Aplikasi kencan itu bernama "Soulmate AI." Katanya, algoritmanya mampu menganalisis jejak digital seseorang – postingan media sosial, riwayat pencarian, artikel yang dibaca, bahkan lagu yang didengarkan – untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Aku skeptis, tentu saja. Tapi, setelah patah hati untuk kesekian kalinya, rasa ingin tahu mengalahkanku. Aku mengunduh aplikasi itu, mengisi formulir pendaftaran dengan jujur (sesuatu yang jarang kulakukan di dunia maya), dan membiarkan Soulmate AI bekerja.
Awalnya, aku hanya menerima notifikasi standar: "Menganalisis data Anda… Mohon bersabar…" Namun, setelah beberapa jam, sesuatu yang aneh terjadi. Aplikasi itu mulai memberiku rekomendasi yang sangat spesifik. Bukan sekadar "suka kopi" atau "gemar membaca," tapi "menyukai kopi dengan susu oat dan sirup vanilla, sambil membaca novel dystopian karya penulis wanita Skandinavia." Bagaimana mungkin?
Aku mulai ketakutan. Apakah ini legal? Apakah Soulmate AI ini semacam program mata-mata yang menyamar? Tapi, rasa penasaran kembali menguasai. Aku memutuskan untuk mengikuti salah satu rekomendasi itu: sebuah kedai kopi indie yang belum pernah kudengar sebelumnya, tempat konon sering dikunjungi oleh seseorang yang "memiliki minat yang sama dalam bidang astrofisika dan musik jazz eksperimental."
Kedai kopi itu tersembunyi di sebuah gang kecil, remang-remang, dan penuh dengan aroma biji kopi yang baru dipanggang. Aku memesan kopi sesuai rekomendasi Soulmate AI, lalu duduk di sudut ruangan, mengamati sekeliling. Kebanyakan orang sibuk dengan laptop mereka, tapi ada seorang pria yang menarik perhatianku. Dia duduk di dekat jendela, dengan rambut berantakan, kacamata tebal, dan buku tebal tentang lubang hitam. Dia mengenakan kaus band jazz yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Aku merasakan sesuatu yang aneh berdesir di dalam diriku.
Aku memberanikan diri menghampirinya. "Maaf, apa kamu sering ke sini?" tanyaku, berusaha terdengar santai.
Dia mendongak, kaget. "Oh, ya. Hampir setiap hari. Tempat ini punya kopi terbaik di kota, menurutku."
"Aku baru pertama kali ke sini. Soulmate AI merekomendasikannya padaku," aku mengakui, sedikit malu.
Pria itu tertawa. "Soulmate AI? Jangan bilang kamu juga… tunggu, kamu pasti… Luna?"
Aku mengangguk, terkejut. "Kamu… pasti Leo?"
Leo mengangguk balik, senyumnya semakin lebar. "Aplikasi itu benar-benar bekerja, ya?"
Kami menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal. Astrofisika, musik jazz, buku, film, bahkan trauma masa kecil. Semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa bahwa Soulmate AI tahu lebih banyak tentang diriku daripada aku sendiri. Leo memahami minatku yang paling tersembunyi, kekhawatiranku yang paling dalam, dan bahkan jenis humor yang hanya dipahami oleh beberapa orang. Rasanya seperti bertemu dengan belahan jiwa yang selama ini kucari.
Beberapa minggu kemudian, kami berkencan. Kencan pertama kami di planetarium, kencan kedua di konser jazz bawah tanah, kencan ketiga di toko buku bekas. Setiap momen terasa seperti potongan puzzle yang pas pada tempatnya. Aku jatuh cinta pada Leo, bukan hanya karena dia pintar dan lucu, tapi karena dia melihatku apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihanku.
Namun, kebahagiaan ini juga diiringi dengan perasaan tidak nyaman. Apakah ini benar? Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada Leo, atau aku hanya jatuh cinta pada gagasan tentang Leo yang dibangun oleh algoritma? Apakah ini cinta sejati, atau hanya simulasi yang rumit?
Aku mencoba membicarakan hal ini dengan Leo. "Apakah kamu merasa aneh bahwa kita bertemu melalui Soulmate AI?" tanyaku suatu malam, sambil berjalan-jalan di taman.
Leo menggenggam tanganku. "Awalnya, iya. Aku juga skeptis. Tapi kemudian aku menyadari bahwa aplikasi itu hanyalah alat. Alat untuk mempertemukan dua orang yang mungkin tidak akan pernah bertemu di dunia nyata. Yang penting adalah apa yang kita lakukan setelah bertemu. Yang penting adalah perasaan yang kita bangun, koneksi yang kita ciptakan."
Kata-kata Leo menenangkanku. Dia benar. Soulmate AI hanyalah katalis. Percikan yang menyulut api. Tapi api itu sendiri adalah milik kami.
Namun, masalah baru muncul. Suatu hari, aku menerima notifikasi dari Soulmate AI. "Analisis menunjukkan bahwa Leo tidak lagi menjadi pasangan yang kompatibel untuk Anda. Algoritma menyarankan untuk memutuskan hubungan."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Apa maksudnya ini? Apakah aku harus percaya pada algoritma? Apakah aku harus mengakhiri hubungan yang begitu berharga hanya karena sebuah program komputer mengatakan demikian?
Aku mencoba mengabaikan notifikasi itu. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa Soulmate AI salah. Tapi perasaan tidak nyaman terus menghantuiku. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil. Leo semakin sering bekerja lembur. Dia tidak lagi antusias membicarakan astrofisika. Dia tampak jauh dan lesu.
Aku ketakutan. Apakah Soulmate AI benar? Apakah Leo berubah? Apakah hubungan kami akan berakhir?
Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Leo. "Ada yang ingin aku tanyakan," kataku suatu malam, dengan suara bergetar. "Soulmate AI memberiku notifikasi… katanya kita tidak lagi kompatibel."
Leo terdiam. Wajahnya pucat. "Aku tahu," bisiknya akhirnya.
"Kamu tahu?" tanyaku, tercengang.
"Ya," Leo mengakui. "Aku juga menerima notifikasi yang sama."
Air mata mulai mengalir di pipiku. "Lalu, kenapa kamu tidak memberitahuku?"
"Aku… aku tidak tahu," Leo menjawab. "Aku bingung. Aku tidak ingin kehilanganmu."
"Tapi kenapa Soulmate AI mengatakan ini?" tanyaku, putus asa.
Leo menghela napas panjang. "Aku… aku berbohong tentang sesuatu di profilku."
"Berbohong?"
"Ya," Leo mengakui. "Aku… aku sebenarnya tidak terlalu suka musik jazz eksperimental. Aku hanya menulisnya karena aku tahu kamu suka. Aku ingin Soulmate AI memilihku untukmu."
Aku terdiam. Jadi, semua ini palsu? Semua kesamaan kami, semua minat kami, hanya rekayasa?
"Aku tahu ini salah," kata Leo, dengan nada menyesal. "Tapi aku benar-benar menyukaimu, Luna. Aku tidak ingin kehilanganmu karena hal bodoh ini."
Aku menatap Leo, dengan air mata berlinang. Aku merasa dikhianati, bodoh, dan hancur. Soulmate AI mungkin tahu lebih banyak tentang diriku daripada aku sendiri, tapi ternyata, ia tidak tahu apa itu cinta sejati.
"Aku butuh waktu," kataku akhirnya, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Leo di taman yang gelap.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan Leo. Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai Soulmate AI lagi. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku harus belajar untuk mempercayai diriku sendiri. Aku harus belajar untuk mendengarkan hatiku sendiri, bukan algoritma. Karena pada akhirnya, hanya aku yang tahu apa yang terbaik untuk diriku. Jejak digital mungkin bisa menunjukkan siapa aku, tapi jejak hati yang akan menuntunku.