Hati yang di-Like: Cinta, Algoritma, dan Notifikasi Palsu?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:18:57 wib
Dibaca: 170 kali
Jemari Anya menari di atas layar sentuh, mengedit ulang profil kencan daringnya untuk kesekian kali. "Pecinta kopi, penikmat senja, dan penggemar coding." Terlalu klise. Ia menghapusnya, menggantinya dengan "Mencari seseorang untuk berdebat tentang syntax dan mendaki gunung di akhir pekan." Lebih baik, pikirnya, meskipun mungkin terlalu spesifik.

Anya adalah seorang programmer handal di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan aplikasi kecerdasan buatan untuk menemukan pasangan ideal. Ironisnya, ia sendiri masih berjuang menemukan jodohnya. Algoritma canggih yang ia bantu rancang berhasil menjodohkan ribuan orang, tetapi seolah-olah sistem itu buta terhadap dirinya sendiri.

Malam ini, ia terjebak dalam lingkaran tanpa akhir: geser ke kanan, geser ke kiri, melihat foto-foto orang asing yang hanya sebatas piksel di layar. Hatiku sepertinya sudah kebal terhadap harapan palsu, pikirnya sinis. Lalu, sebuah notifikasi muncul: "Kamu mendapat 'Like' baru!"

Jantung Anya berdegup kencang. Siapa gerangan yang tertarik dengan deskripsinya yang aneh itu? Ia mengklik profilnya dan matanya terbelalak. Namanya Rian, fotonya menampilkan senyum hangat dan mata yang berbinar. Deskripsinya singkat: "Menikmati hidup, menyelesaikan bug, dan selalu mencari petualangan baru." Anya merasa ada sesuatu yang berbeda.

Rian. Nama itu terus berputar di kepalanya. Ia membuka profilnya lagi, memperhatikan setiap detail kecil. Ia bekerja sebagai software engineer di perusahaan pesaing. Apakah ini sebuah kebetulan? Sebuah algoritma yang bekerja terlalu baik? Atau... sesuatu yang lain?

Tanpa pikir panjang, Anya membalas "Like" dari Rian. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan masuk: "Hai Anya! Aku suka deskripsimu. Syntax dan gunung terdengar menarik." Anya tersenyum. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, membahas tentang kompleksitas algoritma machine learning, mendiskusikan buku-buku fiksi ilmiah favorit mereka, dan berbagi pengalaman konyol saat mendaki gunung.

Hari-hari berikutnya, Anya dan Rian terus berkomunikasi. Mereka bertukar meme coding, berbagi playlist musik, dan saling memberi semangat saat menghadapi tenggat waktu yang ketat. Anya merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya, seseorang yang melihat lebih dari sekadar seorang programmer. Ia mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang indah.

Namun, di suatu malam yang sunyi, kebenaran pahit terungkap. Anya tidak sengaja menemukan sebuah bug di aplikasi kencan daring yang sedang ia kembangkan. Bug itu menghasilkan notifikasi "Like" palsu untuk mendorong pengguna agar lebih aktif. Semakin lama pengguna terpaku pada aplikasi, semakin besar kemungkinan mereka berlangganan fitur premium.

Perasaan Anya hancur berkeping-keping. Apakah "Like" dari Rian hanyalah hasil dari bug sialan itu? Apakah semua percakapan mereka, semua harapan yang ia bangun, hanyalah ilusi? Ia merasa bodoh, tertipu oleh teknologi yang seharusnya membantunya menemukan cinta.

Dengan berat hati, Anya memutuskan untuk menghadapi Rian. Ia mengirim pesan panjang lebar, menjelaskan tentang bug itu dan bagaimana ia merasa dikhianati. Ia menunggu balasan dengan jantung berdebar.

Akhirnya, pesan Rian muncul. "Anya," tulisnya, "Aku tahu tentang bug itu. Aku menemukannya sendiri beberapa hari yang lalu."

Anya tercengang. Mengapa Rian tidak memberitahunya?

"Aku tahu bahwa 'Like' pertamaku mungkin palsu," lanjut Rian, "Tapi percakapan kita, koneksi yang kita bangun, itu semua nyata. Aku tetap 'Like' profilmu, Anya. Karena aku benar-benar tertarik denganmu. Bug itu hanya mempertemukan kita. Selanjutnya, pilihan ada di tangan kita."

Anya membaca pesan itu berulang-ulang. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena kekecewaan, melainkan karena kelegaan dan harapan. Rian tahu tentang bug itu, namun ia tetap memilih untuk melanjutkan percakapan mereka. Ia melihat sesuatu dalam diri Anya yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma apa pun.

Anya membalas, "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa bodoh karena begitu mudah percaya."

"Jangan menyalahkan dirimu," balas Rian. "Kita semua mencari sesuatu. Terkadang, kita menemukan apa yang kita cari di tempat yang paling tidak terduga."

Setelah beberapa saat, Anya memutuskan untuk jujur. "Rian," tulisnya, "Maukah kamu... berkencan denganku?"

Beberapa detik kemudian, notifikasi muncul: "Rian membalas pesanmu: Tentu saja, Anya. Kapan dan di mana?"

Anya tersenyum. Mungkin algoritma itu tidak sempurna, mungkin notifikasi itu palsu, tetapi hati tidak bisa dibohongi. Di balik lapisan kode dan bug, di tengah labirin algoritma dan harapan palsu, cinta sejati bisa saja tumbuh. Dan kali ini, Anya percaya bahwa "Like" yang ia dapatkan benar-benar tulus, berasal dari hati yang juga mencari koneksi. Ia membalas pesan Rian, merencanakan kencan pertama mereka, sebuah permulaan baru yang dibangun di atas kejujuran dan harapan. Mungkin, pikir Anya, cinta memang membutuhkan sedikit keberanian, sedikit kepercayaan, dan sedikit keberuntungan. Dan mungkin, hanya mungkin, algoritma itu tidak sepenuhnya salah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI