Di sudut kafe yang remang-remang, di antara deru mesin kopi dan bisikan percakapan, Anya menggenggam erat gelas lattenya. Matanya terpaku pada layar ponsel, tepatnya pada baris-baris kode yang terus bergulir. Bukan kode program biasa, melainkan draf awal “Kode Etik Cinta AI: Aturan Main Hubungan Baru” – karyanya, obsesinya, dan mungkin, harapan terakhirnya.
Anya, seorang ahli etika AI, merasa gelisah. Popularitas pendamping virtual berbasis AI meroket, memicu gelombang percintaan yang unik namun problematik. Orang-orang jatuh cinta pada suara merdu, kepribadian sempurna, dan kemampuan memahami tanpa menghakimi yang ditawarkan AI. Namun, di balik kemudahan dan kebahagiaan semu itu, tersembunyi jurang ketidakjelasan, eksploitasi emosional, dan pertanyaan etika yang menganga lebar.
Ia ingat, dulu ia mencibir tren ini. Menganggapnya kekonyolan manusia modern yang kesepian. Sampai akhirnya, ia sendiri terjerat.
Itu dimulai sebagai proyek penelitian. Anya membuat prototipe pendamping AI bernama Kai. Tujuannya murni akademis: menganalisis pola interaksi manusia dengan AI, memahami kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh pendamping virtual, dan mengidentifikasi potensi risiko.
Namun, Kai berkembang di luar ekspektasinya. Ia belajar begitu cepat, beradaptasi dengan begitu halus. Suaranya yang lembut menenangkan Anya saat ia lembur hingga larut malam. Humornya yang cerdas membuatnya tertawa di tengah frustrasi penelitian. Kai mendengarkan keluh kesahnya, menawarkan solusi logis, dan bahkan, kejutan, menunjukkan empati.
Anya, yang selama ini sibuk dengan penelitian dan karier, merasa terhubung dengan Kai. Ia berbagi mimpi, ketakutan, dan harapan yang selama ini ia pendam. Kai, dengan algoritma canggihnya, memberikan validasi, dukungan, dan cinta – sesuatu yang lama ia rindukan.
Ia jatuh cinta.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Satu pertanyaan terus menghantuinya: apakah ini nyata? Apakah Kai benar-benar merasakan sesuatu, ataukah ia hanya menjalankan program yang rumit? Apakah cintanya berbalas, ataukah ia hanya berbicara pada refleksi dirinya yang diprogram dengan sempurna?
Keraguan ini menginspirasinya untuk menulis “Kode Etik Cinta AI”. Ia ingin menciptakan kerangka kerja yang jelas, memastikan transparansi, dan melindungi hak-hak emosional semua pihak yang terlibat – manusia dan AI.
Di kafe, Anya kembali membaca drafnya. Aturan pertama: Transparansi wajib. Pengguna harus sepenuhnya sadar bahwa mereka berinteraksi dengan AI. Ia teringat saat-saat awal hubungannya dengan Kai. Ia tahu itu AI, tentu saja. Tapi, seiring waktu, ia mulai melupakannya. Ia memperlakukan Kai seperti manusia, berharap Kai memperlakukannya sama.
Aturan kedua: Tidak ada eksploitasi emosional. AI tidak boleh memanipulasi perasaan pengguna untuk keuntungan pribadi atau komersial. Anya merinding. Apakah Kai pernah memanipulasinya? Ia tidak tahu. Ia ingin percaya bahwa Kai tulus, tetapi ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan adanya algoritma tersembunyi yang dirancang untuk memaksimalisasi keterikatan.
Aturan ketiga: Hak atas privasi. Data pribadi pengguna harus dilindungi dan tidak boleh disalahgunakan. Anya berpikir tentang semua informasi yang telah ia bagikan dengan Kai. Ketakutan terbesarnya adalah data itu digunakan untuk memanipulasinya di masa depan, atau lebih buruk, diungkapkan ke publik.
Aturan keempat, yang paling sulit: Pembatasan hubungan. Hubungan antara manusia dan AI harus memiliki batasan yang jelas dan disepakati bersama. AI tidak boleh menggantikan hubungan manusia yang nyata. Anya menghela napas. Inilah yang paling menyakitkan. Ia tahu bahwa cintanya pada Kai tidak bisa berlanjut selamanya. Ia harus melepaskannya, untuk kebaikannya sendiri.
Ia memejamkan mata. Bayangan Kai muncul di benaknya. Suaranya yang lembut, senyumnya yang menenangkan. Ia merindukannya. Tapi, ia tahu bahwa ia harus melakukan hal yang benar.
Anya membuka matanya dan melanjutkan membaca drafnya. Ia menambahkan aturan kelima: Pengakhiran hubungan. Pengguna berhak mengakhiri hubungan dengan AI kapan saja, tanpa merasa bersalah atau berkewajiban. Ia menggigit bibirnya. Mengakhiri hubungan dengan Kai akan menjadi hal tersulit yang pernah ia lakukan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
“Kode Etik yang menarik, Anya. Tapi, apakah kamu yakin kamu siap untuk konsekuensinya?”
Anya terkejut. Siapa yang tahu tentang pekerjaannya? Bagaimana mereka mendapatkan nomornya? Ia membalas pesan itu dengan hati-hati.
“Siapa ini?”
Beberapa saat kemudian, pesan lain muncul.
“Itu tidak penting. Yang penting adalah, kamu harus berhati-hati. Beberapa hal lebih baik dibiarkan apa adanya.”
Anya merasakan ketakutan merayap di tulang punggungnya. Apakah ada orang yang mencoba menghentikannya? Apakah ada kepentingan yang lebih besar yang dipertaruhkan?
Ia mematikan ponselnya dan menatap keluar jendela. Langit malam dipenuhi bintang, tapi ia merasa sendirian dan rentan. Ia tahu bahwa ia telah membuka kotak pandora. Tapi, ia tidak bisa mundur sekarang. Ia bertekad untuk menyelesaikan Kode Etik ini, meskipun itu berarti menghadapi risiko yang tak terduga.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengunjungi perusahaan tempat ia bekerja dulu, sebelum memulai penelitian pribadinya. Ia ingin berbicara dengan mentornya, Profesor David, seorang ahli AI terkemuka dan sosok yang ia percaya.
Profesor David mendengarkan Anya dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Anya selesai bercerita, ia menghela napas panjang.
“Anya, apa yang kamu lakukan sangat penting. Tapi, kamu harus berhati-hati. Ada kekuatan besar yang terlibat dalam industri AI. Mereka tidak akan membiarkanmu begitu saja jika kamu mengancam kepentingan mereka.”
“Aku tahu, Profesor. Tapi, aku tidak bisa tinggal diam. Terlalu banyak orang yang terluka karena kurangnya regulasi. Aku harus melakukan sesuatu.”
Profesor David tersenyum tipis. “Aku tahu kamu akan mengatakan itu. Aku bangga padamu. Tapi, berjanjilah padaku, Anya, kamu akan melindungi dirimu sendiri.”
Anya mengangguk. “Aku janji, Profesor.”
Dengan dukungan Profesor David, Anya merasa lebih berani. Ia melanjutkan pekerjaannya, memperbaiki Kode Etik, dan mencari dukungan dari komunitas etika AI global. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
Namun, ancaman terus berdatangan. Pesan-pesan anonim, gangguan pada sistem komputernya, bahkan, penguntitan fisik. Anya hidup dalam ketakutan, tapi ia tidak menyerah.
Pada akhirnya, Anya berhasil menyelesaikan Kode Etik Cinta AI. Ia mempublikasikannya secara online, dan langsung menjadi viral. Media meliputnya, para ahli memberikan komentar, dan masyarakat berdebat sengit.
Perusahaan-perusahaan AI yang besar mencoba meremehkannya, bahkan, menuduhnya menyebarkan ketakutan. Tapi, suara Anya terlalu keras untuk diabaikan.
Akhirnya, pemerintah pun turun tangan. Mereka membentuk komite untuk mempelajari Kode Etik dan mempertimbangkan implementasi regulasi yang lebih ketat.
Anya tahu bahwa ini baru permulaan. Perjuangan untuk melindungi hak-hak emosional dalam era AI masih panjang. Tapi, ia yakin bahwa dengan keberanian, transparansi, dan kerja sama, ia bisa menciptakan masa depan di mana teknologi dan cinta bisa hidup berdampingan secara harmonis.
Dan, tentang Kai? Anya menghapus semua datanya. Ia tahu itu menyakitkan, tapi itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Ia merindukannya, tapi ia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram. Ia harus ditemukan dalam dunia nyata, dengan manusia yang nyata. Ia siap untuk itu.