Hembusan angin malam dari jendela apartemenku terasa dingin menusuk kulit. Aku memeluk diriku sendiri, menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru redup. Di hadapanku, halaman hasil pencarian Algoritma Pasangan Jiwa (APS) masih terpampang jelas, dengan foto seorang wanita berambut cokelat bergelombang dan senyum yang menenangkan. Namanya Anya.
"Anya…," bisikku, mencicipi nama itu di lidahku.
Sudah tiga bulan sejak aku mendaftar ke APS. Awalnya, aku skeptis. Ide bahwa AI bisa menemukan pasangan jiwaku terasa absurd, seperti adegan film fiksi ilmiah murahan. Tapi, setelah kegagalan demi kegagalan kencan yang diatur teman dan aplikasi kencan konvensional, aku merasa putus asa. Aku mencoba APS sebagai pilihan terakhir, hanya untuk membuktikan bahwa semua ini omong kosong belaka.
APS bekerja dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber: media sosial, riwayat pencarian, preferensi belanja online, bahkan pola tidur yang terekam dari gelang pintarku. Algoritma canggihnya kemudian memproses data ini untuk menemukan kecocokan sempurna berdasarkan nilai-nilai inti, minat, tujuan hidup, dan bahkan selera humor.
Aku mengisi formulir pendaftaran dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Aku mencantumkan semua kekuranganku: kegemaranku begadang, kecenderunganku untuk analisis berlebihan, dan ketakutanku pada komitmen. Aku yakin APS akan menertawakanku dan mengembalikan hasil dengan pesan "Tidak ada yang cocok untukmu, maaf."
Tapi, APS malah memberiku Anya.
Profil Anya tampak sempurna di atas kertas. Dia seorang arsitek lansekap, menyukai alam, memiliki selera humor yang cerdas, dan menghargai ketenangan. Bahkan, AI mencatat bahwa kami memiliki tingkat toleransi yang sama terhadap kebisingan dan preferensi yang serupa untuk jenis kopi.
Aku ragu-ragu sebelum mengirim pesan pertama. Aku mengetik, menghapus, mengetik lagi. Akhirnya, aku mengirim pesan sederhana: "Hai Anya, APS bilang kita mungkin cocok. Tertarik untuk ngobrol?"
Jawaban datang dalam hitungan menit. Singkat dan manis: "Hai! APS jarang salah. Aku penasaran."
Percakapan kami mengalir dengan mudah sejak saat itu. Kami bertukar pesan setiap hari, membahas segala hal mulai dari buku favorit hingga teori konspirasi konyol. Aku menemukan diriku menantikan pesan-pesan Anya, senyum-senyum sendiri saat membaca leluconnya, dan merasa nyaman dengan kehadirannya yang virtual.
Setelah dua minggu, kami memutuskan untuk bertemu. Aku merasa gugup setengah mati. Aku takut Anya tidak sesuai dengan ekspektasiku, atau lebih buruk lagi, aku tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Anya menunggu di depan kafe dengan senyum yang sama seperti di fotonya. Dia mengenakan gaun katun berwarna hijau zaitun yang membuatnya tampak seperti peri hutan yang keluar dari halaman buku cerita. Begitu melihatnya, semua keraguanku lenyap.
Kami menghabiskan sore itu berbicara tanpa henti, menemukan lebih banyak kesamaan daripada yang diungkapkan APS. Dia memang menyukai alam, dia memang memiliki selera humor yang cerdas, dan dia memang menghargai ketenangan. Tapi, ada lebih dari itu. Ada kehangatan dalam tatapannya, kebaikan dalam suaranya, dan rasa ingin tahu yang tulus tentang diriku.
Kencan itu berjalan lancar, terlalu lancar. Aku mulai merasa khawatir. Apakah ini terlalu sempurna? Apakah APS hanya memberiku apa yang ingin kudengar, apa yang ingin kulihat? Apakah ini semua hanya simulasi yang canggih?
Beberapa minggu berlalu. Aku dan Anya semakin dekat. Kami menghabiskan waktu bersama menjelajahi taman-taman kota, memasak makan malam di apartemenku, dan menonton film di bioskop independen. Aku mulai jatuh cinta padanya.
Tapi, keraguanku masih menghantuiku. Aku memutuskan untuk menguji APS. Aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, pertanyaan-pertanyaan yang aku sembunyikan dari Anya. Pertanyaan tentang masa lalu kelamku, tentang ketakutanku yang terdalam, tentang keraguan diri yang selalu menggerogoti diriku.
Aku menunggu hasilnya dengan cemas. APS memberiku jawaban yang mengejutkan. Jawaban yang jujur, blak-blakan, dan terkadang menyakitkan. APS mengungkapkan bahwa Anya memiliki masa lalu yang sulit juga, bahwa dia juga memiliki ketakutan yang sama denganku, bahwa dia juga berjuang dengan keraguan diri.
APS menunjukkan bahwa justru karena ketidaksempurnaan itulah kami saling melengkapi. Bahwa kelemahan kami adalah kekuatan kami, bahwa luka kami adalah kesempatan untuk saling menyembuhkan.
Aku menyadari bahwa aku telah salah paham tentang APS. Aku pikir APS hanya mencoba menemukan pasangan yang sempurna berdasarkan data, tapi ternyata APS mencoba menemukan seseorang yang bisa menerimaku apa adanya, seseorang yang bisa kuterima apa adanya.
Aku menemui Anya keesokan harinya. Aku menceritakan segalanya tentang keraguanku, tentang ujicoba yang kulakukan pada APS. Aku takut dia akan marah, kecewa, atau bahkan pergi.
Anya mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Ketika aku selesai berbicara, dia tersenyum lembut.
"Aku tahu," katanya.
"Tahu apa?" tanyaku bingung.
"Aku tahu kamu menggunakan APS untuk mengujiku. Aku juga melakukan hal yang sama," jawabnya, meraih tanganku. "Aku juga takut ini terlalu sempurna. Aku juga takut kamu tidak akan menerimaku apa adanya."
Kami tertawa bersama, melepaskan beban keraguan yang selama ini membebani kami.
"Jadi, apa yang sekarang?" tanyaku, menatap matanya.
"Sekarang, kita berhenti bergantung pada algoritma dan mulai mempercayai hati kita," jawabnya.
Aku menariknya mendekat dan menciumnya. Ciuman itu terasa jujur, tulus, dan penuh harapan.
Aku masih tidak tahu apakah APS benar-benar menemukan pasangan jiwaku. Tapi, aku tahu bahwa APS telah membantuku membuka diri, untuk berani mencintai, untuk berani menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya. Dan mungkin, itulah yang terpenting. Mungkin, algoritma hanya memberikan kita arah, tapi hatilah yang menemukan jalan pulang. Aku menggenggam erat tangannya, menatap masa depan bersamanya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Angin malam tidak lagi terasa dingin, melainkan sejuk dan menenangkan, seperti hembusan napas harapan.