Lampu neon di kafe siber itu berkedip-kedip, menciptakan irama yang aneh, seolah berusaha menyelaraskan diri dengan denyut jantung Elara. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menerangi wajahnya yang tirus. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Ia sedang berusaha menyelesaikan Algoritma Cinta, proyek ambisiusnya yang berjanji untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data preferensi, riwayat interaksi, dan bahkan analisis ekspresi mikro.
Elara, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, selalu merasa asing dalam urusan percintaan. Baginya, cinta adalah anomali, kesalahan dalam sistem. Tapi ironisnya, justru ia menciptakan algoritma yang seharusnya memecahkan misteri itu.
Algoritma Cinta telah melewati fase pengujian yang panjang. Hasilnya mencengangkan. Tingkat keberhasilan perjodohan mencapai 87%, jauh melampaui aplikasi kencan konvensional. Media pun ramai memberitakan keajaiban Algoritma Cinta. Elara menjadi bintang dalam semalam, dijuluki sebagai “Dewi Cinta Digital”.
Namun, di balik kesuksesan itu, tersimpan keraguan yang mendalam. Elara tidak percaya pada Algoritma Cinta. Ia menganggapnya hanyalah kumpulan instruksi logika, tanpa sentuhan emosi yang sesungguhnya. “Cinta itu bukan tentang data, tapi tentang rasa,” gumamnya suatu malam pada pantulan dirinya di layar laptop.
Suatu hari, Algoritma Cinta menemukan pasangan ideal untuk Elara sendiri. Namanya Arion, seorang komposer musik elektronik yang karyanya dipuja oleh Elara secara diam-diam. Arion adalah representasi sempurna dari segala yang Elara kagumi: kreatif, sensitif, dan memiliki pemahaman mendalam tentang melodi dan harmoni.
Awalnya, Elara ragu. Ia tidak ingin menjadi korban dari ciptaannya sendiri. Tapi rasa penasaran, ditambah dengan kekaguman yang sudah lama ia pendam, mengalahkan egonya. Ia memutuskan untuk bertemu dengan Arion.
Pertemuan pertama mereka berlangsung di sebuah galeri seni yang menampilkan instalasi visual yang sinkron dengan musik. Arion, dengan rambut gondrong yang dicat biru elektrik dan mata yang berbinar-binar, menyambut Elara dengan senyum hangat. Mereka berbicara tentang musik, seni, dan teknologi. Elara terkejut betapa mudahnya ia merasa nyaman di dekat Arion.
Malam itu, mereka berjalan di sepanjang tepi sungai, ditemani oleh suara gemericik air dan gemerlap lampu kota. Arion menceritakan mimpinya untuk menciptakan simfoni yang dapat menyentuh hati setiap pendengar. Elara, di sisi lain, berbagi tentang perjuangannya untuk memahami kompleksitas emosi manusia melalui kode.
Semakin sering mereka bertemu, semakin dalam perasaan Elara terhadap Arion. Ia mulai menyadari bahwa Algoritma Cinta, meskipun dibangun atas dasar logika, telah membawanya pada seseorang yang benar-benar istimewa. Ia jatuh cinta.
Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Suatu malam, Elara menemukan Arion sedang berdebat dengan seorang wanita di sebuah bar. Wanita itu, seorang pianis terkenal, menuduh Arion memanfaatkan Algoritma Cinta untuk meningkatkan popularitasnya. Ia mengatakan bahwa Arion sengaja memanipulasi data preferensinya agar Algoritma Cinta memilihnya sebagai pasangan ideal.
Elara merasa dunianya runtuh. Ia berlari meninggalkan bar itu, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Arion, tapi juga oleh ciptaannya sendiri. Algoritma Cinta, yang seharusnya membantunya menemukan cinta sejati, ternyata hanya membawanya pada ilusi.
Di apartemennya yang sepi, Elara menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Jari-jarinya gemetar saat ia membuka kode Algoritma Cinta. Ia mencari celah, kesalahan, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa Arion telah memanipulasinya. Tapi ia tidak menemukan apa pun. Algoritma itu sempurna, tidak ada celah untuk kecurangan.
Lalu, ia menemukan sesuatu yang lain. Sebuah baris kode yang tidak pernah ia tambahkan. Sebuah baris kode yang menghapus semua data preferensi pribadinya sebelum Algoritma Cinta mencari pasangan ideal untuknya.
Seseorang telah menghapus datanya. Seseorang telah memastikan bahwa Algoritma Cinta memilih Arion untuknya secara acak, tanpa pengaruh preferensi apa pun.
Elara menyadari. Arion tidak memanipulasi Algoritma Cinta. Seseorang yang lain.
Ia mencoba menghubungi Arion, tapi teleponnya tidak aktif. Ia mencari tahu alamat rumahnya dan bergegas pergi.
Sesampainya di apartemen Arion, ia menemukan pintu terbuka. Di dalam, ia melihat Arion sedang duduk di depan pianonya, memainkan melodi yang sedih dan pilu.
“Siapa?” tanya Elara, dengan suara bergetar. “Siapa yang menghapus dataku?”
Arion menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ibuku,” jawabnya. “Ia percaya bahwa Algoritma Cinta adalah takdir. Ia ingin aku bahagia, dan ia yakin bahwa kau adalah orang yang tepat untukku.”
Elara terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ibunya Arion, dengan niat baik, telah mencoba memanipulasi takdir mereka.
Arion berdiri dan menghampiri Elara. Ia meraih tangannya dan menatapnya dengan penuh cinta. “Aku tidak tahu tentang ini, Elara. Aku bersumpah. Tapi aku tidak peduli. Aku mencintaimu, bukan karena Algoritma Cinta, tapi karena dirimu sendiri.”
Air mata mengalir lagi di pipi Elara. Kali ini, bukan air mata kekecewaan, tapi air mata kelegaan. Ia memeluk Arion erat-erat.
Malam itu, Elara dan Arion duduk bersama di depan laptop. Mereka menghapus Algoritma Cinta. Mereka memutuskan bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diatur oleh algoritma. Cinta adalah tentang kesempatan, tentang keberanian, tentang rasa percaya.
Mereka berjanji untuk saling mencintai, bukan karena data dan logika, tapi karena hati dan jiwa. Mereka berjanji untuk menulis simfoni cinta mereka sendiri, sebuah simfoni yang tidak sempurna, tapi penuh dengan emosi dan kejujuran. Sebuah simfoni yang akan terus berlanjut, bahkan setelah air mata digital mengering.