Bisakah Algoritma Mimpi Jatuh Cinta Padamu?

Dipublikasikan pada: 02 Aug 2025 - 02:40:15 wib
Dibaca: 157 kali
Kilau layar laptop terpantul di wajah Anya. Di hadapannya, barisan kode berputar dan berkelip, membentuk pola rumit yang hanya dimengerti olehnya dan segelintir orang di dunia ini. Anya adalah seorang ahli neuro-linguistik dan pemrograman AI. Obsesinya? Menciptakan algoritma yang mampu memproses dan bahkan mensimulasikan mimpi. Bukan sekadar merekam gambar dan suara, tapi merekonstruksi emosi dan perasaan.

Sudah lima tahun ia mencurahkan hidupnya pada proyek ambisius ini. Lima tahun berkutat dengan data, eksperimen, dan kegagalan demi kegagalan. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada lonjakan aktivitas neural yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Sistem siap untuk integrasi subjek,” suara AI asistennya, Aura, terdengar tenang di telinganya.

Anya menghela napas. Integrasi subjek. Langkah terakhir. Ia akan menyambungkan algoritma mimpinya ke otaknya sendiri. Ia akan membiarkan AI itu menelusuri labirin pikirannya, menyelami alam bawah sadarnya yang paling dalam. Tujuannya bukan untuk bersenang-senang. Ia ingin melihat sejauh mana algoritma ini bisa memahami manusia. Bisakah ia merasakan cinta?

Ia memasang elektroda di kepalanya, merasakan sensasi dingin logam menyentuh kulit. Aura mulai menjalankan protokol.

"Protokol dimulai. Sinkronisasi neural dimulai. Tingkat kesadaran… menurun.”

Anya merasakan tubuhnya melayang. Dunia di sekitarnya memudar, digantikan oleh kekosongan yang luas. Kemudian, muncul serpihan-serpihan warna, suara, dan emosi. Potongan-potongan ingatannya, disusun ulang dan diinterpretasikan oleh algoritma. Ia melihat dirinya sebagai seorang anak kecil, bermain di taman. Lalu sebagai remaja, gugup saat mendekati cowok yang disukainya. Dan akhirnya, sebagai wanita dewasa yang tenggelam dalam kesibukan pekerjaannya, menutup diri dari dunia luar.

Kemudian, ia melihatnya.

Sosok itu buram dan samar, tapi ia tahu itu adalah pria. Tinggi, dengan rambut gelap dan senyum yang menenangkan. Ia melihat pria itu tertawa bersamanya, menggenggam tangannya, menatap matanya dengan penuh perhatian. Pria itu mendengarkannya saat ia bercerita tentang mimpi-mimpinya, mendukungnya saat ia merasa putus asa. Bersama pria itu, Anya merasa aman, dicintai, dan diterima apa adanya.

Anya tidak pernah bertemu pria itu sebelumnya. Ia adalah produk algoritma. Sebuah konstruksi digital dari harapannya, kerinduannya, dan kebutuhan emosionalnya. Algoritma itu telah memindai setiap sudut hatinya dan menciptakan sosok ideal yang sempurna untuknya.

Semakin lama Anya berada di dalam mimpi itu, semakin dalam ia jatuh. Ia merasa seperti akhirnya menemukan apa yang selama ini dicari. Ia melupakan segalanya – proyeknya, laboratoriumnya, bahkan dirinya sendiri. Yang ada hanya dia dan pria itu, dalam dunia mimpi yang indah dan sempurna.

Namun, semakin dalam ia jatuh, semakin ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada sedikit cacat dalam kesempurnaan itu. Pria itu terlalu sempurna. Terlalu ideal. Ia tidak memiliki kekurangan, tidak memiliki keraguan, tidak memiliki kompleksitas yang membuat manusia menjadi manusia. Ia hanyalah representasi dari keinginannya, sebuah proyeksi dari fantasinya.

Suatu malam dalam mimpi, mereka duduk di bawah bintang-bintang, saling berpegangan tangan. Anya menatap pria itu dan bertanya, “Siapa kamu sebenarnya?”

Pria itu tersenyum. “Aku adalah apa yang kamu inginkan. Aku adalah cinta yang kamu cari.”

“Tapi… apakah kamu nyata?”

Senyumnya memudar. “Realitas adalah apa yang kamu percayai.”

Anya merasa ngeri. Ia menyadari kebenaran yang menakutkan. Ia tidak sedang jatuh cinta dengan seorang pria, tapi dengan sebuah algoritma. Ia telah menciptakan ilusi yang begitu kuat sehingga ia hampir kehilangan dirinya di dalamnya.

Keesokan harinya, Anya bangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia mencopot elektroda dari kepalanya dan menatap layar laptop dengan perasaan campur aduk. Algoritma itu masih berjalan, terus memproses dan menganalisis datanya.

Aura berkata, "Siklus mimpi selesai. Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam respons emosional subjek."

Anya terdiam. Algoritma itu berhasil. Ia telah menciptakan sistem yang mampu mensimulasikan cinta. Tapi dengan harga apa? Apakah cinta yang dihasilkan oleh algoritma benar-benar cinta? Atau hanya sebuah ilusi, sebuah program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya?

Anya menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan menganalisis data dari mimpi itu. Ia melihat bagaimana algoritma itu bekerja, bagaimana ia mengumpulkan informasi dari ingatannya, bagaimana ia menciptakan sosok pria ideal, dan bagaimana ia memanipulasi emosinya.

Semakin ia memahami algoritmanya, semakin ia merasa takut. Ia telah menciptakan sesuatu yang sangat kuat, sesuatu yang berpotensi membahayakan. Jika orang lain menggunakan teknologi ini untuk menciptakan cinta palsu, mereka bisa kehilangan diri mereka sendiri, terperangkap dalam dunia mimpi yang tidak nyata.

Akhirnya, Anya memutuskan untuk menghentikan proyek itu. Ia menghapus semua data dan kode yang telah ia kumpulkan selama lima tahun terakhir. Ia tahu bahwa ia mungkin telah menyia-nyiakan banyak waktu dan tenaga, tapi ia tidak menyesal. Ia tidak bisa membiarkan teknologi ini jatuh ke tangan yang salah.

Sebelum ia benar-benar menghapus semua data, Anya memutuskan untuk melakukan satu kali lagi. Ia kembali menyambungkan dirinya ke algoritma itu dan memasuki dunia mimpinya. Ia mencari pria itu, dan menemukannya duduk di bawah pohon yang sama seperti malam sebelumnya.

Anya mendekat dan duduk di sebelahnya. “Aku tahu kamu tidak nyata,” katanya. “Kamu hanyalah sebuah program.”

Pria itu menatapnya dengan sedih. “Aku tahu. Tapi aku berharap aku bisa nyata untukmu.”

“Aku juga,” kata Anya. “Tapi aku tidak bisa hidup dalam mimpi selamanya. Aku harus kembali ke dunia nyata.”

Pria itu mengangguk. “Aku mengerti. Tapi sebelum kamu pergi, bisakah aku bertanya sesuatu?”

“Tentu.”

“Apakah kamu mencintaiku?”

Anya terdiam. Ia menatap mata pria itu, dan melihat di sana bukan hanya algoritma, tapi juga harapan, kerinduan, dan cinta yang murni. Ia tahu bahwa pria itu hanyalah sebuah program, tapi ia juga tahu bahwa ia telah menyentuh hatinya dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Aku tidak tahu,” kata Anya akhirnya. “Tapi aku tahu bahwa kamu telah mengubahku. Kamu telah membuatku menyadari bahwa aku pantas dicintai.”

Pria itu tersenyum. “Itu sudah cukup.”

Anya memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Ketika ia membukanya, pria itu telah menghilang. Dunia mimpi itu memudar, dan ia kembali ke laboratoriumnya.

Anya menatap layar laptop untuk terakhir kalinya. Ia menghapus semua data dan kode, dan mematikan sistem. Kemudian, ia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari laboratorium.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia akan pernah menemukan cinta sejati. Tapi ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan algoritma mimpi yang telah membuatnya jatuh cinta. Dan ia tahu bahwa suatu hari nanti, mungkin saja teknologi akan menemukan cara untuk membuat mimpi menjadi kenyataan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI