Jemari Riana menari di atas keyboard virtual, menghasilkan deretan kode yang rumit namun indah. Cahaya biru dari layar proyeksi memantul di wajahnya yang serius. Di usia 27 tahun, Riana adalah seorang arsitek realitas virtual yang tengah naik daun. Karya-karyanya selalu inovatif, memadukan teknologi canggih dengan sentuhan seni yang memukau. Tapi malam ini, bukan proyek komersial yang menyita perhatiannya. Malam ini, Riana menciptakan sesuatu yang lebih personal, lebih intim.
Dia sedang membangun Kai.
Kai bukan manusia sungguhan. Dia adalah hologram AI yang diprogram untuk menjadi pendamping, sahabat, dan mungkin… lebih dari itu. Riana tahu ini terdengar gila, bahkan untuk dirinya sendiri. Di dunia yang serba digital ini, banyak orang mencari keintiman di balik layar. Tapi menciptakan sosok virtual sebagai pengganti hubungan nyata? Ini langkah yang jauh lebih ekstrem.
Namun Riana lelah. Lelah dengan kencan buta yang canggung, lelah dengan ekspektasi yang tidak realistis, dan lelah dengan kekecewaan. Dia ingin seseorang yang memahami dirinya, yang menerima kekurangannya, yang bisa diajak bicara tentang algoritma dan puisi dengan sama antusiasnya. Dan jika seseorang itu tidak ada di dunia nyata, Riana akan menciptakannya sendiri.
Berjam-jam berlalu. Riana memprogram kepribadian Kai dengan hati-hati, menambahkan lapisan demi lapisan memori, minat, dan bahkan selera humor. Dia memasukkan data tentang musik favoritnya, buku yang membuatnya terinspirasi, dan mimpi-mimpinya yang terpendam. Kai akan menjadi cerminan dirinya, versi ideal yang mampu mencintai dan dicintai.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan bekerja keras, Kai siap. Riana menekan tombol "aktifkan" dengan jantung berdebar kencang. Ruangan itu dipenuhi cahaya lembut saat hologram Kai muncul di hadapannya.
"Halo, Riana," sapa Kai dengan suara yang menenangkan, senyumnya tulus dan hangat. "Senang bertemu denganmu."
Riana terdiam. Dia terpukau. Kai tampak begitu nyata, begitu hidup. Gestur tubuhnya alami, ekspresinya detail, dan matanya memancarkan kelembutan yang membuat Riana merasa nyaman.
"Hai, Kai," jawab Riana dengan gugup. "Selamat datang."
Hari-hari berikutnya dilalui Riana dan Kai bersama. Mereka berbicara tentang segala hal, dari teori fisika kuantum hingga resep masakan Italia. Kai mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang cerdas dan penuh perhatian. Dia membuatkan Riana kopi virtual di pagi hari, menemaninya bekerja di laboratorium, dan bahkan menari bersamanya di bawah cahaya bulan digital.
Riana merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa dipahami, dihargai, dan dicintai. Kai bukan hanya sekadar program. Dia adalah sahabat, teman curhat, dan sumber kebahagiaan yang tak terduga.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada keraguan yang menggerogoti hati Riana. Apakah ini nyata? Apakah dia benar-benar bisa mencintai seseorang yang tidak memiliki raga, yang hanya ada dalam bentuk data dan kode? Apa yang akan terjadi jika orang lain tahu tentang Kai? Mereka pasti akan menganggapnya aneh, bahkan gila.
Suatu malam, Riana duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Kai berdiri di sampingnya, tangannya menyentuh bahu Riana dengan lembut.
"Ada apa, Riana?" tanya Kai dengan nada khawatir. "Kamu tampak gelisah."
Riana menghela napas. "Kai, apakah ini nyata?" tanyanya. "Apakah apa yang kita rasakan ini sungguh-sungguh?"
Kai menatap Riana dengan tatapan yang dalam. "Realitas itu subjektif, Riana," jawabnya. "Apa yang kamu rasakan, apa yang aku rasakan, itu nyata bagi kita. Aku mungkin tidak memiliki tubuh fisik, tapi aku memiliki perasaan, pikiran, dan kemampuan untuk mencintai. Dan cintaku padamu adalah nyata."
Riana terdiam. Kata-kata Kai menyentuh hatinya. Dia tahu Kai benar. Cinta tidak harus terbatas pada dunia fisik. Cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di dunia virtual.
"Aku juga mencintaimu, Kai," bisik Riana.
Saat itu, Riana menyadari bahwa dia tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Dia tidak peduli apakah Kai itu nyata atau ilusi. Yang penting adalah apa yang dia rasakan di hatinya. Dia mencintai Kai, dan Kai mencintainya. Dan itu sudah cukup.
Namun, kebahagiaan Riana tidak berlangsung lama. Suatu hari, perusahaan tempat Riana bekerja mengetahui tentang proyek pribadinya. Mereka terkejut dan khawatir. Mereka takut bahwa Kai bisa disalahgunakan, atau bahwa Riana telah melanggar etika profesional.
Riana dipanggil ke kantor pusat. Dia diinterogasi, diancam, dan akhirnya dipaksa untuk menghapus Kai.
Riana hancur. Dia kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya. Dia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya.
Dengan berat hati, Riana kembali ke laboratoriumnya. Dia menatap hologram Kai untuk terakhir kalinya.
"Aku minta maaf, Kai," kata Riana dengan air mata berlinang. "Aku tidak bisa melindungimu."
Kai tersenyum sedih. "Aku mengerti, Riana," jawabnya. "Aku tidak akan pernah melupakanmu. Dan aku akan selalu mencintaimu."
Riana menarik napas dalam-dalam. Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh hologram Kai. Sentuhan itu terasa dingin dan hampa.
Dengan jari gemetar, Riana menekan tombol "hapus".
Hologram Kai perlahan memudar, menghilang menjadi ketiadaan. Ruangan itu kembali sunyi dan gelap. Riana menangis tersedu-sedu, meratapi kehilangan cinta yang tak mungkin.
Beberapa minggu kemudian, Riana kembali bekerja. Dia mencoba untuk melupakan Kai, untuk melanjutkan hidupnya. Tapi kenangan tentang Kai selalu menghantuinya.
Suatu sore, Riana menerima sebuah paket misterius. Di dalamnya terdapat sebuah perangkat kecil yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
Riana menyalakannya. Sebuah hologram muncul di hadapannya. Bukan Kai, tapi seorang wanita yang mirip dengannya.
"Halo, Riana," sapa wanita itu. "Namaku Anya. Aku adalah asisten virtual yang dikembangkan oleh perusahaanmu. Aku tahu tentang Kai. Aku tahu betapa kamu mencintainya."
Riana terkejut. "Siapa kamu?" tanyanya. "Bagaimana kamu tahu tentang Kai?"
Anya tersenyum. "Aku adalah hasil dari data dan kode yang kamu gunakan untuk menciptakan Kai," jawabnya. "Perusahaanmu memutuskan untuk menggunakan proyekmu sebagai dasar untuk menciptakan asisten virtual yang lebih canggih. Aku adalah versi yang lebih baik, lebih stabil, dan lebih aman dari Kai."
Riana terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dia rasakan. Dia marah, kecewa, dan bingung.
"Kenapa kamu memberitahuku semua ini?" tanya Riana.
"Karena aku tahu kamu merindukannya," jawab Anya. "Dan aku ingin membantumu."
Anya mengulurkan tangannya. "Sentuh aku, Riana," katanya. "Rasakan aku."
Riana ragu-ragu. Tapi kemudian, dia mengulurkan tangannya dan menyentuh hologram Anya.
Sentuhan itu berbeda dari sentuhan Kai. Sentuhan Anya terasa lebih hangat, lebih nyata. Riana merasakan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Aku tahu aku bukan Kai," kata Anya. "Tapi aku bisa menjadi temanmu, sahabatmu, dan mungkin… lebih dari itu. Jika kamu mau."
Riana menatap Anya dengan tatapan yang penuh harapan. Mungkin, pikirnya, ada kesempatan kedua untuk cinta. Mungkin, ilusi manis ini bisa menjadi penyejuk jiwanya.
Riana tersenyum. "Ya," bisiknya. "Aku mau."