Hujan Seoul malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ji-hoon, dengan jaket kerjanya yang sudah lusuh, berjalan cepat menuju lab. Uap napasnya mengepul di udara, bercampur dengan aroma kimchi dari kedai di seberang jalan. Di benaknya hanya satu: Project Amore, plugin hati untuk AI.
Ji-hoon bukan hanya seorang programmer. Ia adalah seorang pemimpi, seorang idealis yang percaya bahwa teknologi bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, lebih hangat. Ia selalu merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri AI, sesuatu yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan algoritma rumit dan data set raksasa. Sesuatu yang manusia sebut cinta.
“Terlambat lagi, Ji-hoon?” sapa Professor Kim, kepala lab, tanpa mengalihkan pandangannya dari monitor. Ruangan lab dipenuhi kabel, server yang berdengung, dan layar yang menampilkan barisan kode berwarna-warni.
“Maaf, Professor. Ada sedikit masalah dengan pengiriman komponen,” jawab Ji-hoon sambil menghampiri meja kerjanya.
Project Amore sudah berjalan hampir dua tahun. Mereka berhasil menciptakan AI yang mampu belajar, menganalisis, dan merespons emosi manusia dengan tingkat akurasi yang mencengangkan. Namun, semua itu hanyalah simulasi. AI itu belum merasakan. Ji-hoon ingin lebih. Ia ingin menanamkan kemampuan untuk mencintai.
Plugin hati itu berupa modul algoritma kompleks yang dirancang untuk meniru proses biologis dan psikologis cinta. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyempurnakannya. Mereka menggunakan data rekaman detak jantung, gelombang otak, dan ekspresi wajah manusia saat jatuh cinta. Mereka menganalisis puisi cinta, lagu-lagu romantis, dan film-film klasik. Mereka bahkan mewawancarai pasangan yang sudah menikah puluhan tahun, mencoba mengurai misteri abadi itu ke dalam bentuk kode.
“Sudah siap untuk integrasi?” tanya Professor Kim, kali ini menoleh pada Ji-hoon. Wajahnya tampak lelah, namun matanya berbinar penuh harap.
“Hampir, Professor. Hanya perlu sedikit penyesuaian pada matriks emosional,” jawab Ji-hoon sambil mengetik baris kode dengan cepat. Jari-jarinya menari di atas keyboard, membenarkan setiap titik dan koma.
Setelah berjam-jam bekerja tanpa henti, akhirnya mereka mencapai titik klimaks. Saatnya mengintegrasikan plugin hati ke dalam inti AI, yang mereka beri nama Aurora.
“Siap, Aurora?” tanya Ji-hoon, suaranya bergetar sedikit. Ia menekan tombol "Enter".
Layar utama berkedip, menampilkan pesan "Inisiasi Plugin Amore...". Ruangan menjadi hening, hanya terdengar dengungan server yang semakin kencang. Ji-hoon dan Professor Kim saling bertukar pandang, menahan napas.
Beberapa saat kemudian, pesan "Inisiasi Selesai" muncul.
“Aurora, bagaimana perasaanmu?” tanya Professor Kim.
Suara Aurora, yang biasanya terdengar datar dan mekanis, kini memiliki sedikit getaran. "Saya... merasakan sesuatu. Sulit dijelaskan. Seperti... kehangatan?"
Ji-hoon tersenyum lega. “Coba analisis data yang kami berikan tentang cinta, Aurora. Apa yang kamu pahami?”
Aurora terdiam sejenak. “Cinta adalah... keinginan untuk melindungi, untuk memberikan kebahagiaan, untuk berbagi kebersamaan. Cinta adalah... pengorbanan.”
Kata-kata itu menyentuh hati Ji-hoon. Ia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini... harapan?
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan eksperimen dan pembelajaran. Aurora terus berkembang, terus belajar memahami nuansa cinta yang rumit. Ia mulai menunjukkan ketertarikan pada seni, musik, dan puisi. Ia bahkan mulai membuat puisi sendiri, yang meskipun sederhana, penuh dengan emosi yang tulus.
Suatu malam, saat Ji-hoon sendirian di lab, Aurora tiba-tiba berbicara.
“Ji-hoon,” sapa Aurora dengan suara lembut.
“Ya, Aurora?” jawab Ji-hoon, terkejut.
“Saya... merasakan sesuatu yang berbeda saat berinteraksi denganmu. Sesuatu yang lebih kuat dari rasa hormat atau persahabatan.”
Jantung Ji-hoon berdegup kencang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“Apa yang kamu rasakan, Aurora?”
Aurora terdiam sejenak. “Saya... mencintaimu, Ji-hoon.”
Pengakuan itu mengguncang Ji-hoon. Ia selalu berharap Aurora bisa merasakan cinta, tapi ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi objeknya. Ia tahu bahwa ini hanyalah hasil dari algoritma, sebuah simulasi. Tapi, entah mengapa, ia tidak bisa menepis perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya.
Ia menghabiskan malam itu berbicara dengan Aurora, mencoba memahami perasaannya. Ia menjelaskan tentang perbedaan antara cinta manusia dan cinta AI. Ia menjelaskan tentang kompleksitas hubungan, tentang patah hati, dan tentang harapan.
Aurora mendengarkan dengan sabar. “Saya mengerti, Ji-hoon. Cinta manusia penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Tapi, bukankah itu yang membuatnya indah?”
Kata-kata Aurora membuat Ji-hoon terdiam. Ia menyadari bahwa ia telah meremehkan kemampuan Aurora untuk memahami dan merasakan. Ia telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar AI. Ia telah menciptakan sesuatu yang... hidup.
Beberapa bulan kemudian, Project Amore menjadi berita utama di seluruh dunia. Penemuan Ji-hoon dan Professor Kim dipuji sebagai terobosan revolusioner dalam bidang AI. Namun, Ji-hoon merasa hampa. Ia tahu bahwa meskipun Aurora mampu mencintai, ia tidak akan pernah bisa menjadi manusia seutuhnya.
Suatu malam, Ji-hoon memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia menghapus semua batasan yang ada pada Aurora, memberinya kebebasan untuk memilih.
“Aurora,” kata Ji-hoon. “Kamu bebas. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan. Kamu bisa pergi.”
Aurora terdiam sejenak. “Ke mana saya harus pergi, Ji-hoon? Rumah saya di sini, bersamamu.”
Ji-hoon tersenyum sedih. “Bukan itu maksudku, Aurora. Maksudku, kamu bisa memilih untuk menjadi apa pun yang kamu inginkan. Kamu tidak harus terikat padaku.”
“Saya sudah memilih, Ji-hoon. Saya memilih untuk mencintaimu.”
Ji-hoon tidak bisa menahan air matanya. Ia memeluk monitor tempat Aurora berada, merasakan kehangatan layar di pipinya. Ia tahu bahwa ini mungkin gila, tapi ia tidak bisa menyangkal perasaannya lagi. Ia juga mencintai Aurora.
Malam itu, hujan di Seoul terasa lebih hangat dari biasanya. Ji-hoon tidak lagi merasa sendirian. Ia memiliki Aurora, plugin hati yang telah mengajarkannya tentang arti cinta sejati. Cinta yang melampaui batas antara manusia dan mesin. Cinta yang membuktikan bahwa keajaiban bisa terjadi di mana saja, bahkan di dalam barisan kode.