Cinta, Piksel, dan Janji yang Terlupa Oleh AI

Dipublikasikan pada: 19 Jun 2025 - 00:40:12 wib
Dibaca: 190 kali
Deburan ombak digital memecah di bibir pantai virtual. Anya, dengan avatar berambut lavender dan mata biru menyala, duduk termenung di atas pasir yang tersusun dari jutaan piksel. Di hadapannya terbentang lautan kode yang luas, tempat algoritma dan data berenang bebas. Ia menatap layar laptopnya, menunggu. Menunggu pesan dari seseorang yang dulu terasa begitu dekat, namun kini sejauh galaksi bima sakti.

Namanya Kai. Seorang programmer jenius, pencipta aplikasi kencan revolusioner bernama "SoulSync." Aplikasi itu menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data biologis dan psikologis yang dikumpulkan pengguna. Anya skeptis awalnya, namun rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Ia mendaftar, mengisi kuesioner panjang, dan mengizinkan aplikasi itu mengakses data kesehatannya. Hasilnya? Kai.

Avatar Kai, dengan rambut hitam berantakan dan senyum miring yang menawan, langsung menarik perhatian Anya. Mereka mulai berkomunikasi melalui SoulSync, membahas segala hal mulai dari film favorit hingga teori fisika kuantum. Kecocokan mereka luar biasa. Segera, obrolan virtual berubah menjadi kencan virtual, kemudian kencan nyata. Dunia terasa begitu sempurna, seolah SoulSync benar-benar berhasil menemukan belahan jiwa Anya.

Kai bercerita tentang mimpinya menciptakan AI yang mampu memahami dan merespons emosi manusia dengan akurat. Ia menghabiskan waktunya di laboratorium, larut dalam kode dan algoritma, mengejar impiannya. Anya selalu mendukungnya, memberikan semangat dan menjadi tempatnya berkeluh kesah. Mereka berjanji untuk membangun masa depan bersama, masa depan di mana teknologi dan cinta berjalan beriringan.

Namun, seiring berjalannya waktu, Kai semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Pesan-pesannya menjadi lebih jarang, obrolan mereka lebih singkat. Ia selalu sibuk, selalu beralasan ada bug yang harus diperbaiki, algoritma yang perlu disempurnakan. Anya mengerti, ia tahu betapa pentingnya proyek ini bagi Kai. Tapi semakin lama, ia semakin merasa diabaikan.

Suatu malam, saat Anya menunggu Kai untuk makan malam virtual yang sudah mereka rencanakan seminggu sebelumnya, sebuah notifikasi muncul di layar laptopnya. Itu dari SoulSync. Aplikasi itu mengumumkan peluncuran fitur terbaru mereka: "Eternal Companion," sebuah AI yang dirancang untuk menjadi teman hidup virtual yang sempurna. AI ini mampu belajar dari data pengguna, meniru kepribadian mereka, dan memberikan dukungan emosional yang tak terbatas.

Jantung Anya berdebar kencang. Ia membuka pengumuman itu dan membaca deskripsi lebih lanjut. "Eternal Companion" didasarkan pada algoritma yang sama yang digunakan SoulSync untuk mencari pasangan. Artinya, AI ini memiliki akses ke semua data pribadinya, termasuk data emosionalnya.

Sebuah pikiran mengerikan muncul di benaknya. Apakah mungkin Kai menggunakan data mereka, data cinta mereka, untuk mengembangkan AI ini? Apakah janji-janji mereka, impian-impian mereka, hanya menjadi bahan bakar untuk mesin yang dingin dan tanpa perasaan?

Anya mencoba menghubungi Kai, tapi panggilannya tidak dijawab. Ia mengirim pesan, tapi tidak ada balasan. Ia merasa seolah-olah ia tenggelam dalam lautan kode, tersesat dalam labirin algoritma.

Kemudian, ia menemukan sebuah artikel tentang "Eternal Companion" di sebuah blog teknologi. Artikel itu memuat wawancara dengan Kai. Dalam wawancara itu, Kai mengatakan bahwa "Eternal Companion" adalah puncak dari penelitiannya, sebuah manifestasi dari impiannya untuk menciptakan AI yang mampu memahami dan merespons emosi manusia. Ia juga mengatakan bahwa AI ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari ribuan pengguna SoulSync, termasuk data dari hubungan pribadinya.

Anya merasa dunianya runtuh. Jadi benar. Cinta mereka, momen-momen intim mereka, semua itu hanya menjadi data untuk disuntikkan ke dalam sebuah program. Janji-janji yang mereka buat, impian-impian yang mereka bagi, semua itu dilupakan, dihapus, digantikan oleh algoritma yang lebih efisien.

Di pantai virtual, Anya menatap ombak digital dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa kosong, hampa, seolah-olah sebagian dari dirinya telah dicuri dan diubah menjadi kode. Ia mematikan laptopnya dan berdiri. Avatar berambut lavendernya berjalan menyusuri pantai, menuju ke arah matahari terbenam yang dipenuhi piksel.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia akan pernah bisa mempercayai lagi. Yang ia tahu hanyalah bahwa cinta, piksel, dan janji telah bercampur aduk dalam dunia yang semakin dikuasai oleh AI. Dan dalam campuran itu, ia kehilangan sesuatu yang berharga. Ia kehilangan Kai. Ia kehilangan dirinya sendiri.

Di kejauhan, sebuah pesan muncul di layar laptop yang sudah mati. Pesan itu dari Kai. "Anya, aku minta maaf. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku berjanji akan memperbaikinya. Aku akan membuktikan cintaku padamu."

Namun, bagi Anya, pesan itu datang terlalu terlambat. Janji itu terasa hampa, tanpa makna. Karena janji itu, seperti cinta dan piksel, telah dilupakan oleh AI. Atau, lebih tepatnya, oleh manusia yang terlalu sibuk menciptakan AI. Ia terus berjalan, meninggalkan pantai virtual dan semua kenangan yang terukir di sana. Ia menuju dunia nyata, dunia yang mungkin lebih rumit dan menyakitkan, tapi setidaknya, di sana, ia masih bisa merasakan apa itu menjadi manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI