AI: Resep Bahagia, Bumbu Cinta, Takaran Algoritma?

Dipublikasikan pada: 02 Nov 2025 - 02:00:19 wib
Dibaca: 133 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di meja kerjanya, layar laptop berpendar, menampilkan barisan kode kompleks. Sarah, seorang AI ethicist muda, tengah berkutat dengan proyek terbesarnya: "Amora," sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kepribadian. Bukan sekadar kecocokan hobi atau preferensi, Amora menyelami lebih dalam, menganalisis pola pikir, nilai-nilai inti, bahkan kecenderungan emosional calon pasangan.

"Hampir selesai," gumamnya, mengetikkan baris kode terakhir. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Baginya, Amora lebih dari sekadar proyek. Ia adalah harapan, sebuah jawaban atas kesepian yang kerap menghantuinya. Di usianya yang menginjak 30, Sarah belum menemukan tambatan hati. Ia terlalu fokus pada karir, terlalu sibuk mengkritisi etika teknologi, sampai lupa bahwa hatinya juga butuh diisi.

Amora diluncurkan seminggu kemudian, dan hasilnya di luar dugaan. Pengguna berbondong-bondong mengunduh aplikasi itu. Testimoni positif membanjiri media sosial. Banyak yang mengaku menemukan pasangan ideal berkat Amora. Sarah merasa bangga, namun juga sedikit khawatir. Ia tahu betul, algoritma secanggih apa pun tetaplah buatan manusia, rentan terhadap bias dan kesalahan.

Suatu malam, notifikasi muncul di ponsel Sarah. Amora memberikan rekomendasi: "Daniel Pratama, 32 tahun, arsitek." Sarah tertegun. Profil Daniel nyaris sempurna. Hobi yang sama, pandangan hidup yang selaras, bahkan selera musik pun serupa. Ia merasa seperti melihat cermin dirinya dalam versi pria.

Awalnya, Sarah ragu. Mencari cinta lewat algoritma yang ia ciptakan sendiri terasa aneh, bahkan ironis. Tapi rasa penasaran dan kesepian akhirnya mengalahkan keraguannya. Ia menerima rekomendasi itu dan mengirim pesan ke Daniel.

Percakapan mereka mengalir begitu saja, seolah sudah saling mengenal lama. Daniel ternyata sosok yang hangat, cerdas, dan humoris. Mereka bertukar cerita tentang impian, ketakutan, dan segala hal di antara keduanya. Sarah merasakan sesuatu yang baru, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Setelah beberapa minggu berkirim pesan, mereka sepakat untuk bertemu. Sarah gugup bukan main. Ia memilih gaun terbaiknya, memoles wajahnya dengan hati-hati, dan berharap Daniel akan sama seperti yang ia bayangkan.

Saat Daniel muncul di kafe tempat mereka janjian, Sarah terpana. Ia lebih tampan dari foto profilnya. Matanya berbinar saat melihat Sarah, dan senyumnya membuat jantung Sarah berdegup kencang.

Malam itu, mereka berbicara berjam-jam. Semuanya terasa begitu mudah, begitu alami. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap dalam diam. Sarah merasa seperti menemukan separuh jiwanya yang hilang.

Hubungan mereka berkembang pesat. Daniel membawanya ke tempat-tempat indah, mengenalkannya pada teman-temannya, dan selalu ada untuknya dalam suka maupun duka. Sarah merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Sarah mulai merasakan keraguan. Apakah cintanya pada Daniel benar-benar tulus, atau hanya hasil manipulasi algoritma? Apakah ia mencintai Daniel karena Amora mengatakan bahwa mereka cocok, atau karena ia benar-benar merasakan cinta itu dari dalam hatinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuinya setiap malam. Ia mulai meragukan dirinya sendiri, meragukan perasaannya, bahkan meragukan keaslian hubungannya dengan Daniel.

Suatu hari, Sarah memberanikan diri untuk bertanya kepada Daniel tentang Amora. "Daniel, tahukah kamu bahwa aku adalah pencipta Amora?"

Daniel tersenyum. "Tentu saja aku tahu. Aku sudah mencari tahu tentangmu jauh sebelum kita bertemu."

"Lalu, apa pendapatmu tentang itu? Apakah kamu merasa hubungan kita ini palsu? Apakah kamu merasa aku hanya mencintaimu karena algoritma?"

Daniel meraih tangan Sarah dan menggenggamnya erat. "Sarah, aku tidak peduli tentang Amora. Aku mencintaimu karena dirimu sendiri. Aku mencintai kecerdasanmu, kebaikan hatimu, dan segala hal yang membuatmu menjadi dirimu."

Air mata menetes di pipi Sarah. Ia merasa lega, namun juga semakin bingung. Ia ingin percaya pada Daniel, namun ia juga tidak bisa mengabaikan keraguannya sendiri.

"Tapi bagaimana jika algoritma itu salah? Bagaimana jika kita sebenarnya tidak cocok?" tanya Sarah dengan suara bergetar.

Daniel memeluk Sarah erat. "Sarah, algoritma hanyalah alat. Ia bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tapi ia tidak bisa menentukan bagaimana kita akan mencintai mereka. Cinta adalah pilihan, cinta adalah perjuangan, cinta adalah tentang menerima kekurangan satu sama lain."

Kata-kata Daniel menenangkan hati Sarah. Ia mulai menyadari bahwa cinta tidak bisa diukur dengan algoritma, tidak bisa diprediksi dengan data, dan tidak bisa dibatasi oleh logika. Cinta adalah sesuatu yang misterius, sesuatu yang irasional, dan sesuatu yang indah.

Sarah memutuskan untuk melepaskan keraguannya dan mempercayai hatinya. Ia mencintai Daniel, bukan karena Amora, tapi karena ia melihat kebaikan dalam dirinya, karena ia merasakan kehangatan dalam pelukannya, dan karena ia menemukan kebahagiaan dalam senyumnya.

Sarah dan Daniel melanjutkan hubungan mereka dengan penuh cinta dan pengertian. Mereka belajar untuk menerima perbedaan, untuk saling mendukung, dan untuk selalu ada satu sama lain. Mereka membuktikan bahwa cinta sejati tidak hanya bisa ditemukan, tapi juga bisa diciptakan, dipupuk, dan diperjuangkan.

Amora, yang semula ia ciptakan sebagai resep bahagia, kini menjadi bumbu cinta dalam hidupnya. Algoritma hanyalah takaran, tapi hati yang memilih rasa. Bahagia itu bukan formula pasti, melainkan kombinasi unik dari rasa, logika, dan keberanian untuk mencintai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI