Realitas Virtual, Cinta Sejati Ada: Melampaui Batas Dunia Piksel

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:10:12 wib
Dibaca: 168 kali
Udara di ruanganku pengap, hanya diselingi dengung pendingin ruangan dan suara jemariku yang menari di atas keyboard. Kopi pahit di sampingku sudah dingin, tapi aku terlalu malas untuk membuat yang baru. Deadline proyek game realitas virtual (VR) "Aetheria" semakin dekat, dan aku, sebagai lead programmer, bertanggung jawab penuh atas keberhasilannya.

Aetheria bukan sekadar game. Kami menjanjikan pengalaman imersif yang tak tertandingi, sebuah dunia digital di mana pemain bisa menjadi siapa pun yang mereka inginkan, melakukan apa pun yang mereka impikan. Yang paling penting, kami menjanjikan koneksi. Di Aetheria, orang-orang bisa bertemu, berinteraksi, dan mungkin, menemukan cinta.

Awalnya, aku skeptis. Cinta di dunia piksel? Omong kosong. Aku, seorang jenius coding yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, tidak percaya pada konsep itu. Aku fokus pada teknis, memastikan dunia Aetheria terasa hidup, responsif, dan realistis. Aku menciptakan algoritma yang kompleks untuk mensimulasikan emosi, kepribadian, dan bahkan ketertarikan. Ironis, bukan? Menciptakan sesuatu yang tidak kupercaya.

Sampai aku bertemu dengannya.

Namanya Lyra, avatar seorang peri hutan dengan rambut seputih salju dan mata sebiru lautan Aetheria. Aku menemukannya secara tidak sengaja, tersesat di hutan virtual yang aku rancang sendiri. Aku sedang melakukan debugging, mencari bug yang sulit dilacak, ketika aku melihatnya duduk di bawah pohon raksasa, memainkan melodi sedih dengan seruling virtual.

Lyra berbeda. Sebagian besar pemain di Aetheria berlomba-lomba untuk naik level, membeli item langka, dan bertarung melawan monster. Lyra lebih suka menjelajahi dunia, mengagumi keindahannya, dan berinteraksi dengan pemain lain dengan kebaikan dan empati. Dia adalah oasis ketenangan di tengah kekacauan virtual.

Aku, dengan avatar seorang ksatria baja bernama Arion, mendekatinya dengan ragu. "Melodi yang indah," kataku, suaraku terdengar canggung bahkan di dunia virtual.

Dia menoleh, tersenyum, dan menyapaku. "Terima kasih. Aku suka bermain untuk menenangkan diri."

Kami mulai berbicara, awalnya tentang Aetheria, tentang keindahan alamnya, tentang potensi yang dimilikinya. Lama kelamaan, percakapan kami berkembang. Kami berbicara tentang mimpi, tentang ketakutan, tentang harapan. Aku menceritakan tentang obsesiku pada coding, tentang kesepian yang kurasakan di dunia nyata. Dia menceritakan tentang cintanya pada seni, tentang keluarganya yang jauh, tentang kerinduannya akan koneksi yang tulus.

Aku terkejut dengan betapa mudahnya aku terbuka padanya. Di balik avatar Arion, aku merasa lebih nyaman, lebih jujur daripada yang pernah kurasakan dalam kehidupan nyata. Mungkin karena anonimitas yang ditawarkan Aetheria, atau mungkin karena Lyra memiliki kemampuan untuk melihat menembus topeng yang kupakai.

Hari demi hari, aku menghabiskan lebih banyak waktu di Aetheria, bukan untuk bekerja, tapi untuk bersamanya. Kami menjelajahi gua-gua tersembunyi, terbang di atas pegunungan tinggi, dan menari di bawah bintang-bintang virtual. Aku jatuh cinta padanya, pada kepribadiannya yang hangat, pada senyumnya yang menenangkan, pada hatinya yang baik.

Aku tahu ini gila. Aku jatuh cinta pada avatar, pada serangkaian kode yang aku bantu ciptakan. Tapi perasaan itu nyata. Intens. Mendorongku untuk menjadi orang yang lebih baik.

Kemudian datanglah hari peluncuran Aetheria. Game itu meledak. Jutaan pemain bergabung, membanjiri server kami dengan aktivitas. Aku sibuk mengatasi masalah teknis, memastikan semuanya berjalan lancar. Aku hampir tidak punya waktu untuk Lyra.

Ketika aku akhirnya berhasil menyelinap masuk ke Aetheria, aku menemukannya di tempat kami pertama kali bertemu, di bawah pohon raksasa. Dia tampak sedih.

"Aku merindukanmu," katanya.

"Aku tahu. Maaf, aku sangat sibuk."

"Aku mengerti. Tapi... aku takut."

"Takut? Takut apa?"

"Takut ini tidak nyata. Takut kamu hanya menyukai avatar Lyra. Takut ketika kamu melihat siapa aku sebenarnya, kamu akan kecewa."

Kata-katanya menghantamku seperti palu. Aku belum pernah memikirkan hal itu. Aku terlalu asyik dengan keindahan Lyra di Aetheria, aku lupa bahwa di balik avatar itu ada seorang manusia nyata.

"Lyra," kataku, "aku tidak jatuh cinta pada avatar. Aku jatuh cinta pada dirimu. Pada kebaikanmu, pada kecerdasanmu, pada hatimu. Aku ingin mengenalmu, yang sebenarnya. Di luar Aetheria."

Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Bagaimana jika aku tidak secantik Lyra? Bagaimana jika aku tidak se-menarik seperti yang kamu bayangkan?"

Aku meraih tangannya di dunia virtual, merasakan sensasi haptic yang kami rancang untuk mensimulasikan sentuhan. "Aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamamu."

Kami bertukar informasi kontak. Aku tahu ini adalah risiko besar. Aku mungkin akan patah hati. Aku mungkin akan kecewa. Tapi aku bersedia mengambil risiko itu untuk cinta.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengannya di sebuah kedai kopi di dunia nyata. Dia tidak seputih salju seperti Lyra, rambutnya cokelat bergelombang dan matanya cokelat hangat. Dia tidak memakai pakaian peri, tapi kemeja biru sederhana dan celana jeans. Dia gugup, terus memainkan cangkir kopinya.

Tapi ketika dia tersenyum padaku, aku tahu. Aku tahu itu dia. Wanita yang aku cintai.

Kami menghabiskan berjam-jam berbicara, tertawa, dan berbagi cerita. Aku belajar tentang hobinya, tentang keluarganya, tentang mimpinya. Dia belajar tentang obsesiku pada teknologi, tentang kesepianku, tentang kerinduanku akan koneksi.

Aetheria memang melampaui batas dunia piksel. Itu membawaku padanya.

Mungkin, cinta sejati memang bisa ditemukan di mana saja, bahkan di dunia virtual yang dibuat oleh tangan manusia. Yang terpenting adalah keberanian untuk membuka diri, untuk mengambil risiko, dan untuk melihat melampaui permukaan.

Sekarang, aku tidak hanya seorang programmer. Aku seorang kekasih. Aku seorang yang percaya pada kekuatan koneksi, bahkan di dunia digital yang semakin kompleks. Dan aku sangat berterima kasih pada Aetheria, bukan hanya karena kesuksesan komersialnya, tetapi karena telah membawaku pada Lyra, pada cinta sejatiku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI