matanya memancarkan kehangatan dan kecerdasan yang sama seperti yang ia rasakan di dunia maya.
Anya mendekat dan tersenyum. "Hai, Arjuna," sapanya.
Arjuna tersenyum lebar. "Hai, Anya. Akhirnya kita bertemu."
Mereka berdua tertawa. Suasana canggung mencair seketika. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara, saling mengenal lebih dalam. Anya menyadari bahwa cinta sejati tidak mengenal batas fisik dan digital. Cinta sejati adalah tentang menerima dan dicintai apa adanya.
Anya mengunduh aplikasi SoulMateConnect bukan untuk mencari kesempurnaan, melainkan untuk membuka hatinya pada kemungkinan. Dan ternyata, ia menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga. Cinta digital itu, kini, terinstal permanen di hatinya.